Sejak zaman Suharto berkuasa Bulog ini menjadi sorotan publik karena sarat dengan korupsi. Bahkan dulu petingginya itu harus masuk bui karena tergelincir kasus korupsi juga. Gus Dur juga dulu tersingkir salah satunya akibat diterpa isu Bulogate!
Rapor Bulog memang jelek. Saat ini utang Bulog berkisar Rp 29,2 triliun! Belum lagi masalah beras di gudang yang terancam puso.
Dilansir dari finance.detik.com, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika memaparkan ada 300-400 ribu ton beras di gudang Bulog berpotensi turun mutu.Â
Jumlah itu merupakan stok beras dari tahun 2018-2019 yang didapat dari penyerapan lokal maupun impor di tahun 2018 lalu. Dia menilai bila setengahnya saja tidak layak konsumsi, maka kerugian negara itu Rp 1,25 triliun. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab dengan kerugian ini?
Dari sudut pandang Bulog sendiri, Bulog memikul tanggung jawab berat karena diwajibkan untuk membeli gabah petani sesuai dengan harga ketetapan pemerintah ketika harganya anjlok. Sebaliknya ketika harga beras meroket diatas HET, Bulog juga harus mampu melakukan operasi pasar untuk menurunkan harga beras. Selain itu, sebagai BUMN Bulog juga diwajibkan untuk memberi laba. Edan tenan!
Bisakah "Perusahaan sosial" sukses melaksanakan tugas sosialnya sembari dapat cuan juga? Jawabannya "BISA" kalau ditangani dengan manajemen yang tepat, oleh orang yang tepat pula!
Syaratnya orangnya harus punya jiwa sosial yang tinggi, rendah hati, bijaksana, penyayang dan tak suka membuat kegaduhan dengan menyalahkan pihak lain. Selain itu orangnya tentunya harus punya integritas, paham betul akan pasar dan dinamikanya, memiliki ketrampilan teknis dan punya visi yang jauh ke depan.
Adakah orang yang seperti itu? Tentunya ada. Salah satunya ya saya sendiri, hahaha...
Daripada membuat kegaduhan dengan orang lain, lebih baik saya secepatnya membuat perencanaan dan strategi yang komprehensif agar Bulog ini bisa menjadi makmur. Saya juga kecipratan rezeki, petani happy dan konsumen pemangsa beras tetap bisa bersuka cita dengan harga beras dibawah HET!
Walaupun tugasnya kelihatan berat, namun cara kerja Bulog ini sebenarnya sederhana saja. Bulog itu kan pedagang beras. Bulog membeli gabah/beras yang kemudian disimpan di gudang untuk dijual kembali. Jadi modal utama Bulog itu adalah gudang, gudang dan gudang! Jadi syarat utamanya adalah gudang, yang justru menjadi salah satu masalah utama Bulog pada saat ini!
Sejak Gajah Mada menjadi prabu di Majapahit hingga sekarang ini, cara Bulog menyimpan beras masih tetap sama. Beras ditumpuk lapis demi lapis persis seperti rumah lapis dengan DP 0 Rupiah tersebut. Jadi kalau ada orang yang mengklaim dirinya masih keturunan Raja Majapahit, itu salah satunya karena Bulog masih menyimpan beras dengan cara kerajaan Majapahit pula!
Kerusakan beras di gudang itu selalunya pada lapisan terbawah. Prinsip utama manajemen gudang itu adalah, "First in first out." Beras pertama masuk harus menjadi beras pertama keluar!
Coba periksa gudang Majapahit (Bulog) itu. Yakin beras pertama masuk menjadi beras pertama keluar? Lapis pertama (terbawah) itu akan selalunya menjadi beras terakhir yang akan keluar. Dalam kasus temuan Ombudsman di atas, beras pertama masuk malah betah ngendon sejak tahun 2018 lalu, sehingga terancam puso, hahaha...
Sederhananya seperti menyimpan beras di rumah. Kalau naruh berasnya di ember 200 liter, maka beras terbawah itu akan kekuningan setahun kemudian! Jadi simpanlah beras di rice-box, karena beras pertama masuk selalunya akan menjadi beras pertama keluar.
Nah, Bulog seharusnya menyimpan beras di rice-box (silo) seperti di negeri-negeri maju. Dengan demikian mutu berasnya akan selalu terjaga.
Akan tetapi membangun silo itu kan butuh duit? Utang Bulog saja sudah Rp 29,2 triliun, mana kas negara lagi cekak pula gegara pandemi. Minta duit ke pemerintah pasti akan kena damprat SMI atau pakde! Nah disinilah dibutuhkan visi dari seorang visioner.
