Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berdamai dengan Kenaikan Tarif BPJS

18 Mei 2020   14:42 Diperbarui: 18 Mei 2020   15:14 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peserta BPJS, sumber : ps://img.okezone.comen-peserta-bpjs-ditolak-rumah-sakit-f81Za5scYc.jpg

Seorang lelaki paruh baya dengan tergopoh-gopoh berlari menuju kantor BPJS untuk membayar premi BPJS berikut dendanya selama 8 (delapan) bulan. Tak lama kemudian ponselnya berdering. Terdengar kabar kalau anaknya sudah sembuh, dan tak jadi dibawa ke rumah sakit. Rupanya anaknya itu "kesambet," dan setelah disembur orang pinter, anak itu kini sudah bisa main layangan lagi. Lelaki itu kemudian "balik kanan gerak" menuju sebuah Mall untuk membeli mainan bagi anaknya tadi dan kebutuhan lainnya dengan uang premi BPJS tadi...

Presiden Jokowi membuat langkah kontroversial ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut kemudian menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.

Ditengah merebaknya pandemi Covid-19 dan "celakanya" nasib sebagian besar masyarakat yang kehilangan pendapatan, langkah Jokowi ini jelas menjadi antitesis langkah SBY, presiden "paling populer" Indonesia sebelumnya itu.

Menaikkan iuran "asuransi rakyat jelata" ditengah pandemi itu ibarat memasukkan tangan telanjang ke sarang Cobra! Kalau Jokowi melakukannnya sehari sebelum Pilpres 2019 lalu, maka bisa dipastikan kalau Prabowo akan berjoged Goyang Dumang pada hari "H" tersebut.

Akan tetapi justru hal itulah yang membuat penulis tertarik untuk membahas isu kenaikan iuran BPJS ini, bukan dari sudut pandang populis, melainkan dari sudut pandang Kebenaran yang berlandaskan fakta lapangan, sesuai dengan kapasitas dan subjektivitas dari penulis sendiri.

Penulis bukanlah geng "penyeruput kopi" pengagum JKW, penggemar "goyang PRB" maupun Habib Bahar bin Smith. Penulis hanya ingin menyikapi fenomena BPJS ini dipadukan dengan sebuah pertanyaan, mengapa Jokowi "sedang tak ingin populer..."

***

Di negeri ini paling tidak enak itu adalah menjadi WSM (Warga Setengah Miskin) Miskin tidak, kayapun tidak! Kalau orang Senayan mengatakan bahwa politik itu cair dan plastis, maka keuangan WSM itu juga cair. Kalau ketiban rezeki ngopinya di starbuck, kalau apes ngopinya di teras indomaret.

Dalam masa pendemi ini jelas sekali kaum WSM ini lah yang paling terdampak. Lha bukannya orang miskin yang paling terdampak?

Tentu saja tidak!

Orang miskin itu terdampak kalau nasibnya apes, yaitu namanya tidak tercatat dalam Daftar Bantuan. Ataupun namanya "tercatut," tapi kemudian dana bantuan tersebut ditilep setelah sebelumnya disunat oleh pihak-pihak terkait, mulai dari Dinsos hingga level RT!

"Orang miskin mah enak." Dapat BLT, Raskin, Telur, Susu, Dana Bansos, Dana BOS gratis. Anak-anaknya pun diberikan tas dan sepatu plus buku-buku secara gratis. Beli gas 3 kg juga dapat subsidi.

Bagi yang tinggal di Jakarta, justru lebih enak lagi, bisa beli rumah dengan DP 0%.

Selain itu orang miskin juga tidak perlu membayar asuransi kesehatan seperti BPJS, karena preminya seluruhnya ditanggung oleh Pemerintah Pusat.

Nah lucunya, katanya orang miskin di Indonesia itu berkisar 10% saja, atau 24,79 juta jiwa per Desember 2019. Akan tetapi dari data BPJS sendiri, pada saat ini jumlah PBI (Penerima Bantuan Iuran) mencapai 133,5 juta penduduk, dimana 96,5 juta ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan 37 juta ditanggung oleh Pemerintah Daerah!

Kemudian, untuk peserta dari sektor formal ada sebanyak 17,7 juta PPU (Pekerja Penerima Upah) dari pegawai negeri dan sebanyak 36,4 juta dari Badan Usaha. Besar preminya adalah sebesar 5% dari gaji, dimana porsi pemberi kerja 4 persen dan pekerjanya 1 persen.

