Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siti Zubaidah (Bagian 9)

18 Februari 2021   17:05 Diperbarui: 18 Februari 2021   18:13 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jauh memendam rindu, dekat memendam rasa

 

Biasanya Siti tak akan berani menatap mata seorang lelaki berlama-lama. Sebagian dari mereka itu biasanya akan segera mengerdipkan matanya sebelah. Sebagian lagi malahan matanya akan segera jelalatan seperti orang haus yang ingin melahap buah semangka.

Namun, semakin sering menatap mata Henry membuat perasaan Siti kian bingung. Seperti makan buah simalakama, dimakan mati ayah tak dimakan mati emak. "Jauh memendam rindu, dekat memendam rasa!" 

Henry juga kerap bercerita tentang Clara kepada Siti. Satu hal yang disukai Siti dari Henry adalah, tak sekalipun Henry pernah menceritakan hal buruk mengenai Clara.

Henry hanya mengeluh betapa susahnya untuk memahami dan mencintai Clara karena tidak adanya chemisty diantara mereka. Menurut Henry, Clara sangat baik kepadanya. Akan tetapi semakin lama hubungan mereka itu semakin membuat Henry tersiksa. Cinta memang tidak bisa dipaksakan...

Cerita Henry mengenai Clara menimbulkan secercah harapan baru bagi Siti. Apalagi Siti sangat yakin bahwa ada chemisty yang kuat di antara mereka seperti panci dengan tutup.

Tapi berdoa agar hubungan Henry dan Clara segera bubar tentu saja merupakan sesuatu yang jahat. Akan tetapi Siti dengan sengaja membiarkan suasananya sedemikian rupa, agar Henry tahu kalau dia itu pun sangat menyukai Henry. Itulah yang kemudian membuat Henry gregetan seperti makan buah similikiti, dimakan mati papi tak dimakan mati mami...

Tak dinyana mereka bisa bersama, pacaran dan bahkan kemudian menikah. Akan tetapi cinta mereka ini sangat besar biaya dan pengorbanannya. Sepadankah semua pengorbanan itu dengan "rasa" itu? 

Kini mereka terombang-ambing di samudera yang tak bertepi, mungkin hanya untuk mengakhiri petualangan cinta yang penuh rasa itu.

Apakah ini yang disebut cinta terlarang? 

Yah memang sangat banyak pihak-pihak yang melarang hubungan ini. Mulai dari Clara dan Rina (sepupu Henry dan sahabat Clara), Hamid, papa Henry sendiri, keluarga Siti hingga teman-teman Siti di tempat pekerjaannya di Kuala Kangsar. Jangan-jangan tuhan juga melarang hubungan ini...

Pelukan Henry kemudian membuyarkan lamunan Siti. "Ti, aku tak tau cara berdoa, tak tau juga berdoa kepada siapa. Mau tak awak berdoa untuk kita"

Siti hanya tersenyum. Dia pun sudah lupa kapan terakhir kalinya berdoa. "Aku nak nyanyi saja ya" katanya sambil tersenyum.

Henry nyaris tertawa geli. Suaranya memang cempreng dan dia tidak bisa bernyanyi. Itulah sebabnya dia mengagumi suara Siti yang merdu itu. Siti juga tahu kalau Henry sering terpesona mendengar suaranya, tapi Siti tahu itu bukan karena suaranya merdu melainkan karena memang belum pernah ada perempuan manapun yang pernah bernyanyi dengan jarak hanya 30 cm saja dari wajah Henry!

Jadi Siti sering-sering bernyanyi di depan Henry agar supaya dia itu "blingsatan."  Laki-laki kalau sudah "blingsatan" memang sudah gampang ngaturnya.  

Shalaatullaah Salaamullaah 'Alaa Thaaha Rasuulillaah

Shalaatullaah Salaamullaah 'Alaa Yaa Siin Habiibillaah

Tawassalnaa Bibismillaah Wabil Haadi Rasuulillaah

Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah...

Suara merdu Siti melantunkan Sholawat Badar berulang-ulang di kegelapan malam yang dingin. Kali ini Henry tidak blingsatan, tapi merasakan kedamaian. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang terasa beku. 

Entah dimana tuhan saat ini, tapi yang jelas dia tidak pernah merasakan kehadiran sosok tuhan di sepanjang hidupnya. Tuhan mungkin hanya untuk orang kaya saja. Itulah mungkin sebabnya komunis sering hadir diantara orang-orang miskin yang tak berdaya seperti dirinya.

Siti menghela nafas, ada sedikit kelegaan di hatinya. Saat ini situasinya begitu emosional, sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, tapi yang jelas emosi itu membuat suhu tubuhnya meningkat. Siti kemudian memeluk Henry. Keduanya terdiam dalam lamunan masing-masing.  