Saat ini dunia usaha lagi gegana (gelisah, galau merana) bukan karena tidak ada duit, tetapi karena lemahnya pasar! Duit justru berlimpah dan menganggur, baik dari pengusaha yang mengendurkan atau malah menghentikan aktivitas bisnisnya, dan juga dari dana tidur masyarakat (tabungan/ dana pensiun)
Coba cek bunga tabungan dan deposito saat ini, rendah sekali. Hal mana membuat para pensiunan yang mengandalkan bunga deposito untuk kehidupan sehari-harinya menjadi terpukul.
Nah ini saat yang tepat bagi Bulog untuk mengeluarkan obligasi. Dengan bunga 8% saja pastinya akan segera ludes diserbu pasar! Nah, Bulog kini sudah punya silo dan modal besar untuk main beras!
Dengan silo, gudang besar plus modal tadi, saya berani menjamin akan membeli seluruh hasil panen petani di atas harga ketetapan pemerintah sendiri! Statement ini otomatis akan mendongkrak harga gabah di tingkat petani.
Lha, bagaimana caranya? Wong selama ini di bawah harga ketetapan pemerintah saja Bulog tak pernah sanggup untuk membeli gabah petani!
Mari kita cek dulu harga gabah/beras ini. Mengacu kepada Permendag No. 24 Tahun 2020, harga HPP (Harga Pokok Pembelian) gabah untuk GKP (Gabah Kering Panen) adalah Rp 4.200/kg.Â
Sedangkan untuk GKG (Gabah Kering Giling) adalah Rp 5.205/kg. Sementara HET (Harga Eceran Tertinggi) beras medium sebesar Rp 9.450-10.250/kg. Padahal menurut Pusat Informasi Harga Pasar Strategis Nasional (PIHPS) harga beras rata-rata Rp 11.800/ kg pada tahun 2020 kemarin.
Nah sekarang kita pantengin kalkulator Bulog. Rendemen GKG itu berkisar 63% artinya dari 100 kg GKG menghasilkan 63 kg beras, yang terdiri dari beras Medium dan beras Premium.Â
Kualitas beras ini (medium atau premium tersebut) sangat ditentukan oleh teknologi/efisiensi dari mesin giling padi tersebut. Harga eceran beras premium sendiri bisa mencapai Rp 20.000/kg.
Jadi kalau Bulog membeli GKG Rp 5.205/kg itu artinya Bulog membeli beras dari petani seharga Rp 5.205/0,63 atau seharga Rp 8.265/kg. Murah banget kan! Anggaplah beras itu semuanya kualitas medium (beras premium dan dedaknya buat saya saja, hehe) maka selisih harga (keuntungan kotor) adalah Rp 9.450 - Rp 8.265= Rp 1.185/kg! Ini masih hitungan paling jelek, soalnya menurut PIHPS) harga beras itu rata-rata Rp 11.800/ kg.
Konsumsi beras nasional berkisar 2,5 juta ton per bulan. Anggaplah porsi Bulog 40% saja, yaitu sejuta ton. Maka laba Bulog sebelum dipotong biaya operasional adalah 1 juta ton dikali Rp 1.185/kg = Rp 1.185 miliar atau Rp 1,185 triliun!
Nah, karena Bulog badan sosial yang dipimpin seorang sosialis pula, maka HPP ke petani tadi bisa dinaikkan lagi, sementara harga beras ke konsumen bisa ditekan di bawah HET.
"Apalah gunanya hidup ini kalau tidak bisa memberi manfaat bagi orang lain." Kata Ahok, "elo harus jadi pejabat dulu agar bisa memberi impact yang besar bagi orang lain."
Untuk menghindari puso di gudang, sejatinya beras itu harus berputar terus. Di negeri ini sangat banyak warteg, tukang nasi goreng dan juga pembuat kue/jajanan pasar. Mereka ini sebenarnya pasar yang sangat potensial bagi Bulog. Masalahnya Bulog tidak bisa menjual langsung kepada mereka ini.
Saya lalu membentuk CSR, sebuah badan kemitraan dengan staf berasal dari karyawan Bulog sendiri dan rekrutan dari masyarakat untuk menjembatani Bulog dengan pasar. Staf ini nantinya bertugas sebagai pembimbing para wirausahawan kecil tersebut.
Misalnya saja sebuah warteg rata-rata membutuhkan 10 kg beras/hari yang dibeli secara tunai di pasar dengan harga Rp 12.000/kg. CSR Bulog kemudian menawarkan harga Rp 10.500/kg yang bisa dibayar pada akhir bulan, plus bimbingan manajemen lewat staf CSR Bulog.
Bulog sendiri menjual kepada CSR Bulog sesuai dengan HET, yakni Rp 9.450/ kg. Selisih penjualan kepada konsumen Rp 10.500/kg dikurangi Rp 9.450/ kg yaitu Rp 1.050/ kg menjadi milik staf CSR Bulog. Kalau seorang staf membimbing sepuluh wirausahawan misalnya, maka tinggak dikalikan saja berapa penghasilannya.
Bagi para staf/karyawan Bulog yang akan memasuki masa pensiun, lalu diberdayakan di CSR Bulog ini tentunya akan menjadi berkah tersendiri bagi mereka. Demikian juga halnya dengan staf rekrutan dari masyarakat lainnya itu.
Walaupun menghasilkan multiplier effect bagi banyak orang, tetapi tujuan utama saya di proyek ini adalah hanya untuk menjual beras. Dengan demikian beras terus berputar dan tidak ada beras puso di gudang!
Dengan harga gabah diatas HPP, apakah petani akan menjual gabah kepada Bulog? Nehi babuji! Tentu saja tidak! Pedagang itu kan mahluk pinter. Salah satu senjata utama mereka adalah IJON!
Kalau Bulog bersedia membeli GKG dari petani sebesar Rp 5.300/kg, maka pedagang/pengepul akan membeli di harga Rp 5.400/kg. Separuhnya bahkan sudah diberikan ketika petani masih membajak sawahnya, hahaha...
Akan tetapi tugas utama saya itu bukanlah membeli gabah dari petani, melainkan menjaga agar harga gabah sesuai dengan HPP. Dalam hal ini rapor saya tentunya sangat excellent!
Lha, kalau tidak dapat gabah dari petani, lalu apa yang mau dijual kepada tukang nasi goreng? :)
Saya sebenarnya justru lebih suka mengimpor beras karena harganya lebih murah dan mutunya lebih baik. Menjelang panen raya, maka harga beras di China, Thailand dan Vietnam akan murah sekali.Â
Apalagi produktivitas sawah mereka itu sangat tinggi sekali. Amerika juga menjual beras, padahal konsumsi beras mereka itu kecil sekali. Kesulitan mereka itu juga sama seperti Bulog, yaitu kekurangan tempat untuk menyimpan beras hasil panen! Jadi kalau timing-nya pas, maka kita akan bisa mendapatkan beras berkualitas dengan harga murah!
Ketika saya mengajukan rencana impor, maka semuanya akan mengecam saya sebagai PKI, antek asing-aseng. "Koq impor padahal kita swasembada?"
Saya lalu lapor ke Istana, "Pakde kalau gak ada impor beras, maka warteg dan tukang nasi goreng akan bunuh diri." Pakde kaget, lalu berkata, "yah sudah lanjutken."
Apakah saya merencanakan komisi lewat impor ini? Nehi babuji! Saya najis makan duit dari cara begini karena terlalu mainstream hehehe. Kalau ada cara cari duit yang lebih berkelas, mengapa harus memakai cara yang bersahaja?
Saya ini tetaplah manusia biasa yang butuh disayang, dimanja dan butuh duit banyak juga...
Pada suatu kali saya telfon koko Boen, pemain besar, salah satu dari Crazy Rich Cipinang. "Koh, beras Bulog tinggal dikit, you punya stok 200 ribu ton gak ya? tapi harganya 9.000 ya?"
"Asiyap boss, sembilan libu, cengli boss!"
Gudang koko Boen di Jabodetabek sebenarnya berkapasitas 400 ribu ton, tetapi karena main beras akhir-akhir ini "tipis-tipis" saja maka stoknya cuma 225 ribu ton saja.
Esok harinya harga beras di pedagang besar merambat naik. Tersiar kabar kalau koko Boen bersedia memborong beras dengan harga pantas. Koko Liem, salah satu Crazy Rich Cipinang lainnya, awalnya senang sekali ketika melepas 100 ribu ton beras miliknya seharga Rp 9.000/kg kepada koko Boen. Namun ia kemudian menyesal ketika mendengar harga sudah diatas Rp 9.100/kg. Ditengarai berbelitnya pengurusan impor beras oleh Bulog menjadi penyebabnya.
Seminggu kemudian saya menelfon koko Liem. "koh, gua punya stok 200 ribu ton, tapi harganya cash sembilan dua ya, cengli kan?" Dari seberang terdengar suara orang setengah berteriak "Cengli boss!" Tak lama kemudian terdengar kabar kalau koko Liem deal dengan koko Boen di harga sembilan tiga.
Seminggu kemudian 200 ribu ton beras koko Boen keluar dari gudangnya, untuk kemudian masuk lagi ke gudangnya tersebut! Hahaha. Saya cuma dapat dikit, dua ratus perak saja dari setiap kilonya. Namun ketika dikali dengan 200 ribu ton, hasilnya menjadi Rp 40 Miliar, mayan...
Salam sayang selalu.
Referensi,
https://keuangan.kontan.co.id/news/waduh-bulog-punya-utang-sebesar-rp-1920-triliun-ke-tiga-bank-ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H