Yah memang sangat banyak pihak-pihak yang melarang hubungan ini. Mulai dari Clara dan Rina (sepupu Henry dan sahabat Clara), Hamid, papa Henry sendiri, keluarga Siti hingga teman-teman Siti di tempat pekerjaannya di Kuala Kangsar. Jangan-jangan tuhan juga melarang hubungan ini...
Pelukan Henry kemudian membuyarkan lamunan Siti. "Ti, aku tak tau cara berdoa, tak tau juga berdoa kepada siapa. Mau tak awak berdoa untuk kita"
Siti hanya tersenyum. Dia pun sudah lupa kapan terakhir kalinya berdoa. "Aku nak nyanyi saja ya" katanya sambil tersenyum.
Henry nyaris tertawa geli. Suaranya memang cempreng dan dia tidak bisa bernyanyi. Itulah sebabnya dia mengagumi suara Siti yang merdu itu. Siti juga tahu kalau Henry sering terpesona mendengar suaranya, tapi Siti tahu itu bukan karena suaranya merdu melainkan karena memang belum pernah ada perempuan manapun yang pernah bernyanyi dengan jarak hanya 30 cm saja dari wajah Henry!
Jadi Siti sering-sering bernyanyi di depan Henry agar supaya dia itu "blingsatan." Â Laki-laki kalau sudah "blingsatan" memang sudah gampang ngaturnya. Â
Shalaatullaah Salaamullaah 'Alaa Thaaha Rasuulillaah
Shalaatullaah Salaamullaah 'Alaa Yaa Siin Habiibillaah
Tawassalnaa Bibismillaah Wabil Haadi Rasuulillaah
Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah...
Suara merdu Siti melantunkan Sholawat Badar berulang-ulang di kegelapan malam yang dingin. Kali ini Henry tidak blingsatan, tapi merasakan kedamaian. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang terasa beku.Â
Entah dimana tuhan saat ini, tapi yang jelas dia tidak pernah merasakan kehadiran sosok tuhan di sepanjang hidupnya. Tuhan mungkin hanya untuk orang kaya saja. Itulah mungkin sebabnya komunis sering hadir diantara orang-orang miskin yang tak berdaya seperti dirinya.
Siti menghela nafas, ada sedikit kelegaan di hatinya. Saat ini situasinya begitu emosional, sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, tapi yang jelas emosi itu membuat suhu tubuhnya meningkat. Siti kemudian memeluk Henry. Keduanya terdiam dalam lamunan masing-masing. Â
***
Henry menggigil kedinginan dalam diam, tanpa tahu harus berbuat apa. Badannya nyaris beku di pelukan laut dingin selat Malaka. Mungkin sudah lebih dari empat jam mereka terombang-ambing oleh alunan ombak tanpa tahu di bawa ke mana.
Tenaganya sudah sangat terkuras menahan ombak agar genggaman tangannya tidak terlepas dari tubuh Siti. Semangat hidupnya juga sudah mulai menurun. Samar-samar mulai terlihat cahaya fajar di ufuk timur.