Seorang lelaki paruh baya dengan tergopoh-gopoh berlari menuju kantor BPJS untuk membayar premi BPJS berikut dendanya selama 8 (delapan) bulan. Tak lama kemudian ponselnya berdering. Terdengar kabar kalau anaknya sudah sembuh, dan tak jadi dibawa ke rumah sakit. Rupanya anaknya itu "kesambet," dan setelah disembur orang pinter, anak itu kini sudah bisa main layangan lagi. Lelaki itu kemudian "balik kanan gerak" menuju sebuah Mall untuk membeli mainan bagi anaknya tadi dan kebutuhan lainnya dengan uang premi BPJS tadi...
Presiden Jokowi membuat langkah kontroversial ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut kemudian menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.
Ditengah merebaknya pandemi Covid-19 dan "celakanya" nasib sebagian besar masyarakat yang kehilangan pendapatan, langkah Jokowi ini jelas menjadi antitesis langkah SBY, presiden "paling populer" Indonesia sebelumnya itu.
Menaikkan iuran "asuransi rakyat jelata" ditengah pandemi itu ibarat memasukkan tangan telanjang ke sarang Cobra! Kalau Jokowi melakukannnya sehari sebelum Pilpres 2019 lalu, maka bisa dipastikan kalau Prabowo akan berjoged Goyang Dumang pada hari "H" tersebut.
Akan tetapi justru hal itulah yang membuat penulis tertarik untuk membahas isu kenaikan iuran BPJS ini, bukan dari sudut pandang populis, melainkan dari sudut pandang Kebenaran yang berlandaskan fakta lapangan, sesuai dengan kapasitas dan subjektivitas dari penulis sendiri.
Penulis bukanlah geng "penyeruput kopi" pengagum JKW, penggemar "goyang PRB" maupun Habib Bahar bin Smith. Penulis hanya ingin menyikapi fenomena BPJS ini dipadukan dengan sebuah pertanyaan, mengapa Jokowi "sedang tak ingin populer..."
***
Di negeri ini paling tidak enak itu adalah menjadi WSM (Warga Setengah Miskin) Miskin tidak, kayapun tidak! Kalau orang Senayan mengatakan bahwa politik itu cair dan plastis, maka keuangan WSM itu juga cair. Kalau ketiban rezeki ngopinya di starbuck, kalau apes ngopinya di teras indomaret.
Dalam masa pendemi ini jelas sekali kaum WSM ini lah yang paling terdampak. Lha bukannya orang miskin yang paling terdampak?
Tentu saja tidak!
Orang miskin itu terdampak kalau nasibnya apes, yaitu namanya tidak tercatat dalam Daftar Bantuan. Ataupun namanya "tercatut," tapi kemudian dana bantuan tersebut ditilep setelah sebelumnya disunat oleh pihak-pihak terkait, mulai dari Dinsos hingga level RT!