***

Henry menggigil kedinginan dalam diam, tanpa tahu harus berbuat apa. Badannya nyaris beku di pelukan laut dingin selat Malaka. Mungkin sudah lebih dari empat jam mereka terombang-ambing oleh alunan ombak tanpa tahu di bawa ke mana.

Tenaganya sudah sangat terkuras menahan ombak agar genggaman tangannya tidak terlepas dari tubuh Siti. Semangat hidupnya juga sudah mulai menurun. Samar-samar mulai terlihat cahaya fajar di ufuk timur.

Inikah akhir dari segalanya? Laut inikah yang akan merenggut cinta dan nyawa mereka? Mungkin iya, tetapi dia akan tetap melawannya sampai mati tak berdaya!

Dinginnya air laut kemudian mengingatkan Henry pada film Titanic yang ditontonnya bersama Siti lewat laptop beberapa waktu lalu. 

Aih, belum lekang dari ingatan ketika mereka berdebat soal dampak hipotermia bagi manusia yang terlalu lama berada di air.

Henry mengatakan kalau korban mati karena gagal nafas akibat paru-parunya penuh dengan air. Siti berpendapat hipotermia membuat suhu tubuh turun cepat yang berdampak pada gagalnya fungsi organ tubuh, terutama pada jantung dan sisitim pernafasan.  

Akhirnya mereka sepakat. Hipotesa Henry berlaku bagi korban yang tidak bisa berenang atau mengalami cedera ketika berada di air. Sedangkan hipotesa Siti berlaku bagi korban yang bisa berenang, tapi terlalu lama berada di air. Intinya kemampuan tubuh untuk memproduksi panas tidak sebanding lagi dengan dinginnya suhu di sekitar. Akibatnya fungsi organ tubuh dan kesadaran menurun, lalu korban tenggelam.

Aih, sekarang justru mereka sendiri yang mengalaminya. Henry teringat ketika koskap di bagian Forensik dulu. Dia masih ingat ketika mengotopsi beberapa jenazah orang yang mati tenggelam dengan ciri-cirinya yang sangat khas, yaitu paru-parunya penuh air dan ganggang.

Henry bergidik, lalu mengencangkan pelampung Siti dan pelampungnya. Mereka tidak akan mati tenggelam! Selat Malaka adalah salah satu perairan tersibuk di dunia. Sebentar lagi langit akan terang, mereka pasti akan terlihat oleh kapal-kapal yang melintasi selat ini. Yang penting mereka harus tetap semangat dan jangan pernah menyerah.

Henry lalu memeluk dan menciumi Siti dengan penuh nafsu. Siti kaget, tetapi kemudian membalasnya dengan hangat. Kedua tangan Siti melingkar di leher Henry dan mereka terus berciuman penuh nafsu...

Kemudian bibir mereka terlepas. Mereka saling menatap, lalu tertawa! Bibir dan muka mereka sekarang mulai memerah. Hawa panas dari dalam rupanya mampu mengurangi sedikit rasa dingin air laut itu.

Bukan hanya fisik saja, tetapi semangat mereka juga telah mulai kembali lagi. Laut pagi hanya bisa cemberut saja melihat perangai mereka berdua. Sebentar berciuman,  kemudian cekikikan dan tertawa lepas... Mereka tidak lagi khawatir dengan kondisi di sekitarnya. Mereka hanya mencoba menikmati kebersamaan mereka selagi masih ada waktu...

Sayup-sayup terdengar suara raungan dari mesin kapal memecah keheningan pada subuh hari itu. Kemudian terlihat bayangan sebuah kapal kayu dengan lampu sorot yang menyapu permukaan laut di sekelilingnya. Henry kemudian berteriak-teriak sambil mengangkat tangannya.

Kini lampu sorot kapal itu terfokus kepada bayangan Henry dan Siti yang berada di permukaan air laut. Lalu terdengar teriakan kuat dari kapal kayu tersebut, "Kakak...abaang... ini aku Samosir..!!" Lelaki paruh baya itu terus berteriak-teriak disertai tangisan, sehingga tidak jelas apa yang dikatakannya..

*** 

Henry dan Siti terbaring lemah di atas kapal kayu pengangkut TKI gelap tersebut. Tubuh mereka dibaluti dengan selimut tebal untuk menjaga agar tubuh mereka tetap hangat. Kondisi mereka masih lemah membuat mereka lebih banyak terdiam saja.

Hanya senyuman tipis dan sesekali air mata kebahagiaan saja yang dapat terlihat dengan jelas. Sesekali jari tangan Henry meremas dan mengusap jari tangan Siti tapi dia belum mampu berbicara.

Samosir tidak henti-hentinya memeluk Siti sambil menangis... "kita sudah sampe kak... kita sudah sampe kak......" serunya berulang-ulang..

-S e l e s a i-


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun