Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Menunggu Telepon dari Istana

30 Oktober 2019   13:23 Diperbarui: 30 Oktober 2019   13:28 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan Jokowi-JK di depan Istana, sumber: beritasatu.com

Setelah pelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada hari Minggu kemarin itu, tiada disangka tiada diduga aku kemudian mendapat telepon penting dari Istana.

Intinya, akan ada interview langsung dari pakde untuk mengisi pos Kementerian Milenial Dan Pengentasan Kemiskinan, yang rencananya akan diisi oleh kaum milenial juga.

Awalnya aku ragu, karena nama-nama keren seperti Nadiem Makarim, sang bos Gojek ataupun Achmad Zaky, bosnya Bukalapak itu sudah lama tersohor dekat dengan Pakde.

Apalagi Bukalapak adalah startup Unicorn "pribumi" kelas wahid Indonesia. Jangan tanya lagi dengan Gojek yang baru saja naik kelas menjadi startup Decacorn pertama Indonesia.

Sementara startup-ku itu masih tergolong kelas "popcorn" karena valuasinya pun seharga popcorn itu sendiri. Apalagi umur startup ini memang masih seumuran jagung juga.

Jadi kalau disandingkan dengan Gojek dan Bukalapak, startup-ku itu ibarat kutu pelanduk diantara dua gajah raksasa!

Adapun startup-ku ini bergerak di bidang asmara, dengan fitur andalan, "tips jitu agar tidak diselingkuhi oleh selingkuhan"

Kebetulan saat ini Indonesia mengalami fenomena Bonus Demografi dimana komposisi penduduk didominasi oleh penduduk usia produktif yang lazim juga disebut sebagai generasi Y (milenial)

Penduduk usia produktif itu linier dengan dunia asmara. Artinya penduduk Indonesia saat ini sangat akrab dengan dunia asmara yang persis seperti koin dua sisi itu.

Ibarat jamu godok, jamu (baca : asmara) sehat tentu saja akan menambah stamina, gairah dan etos kerja bagi masyarakat yang kini dicecoki dengan jargon "kerja, kerja, kerja" itu.

Sebaliknya jamu tidak sehat akan membuat masyarakat nelongso, baperan, nangis tujuh hari tujuh malam, yang tentu saja akan mengganggu produktivitas kerja.

Dalam kondisi terburuk, jamu tidak sehat itu bahkan bisa memicu orang sampai mencoba bunuh diri dengan memanjat Menara SUTET misalnya.

Nah, rupanya inilah yang menjadi  pertimbangan Pakde untuk memanggilku, yaitu bagaimana untuk me-manage urusan asmara ini agar bisa bersinergi dengan semboyan, "kerja, kerja, kerja!"

Apakah aku ada kemungkinan ditempatkan di Depnaker juga nantinya? Wallahu a'lam.

***

Selasa, pagi itu matahari bersinar dengan garangnya. Halaman Istana Negara dipenuhi wartawan dan awak media yang kompakan memakai seragam kemeja putih dan celana panjang hitam.

Ketika aku masuk ke halaman istana, seorang awak media dengan herannya bertanya kepadaku.

"Pak, bapak memang benar-benar diundang ke istana kan?"

"Iya" jawabku kalem seperti gaya Pakde.

"Lha, bapak busananya kog gaya Orde Lama gitu Pak?" tanya wartawati dari tipi oon.

"Orde Lama bijimana, ini daleman ya tetap di dalam, bukannya di luar. kemeja dan celana normal semua" jawabku ketus.

"Lha warnanya itu loh pak, mosok kemejanya kuning, celana merah! standare pakde itu kemeja putih, celana hitam. Wartawan aja pake seragam putih-hitam"

"Oh, gitu. tapi busana ini ada storynya lho. Ibu saya itu mantan petinggi Golkar sedangkan ayah saya juga mantan petinggi PDI-P kataku bangga.

"Kalau begitu bapak ini berarti penganut mazhab kuning di atas merah di bawah ya pak" kata seorang wartawati dengan genitnya.

Tak ayal pertanyaan sekaligus pernyataan dari sicantik itu membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal, sementara aku cuma bisa mesem-mesem saja...

"Wah, takutnya bapak ntar masuk dari halaman depan, belok kanan, trus lewat toilet umum, belok kiri, eh malah langsung keluar ke halaman belakang tanpa sempat bertemu dengan pakde" jawab para awak media itu kompakan sambil tertawa.

"Waduh, begitu ya?" aku terperanjat!

Singkat cerita, aku akhirnya dipinjami awak media itu dengan seperangkat alat sholat, eh setelan seragam putih hitam ala Pakde...