Adapun PBPU (pekerja Bukan Penerima Upah) mandiri yang didaftarkan ada sebanyak 30,4 juta dan BP (Bukan Pekerja) ada sebanyak 5 juta.

Dari data di atas, ternyata yang membayar penuh iuran BPJS itu selama ini adalah PBPU dan BP, dengan jumlah 30,4 juta plus 5 juta setara 35,4 juta jiwa.

Artinya, seharusnya "orang miskin" sama sekali tidak boleh dilibatkan (termasuk mengatasnamakan mereka ini) dalam urusan kenaikan iuran BPJS!

Lah yang iurannya disubsidi saja berjumlah 133,5 juta penduduk, yang artinya adalah 60% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Itu gak bayar blas sama sekali loh!

Artinya ternyata bukan cuma warga miskin saja yang disubsidi. WSM, dan jangan-jangan WK (Warga Kaya) iurannya juga disubsidi oleh negara!

Ketika kemudian ada yang berteriak-teriak mengenai kenaikan iuran BPJS ini, maka kemungkinannya ada empat.

Pertama, ia orang Miskin Apes. Miskin, tapi namanya tidak termasuk dalam PBI (Penerima Bantuan Iuran) BPJS.

Kedua, ia orang miskin tapi sok kaya. 

Kalau tak kuat bayar iuran BPJS, sebaiknya menghubungi RT dan Kelurahan. Selain menjadi PBI BPJS, nantinya juga akan mendapat BLT, Bansos, Dana BOS, gas 3 kg bersubsidi, telur, susu dan bantuan lainnya.

Lalu bagaimana sekiranya ada orang miskin tetapi tidak mau memakai BPJS. Nah, selain BPJS pastinya ada banyak asuransi kesehatan yang beroperasi di Indonesia, seperti misalnya Allianz, Axa, Manulife, CIGNA, Prudential, AIA , dan tentu saja Jiwasraya. Besar preminya pun tentu bisa disesuaikan dengan keinginan dari nasabah itu sendiri.

Ketiga, ia pasti orang kaya "kurang kerjaan," lalu berlagak miskin! Punya berbagai asuransi kesehatan, dan tidak sudi masuk BPJS, tetapi mengkritik pemerintah dengan mengatasnamakan warga miskin. Padahal sejatinya orang miskin itu tidak lah perlu membayar iuran BPJS (kecuali ia kurang kerjaan pula)

Keempat, ia pasti WSM (Warga Setengah Miskin) yang benar-benar terdampak oleh Covid-19 ini.

WSM (seperti penulis) tidak kuat untuk membayar premi asuransi swasta seperti Prudential misalnya, tetapi ogah pula disebut orang miskin agar bisa menjadi PBI (Penerima Bantuan Iuran) secara gratis.

Seyogianya WSM inilah yang diajak rembukan oleh BPJS, agar bisa menentukan besaran premi maupun metode pembayaran yang fleksibel agar tunggakan premi itu bisa dihindarkan.

Dari data di atas tentu saja kita paham kalau BPJS itu pastinya merugi. Jelas saja merugi karena yang membayar lancar pastinya adalah ASN dan pegawai Badan Usaha yang sebanyak 54,1 juta jiwa itu.

Itu pun karena langsung dipotong dari gaji. Kalau disuruh setor sendiri, mungkin akan macet juga karena terpotong oleh kreditan hape iPhone 11 Pro Max!

Lalu yang peserta mandiri itu pun banyak juga macetnya (hampir setengah dari peserta) Umumnya iuran akan lancar menjelang "peserta BPJS itu akan sakit!" Setelah ia sembuh dan agak lamaan lagi sakitnya, maka iuran BPJS-nya itu pun akan tertunggak pula. Akibatnya BPJS kesulitan likuiditas.

Pembayaran klaim ke Rumah Sakit pun akhirnya tersendat, membuat Rumah-Sakit kelimpungan membiayai operasional, yang jelas saja akan mengganggu pelayanan medis kepada pasien.

Sebaliknya Rumah Sakit nakal pun tak kurang pula akal bulusnya. Kalau pemakaian obat tentu saja sudah ada protap dari BPJS yang wajib diikuti Rumah Sakit agar klaimnya bisa ditagih.

Yang sering dikadalin itu adalah pemeriksaan pendukung (Radiologi dan Laboratorium) dengan indikasi tertentu. Akibatnya biaya pengobatan si-pasien menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.

***

Kemarin itu ada seorang teman cebongers berkata kepada penulis, "Ini gimana ya presiden Jokowi. Saat ini situasinya kan lagi susah, koq malah cari penyakit dengan menaikkan iuran BPJS. Yah kalau mau naikin, mbok ya diam-diam aja nanti pas bulan enam-nya..."

Penulis terhenyak, Jokowi memang terkesan hendak melawan arus, tetapi mengapa ia tidak mengikuti gaya pendahulunya itu? Mengapa Jokowi tidak main aman saja?

Persoalan BPJS ini memang bukan main-main. Bukan karena rumit persoalannya atau rumit solusinya, tetapi karena "warga +62 itu suka memperumit masalah justru agar menjadi lebih rumit lagi!"

Dari uraian penulis di atas, setengah dari masalah maupun solusi dari polemik BPJS ini sebenarnya sudah terdeteksi.

Masalah BPJS yang utama itu adalah preminya terlalu murah dan Pesertanya banyak menunggak iuran. Bahkan Pemerintah Daerah juga banyak yang menunggak kewajibannya untuk membayar premi!

Terkait besaran nilai klaim dari provider, seiring berjalannya waktu, BPJS dan Rumah Sakit (dan dokter) sudah semakin efisien dalam pengaturan metode/biaya perobatan pasien tanpa harus mengurangi mutu pelayanan medis bagi si-pasien tersebut.

Masalah BPJS ini memang pelik karena menjadi beban bagi negara, dan tentu saja mengganggu APBN. Padahal negara sendiri saat ini sedang cekak karena dunia usaha berhenti.

Padahal harapan semula BPJS ini bisa berdiri sendiri, tapi kenyataannya justru sebaliknya. BPJS ternyata adalah asuransi kesehatan yang lebih besar pasak daripada tiang. Bukan karena mismanajemen, tetapi karena miscalculation, terutama karena sedikit mengabaikan psikologi sosial warga +62 terhadap isu Hak dan Kewajiban dalam bernegara.

Pada 2020 ini , terutama dalam masa pendemi, Pemerintah sendiri sudah mengucurkan bantuan dana sebesar Rp 3,1 Triliun kepada BPJS!

Dari perhitungan murni akturia, besaran iuran BPJS itu agar mencapai BEP (break even point) Kelas I sebesar Rp 286.000, Kelas II sebesar Rp 184.000, dan Kelas III sebesar Rp 137.000.

Jadi sebenarnya harga iuran BPJS yang sekarang ini pun sebenarnya masih terlalu murah.

Coba bayangkan. Seorang peserta BPJS kelas III dengan premi Rp 25.500, kemudian mengalami serang jantung karena penyumbatan pembuluh darah jantung (koroner)

Tak ada jalan lain baginya agar bisa kembali menikmati indomie goreng kesukaannya itu selain melakukan operasi bypass jantung berbiaya Rp 150 juta! BPJS kemudian membayar biaya operasi tersebut kepada Rumah Sakit agar orang itu bisa tersenyum kembali.

Ketika BPJS belum lahir ke bumi persada ini, nasib kaum proletar itu sangatlah menyedihkan. Sebagian dari mereka itu kemudian meregang nyawa di emperan IGD Rumah Sakit karena tidak punya uang untuk membayar jaminan pengobatan di depan.

Rumah Sakit juga butuh dana untuk operasional. Dokter, Perawat dan Penata Medis itu juga punya keluarga yang harus diberi makan. Itulah sebabnya dibutuhkan asuransi kesehatan agar penanganan medis bisa segera dilakukan pada saat diperlukan, terutama pada saat kegawatdaruratan.

Jujur saja tadinya penulis menganggap masalah BPJS ini murni karena mismanajemen saja. Tetapi karena Presiden Jokowi tetap ngeyel untuk menaikkan kembali iuran BPJS ini (walaupun sebelumnya telah dianulir oleh MK) tentu saja membuat penulis berpikir kembali untuk melihat masalah ini lebih komprehensif.

Tidak ada seorangpun (termasuk Jokowi) yang tidak ingin terlihat populer. Tapi demi kepentingan bangsa, termasuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk RI, maka sikap tegas (namun tidak populer) harus dilakukan.

Mungkin ada diantara pembaca yang punya pandangan lain, dan itu sah-sah saja. Tetapi setidaknya sudilah kiranya memberi masukan agar supaya BPJS ini bisa mandiri demi pelayanan terbaik bagi seluruh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun