Pada zaman Soekarno PKI dipakai untuk meredam pengaruh TNI-AD dan Islam. Pada zaman Suharto PKI dipakai untuk  meredam kritik kepada pemerintah. Pada zaman Jokowi, PKI justru dipakai untuk mengkritik pemerintah!
Isu PKI selalu saja menghantui Indonesia walaupun PKI ini sudah bubar lebih dari setengah abad lalu. Menariknya Soekarno dan Jokowi selalu dituduh PKI, sedangkan Suharto justru "di-setting" menjadi pahlawan karena berhasil menghabisi PKI beserta setengah juta "kroni-kroninya itu." Belum terhitung nasib sial puluhan ribu napi politik yang menjalani hukuman di Pulau Buru tanpa proses pengadilan.
Sejujurnya tak banyak lagi jumlah saksi mata yang mengalami atau melihat secara langsung keberadaan PKI dalam khazanah politik Indonesia ini. Menilai PKI hanya dari peristiwa Gestapu (Gerakan 30 September 1965) tentu saja adalah sebuah kesesatan. Sebab siapa saja yang bermain pada peristiwa tersebut tetap masih kontroversi. Tapi yang jelas ada pihak yang dirugikan, dan ada pula yang diuntungkan.
PKI dan Soekarno jelas dirugikan. PKI bubar sedangkan Soekarno harus lengser keprabon. Sebaliknya Suharto sendiri untung besar, dari Pangkostrad kemudian loncat menjadi presiden. Suharto memang masih kalah pamor dari diktator lainnya, Muammar Khadafi yang loncat dari seorang Kolonel kemudian menjadi presiden Libya.
"Lucunya" adalah nasib Jokowi yang tidak tahu menahu dengan urusan PKI, tapi "rugi bandar." Namanya selalu dicatut musuh politiknya sebagai seorang PKI. Itulah kelucuan utama dari seorang Pakde.
Era Soekarno
Menjelang kemerdekaan RI itu, Asia memang sedang bergolak menentang kolonialisme. Di berbagai negara muncul gerakan perlawanan terhadap penjajah, baik yang kooperatif maupun nonkooperatif yang cenderung radikal terutama dimotori oleh kaum Komunis/Marxis.
Demikian juga halnya dengan Indonesia. Menjelang kemerdekaan itu sendiri ada empat kekuatan yang menjadi motor pergerakan melawan Belanda.
Yang pertama adalah kaum Nasionalis yang cenderung kooperatif dan mementingkan kekuatan diplomasi/lobby dalam menuntut kemerdekaan. Hal ini wajar karena mereka ini adalah kaum terpelajar didikan Belanda yang tidak suka akan kekerasan, dan sadar betul bahwa bermodalkan perlawanan fisik saja tidak akan mampu memerdekakan Indonesia.
Yang kedua adalah Komunis yang jelas nonkooperatif. Walaupun sipil, tetapi komunis sangat militan! Tulang punggungnya adalah kaum proletar seperti petani, buruh dan anak muda yang cenderung radikal. Pada zaman kolonial itu tentu saja PKI mendapat amunisi berlimpah dari kaum proletar ini.
Yang ketiga adalah Militer (BKR/Milisi cikal bakal TNI sekarang) yang tentu saja pastinya nonkooperatif. Wajar, sebab kalau kooperatif, maka sebagian besar dari mereka ini akan "macul saja di sawah," sebab mereka ini kebanyakan memang tidak berpendidikan serta tidak memiliki ketrampilan lain selain daripada bertempur.