Sebuah notifikasi kemudian muncul di layer hape. Ada pesan dari Syaiful yang bukan Jamil, seorang tukang cuci piring Istana yang menjadi sohibku sedari kecil.

"Semua calon menteri Pakde itu adalah horang kaya. Tapi Pakde butuh seorang menteri yang benar-benar miskin. Ana hakul yakin kalau antum adalah orang yang tepat. Kalau antum tidak belagu dan sok kaya, antum niscaya akan berhasil!"

Lalu muncul sebuah notifikasi lagi. "Wassalam, Syaiful yang bukan Jamil"

Diiringi suitan dan tepuk tangan para wartawan, aku kemudian melangkahkan kakiku menuju Istana. Sesekali aku menoleh ke belakang sambil melambaikan tanganku untuk mengurangi rasa grogi yang membahana di dada.

Berkisar sepuluh menitan saja di ruang Setneg, aku lalu dipanggil masuk ke ruang Pakde!

Badanku keringat dingin. Aku kemudian merapal doa, sambil mencoba untuk mengingat-ingat nama-nama ikan, burung, beruk, pokoknya nama-nama hewan yang sering ditanyakan oleh pakde ketika akan memberikan hadiah sepeda kepada warga.

Setelah bersalaman dan berbasa-basi sejenak, Pakde kemudian memberikan sebuah salak dan menyuruhku untuk mengupasnya.

Ah, aku tahu ini adalah tes kemiskinan itu. Dalam sekejap mata, aku kemudian mengupas salak itu dengan gigiku!

"Hah, anda ini fix benar-benar orang miskin rupanya ya" kata Pakde sambil tertawa.

Sambil tersipu malu aku kemudian berkata, "Saya ini bukan NR Pak. Sejak kecil saya terbiasa nyolong salak tetangga Pak, hehehe. Itu salak saya ambil pakai tangan sendiri, langsung dari pohonnya pak"

"Waduh, apa tangan saudara tidak terluka terkena durinya?"

 "Oh tentu saja tidak Pak, malah kasihan durinya patah terkena tangan saya Pak, hehehehe"

"Oalah, ternyata sampeyan ini memang benar-benar miskin banget ya..." kata Pakde sambil tertawa terbahak-bahak.

Rasanya aku belum pernah melihat Pakde tertawa begitu lepasnya.

Setelah terdiam sejenak, Pakde tampak berpikir, lalu tertawa lagi karena baru saja menemukan sebuah ide jitu.

Rencananya nanti kalau Pakde blusukan ke daerah-daerah, Pakde akan menyuruh warga untuk mengupas buah salak untuk menguji langsung kesejahteraan warganya itu!

Kini beliau baru sadar kalau angka kemiskinan yang baru saja dirilis BPS itu bisa saja keliru.

Kalau saja masih banyak warga yang mengupas kulit salak dengan giginya, apalagi mengambil langsung buahnya dengan tangan telanjang dari pohonnya, maka bisa dipastikan kalau PR pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan itu memang masih banyak...

***

Proses interview itu sendiri berjalan singkat. Tak sampai setengah jam di dalam, wajahku pun sudah nongol di halaman depan Istana. Langkahku kemudian disambut tepuk tangan dan teriakan para wartawan, yang kemudian berebutan untuk mewawancaraiku.

Ternyata ketika sang kamerawan tipi oon itu berbalik, ujung dari video kameranya tanpa sengaja menghajar daguku, membuatku terjengkang ke belakang.

"Aduh, aduh teriakku sambil memegang dagu"

"Ayah, ayah... ayah kenapa?" tanya bungsuku ketika melihatku berada di lantai.

Rupanya tadi itu aku ketiduran ketika menonton liputan para calon menteri yang akan dipanggil ke Istana lewat layar televisi.

Ternyata sofa yang kududuki ini kualitas KW2. Sofanya ambruk, dan aku pun terjatuh ke lantai.

Sialan, padahal sofa ini baru saja kubeli tiga bulan lalu.

"Istana, istana..." aku masih mengigau ketika mencoba untuk bangkit.

"Iya bener yah, ada orang Istana di depan" kata anakku sambil memegang tanganku.

"Hah, beneran Dul?" tanyaku tak percaya.

"Iya yah. Yang satu dari Istana Motor. Motor ayah sudah ditarik leasing karena katanya ayah menunggak cicilan lima kali. Yang dua lagi dari Istana Elektronik dan Istana Furniture, mereka mau mengambil tivi dan sofa ini. Mereka cuma nunggu ayah bangun saja..."

"Alamak!" jeritku lemes tak berdaya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun