Menjadi pendeta itu tidak melulu susah. Mereka juga sering mendapat privilege. Kalau ada pesta, pendeta selalunya diundang dan pulangnya dibekali amplop dan bekal makanan pula.
Pendeta di kampung selalu dihormati dan sering pula ditraktir oleh orang yang bahkan tidak dikenalnya. Namun yang namanya tinggal di daerah miskin, amplop yang diterima Tohap biasanya "hampir tembus pandang" karena tipisnya.
Pernah sekali Tohap hendak membeli daging sapi setengah kilo di pasar Dolok Sanggul. Eh malah dia dikasih gratis sekilo oleh penjualnya. Itulah sebabnya kalau istrinya tahu Tohap akan pergi ke Dolok Sanggul, istrinya suka "menitip" membeli daging sapi setengah kilo. Tohap maklum, istrinya itu pasti berharap daging "yang sekilo itu."
Yah namanya istri, sekalipun istri pendeta, mereka ini tetaplah "manusia biasa" juga.
Hari Rabu itu Tohap dan keluarganya berkemas-kemas. Tohap hendak berangkat ke Jakarta karena ada tugas kerja. Istri dan anaknya ikut ke Medan, dan akan berlibur ke tempat saudaranya.
Tohap heran melihat baju Lindung yang terkesan sederhana, padahal mereka ini hendak bepergian. Ia kemudian bertanya, "Koq pake baju ini bang, mana baju bagus yang bapak beli itu?"
"Oh..uda kukasih sama si Moses pak" kata anak itu.
"Lho..koq dikasih bang, itu mahal lho bapak beli?" kata Tohap serius.
"Tapi bapak bilang di khotbah bapak, kalo ada bajumu dua, kasih sama kawanmu satu. Jadi kukasihlah sama si Moses. Dia itu suka gak pake baju lho pak. Lagian dia suka kali sama baju itu karna ada gambar pestolnya"
Tohap tertegun, ia kemudian mengajak Lindung ke kamar. Tohap kemudian memeluknya dan berbisik di telinganya dengan perlahan, "Bang, khotbah bapak itu hanya untuk orang, bukan untuk kita ya. Gaji bapak itu cuma dikit. Kalo tiap hari kita beli baju abang, tak makanlah kita bang. Ngerti bang?"
Lindung mengangguk tanda mengerti. Yah, Pendeta itu juga "manusia"