Minggu 20 Oktober 2019 menjadi hari bersejarah bagi pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan 85,03 juta orang (55,50% suara) rakyat Indonesia yang menyaksikannya pelantikan Presiden-Wakil Presiden tersebut secara langsung melalui televisi.
Namun hari itu juga menjadi hari bersejarah bagi 68,44 juta orang (44,50% suara) yang tidak bisa menyaksikannya acara pelantikan Presiden-Wakil Presiden tersebut karena mereka ini #MatikanTVSeharian
Momen puncak pada perhelatan pelantikan Presiden-Wakil Presiden tersebut tentu saja adalah pada saat pengambilan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Sisi humanitasku sebagai manusia yang memang rawan baper kemudian tergugah ketika melihat sorot mata dan gestur tubuh Prabowo Subianto lewat layar televisi, ketika menyaksikan pengambilan sumpah Presiden Joko Widodo.
"Ah, seandainya saja aku yang berada disitu..." Itulah kalimat yang terbayang dipikiranku sebagai wujud empatiku kepada beliau. Itulah untuk pertama kalinya aku merasa iba kepada beliau ini. Aku coba membayangkan seperti apa rasanya. Ah, ternyata rasanya itu memang lebih buruk daripada perasaan diselingkuhi oleh selingkuhan terjelek yang pernah kita selingkuhi!
***
Senin 21 Oktober 2019 kemudian menjadi hari paling di-kepoin rakyat Indonesia (termasuk yang 44,50% suara itu) karena di Istana Negara akan ada perhelatan #NyalainTVSeharian, yaitu "Acara kepoin Calon Menteri Jokowi"
Diduga sejak berakhirnya acara pelantikan Presiden hingga dini hari menjelang Senin 21 Oktober 2019, banyak putra-putri Indonesia yang terjaga sambil memegangi handphone yang sudah dilengkapi dengan power bank tersebut. Tujuannya cuma satu, menunggu telfon dari Istana!
Diantara para kandidat menteri tersebut, ada satu sosok yang sangat menarik perhatian, yang tak lain tak bukan adalah sosok mantan Capres 2019, Prabowo Subianto.
Sangat menarik karena PS (Prabowo Subianto) sendiri mendeklarasikan kalau dirinya diminta Presiden untuk membantu Presiden di bidang pertahanan.
Walaupun belum ada pengunguman resmi dari Presiden Jokowi perihal susunan kabinet, namun bisa dipastikan kalau klaim PS ini akan benar adanya.
68,44 juta orang plus Surya Paloh dan kawan-kawan kemudian terkedjoet! 68,44 juta jiwa kemudian nyaris setrok karena Paduka Baginda 02 memilih turun kelas dari seorang Capres (Calon Presdien) menjadi seorang Pempers (Pembantu Peresiden).
SP (Surya Paloh) dan kawan-kawan kemudian merajuk. Masuknya PS dan kawan-kawan ini jelas akan mengurangi jatah menteri yang tersedia. Padahal Koalisi ini sudah berjuang sejak dari awal untuk membantu Jokowi. Sementara PS ini justru adalah seteru abadi yang kemudian ujug-ujug minta jatah menteri. "Duh, sakitnya tuh disini...."
Tampaknya SP akan memilih keluar dari koalisi, untuk kemudian menjadi oposisi pemerintah.
Inilah memang dunia politik. Tidak ada musuh abadi maupun teman abadi, sebab yang abadi itu hanyalah kepentingan semata.
Tadinya SP adalah teman Jokowi, sedangkan PS adalah seteru. Namun kini PS menjadi teman, sedangkan SP malah memilih menjadi seteru! Artinya PS dan SP ini akan bertukar tempat dalam pemerintahan Jokowi.
Politik itu memang seperti sarung Pakde. "Kaki bisa jadi kepala, kepala bisa jadi kaki"
***
Politik itu memang cair dan dinamis, persis seperti cairan yang selalu mengalir mengikuti gaya gravitasi (kekuasaan) sebab dimana ada kekuasaan maka cairan (politisi) pun pasti akan mengikutinya.
Saya akan mecoba mengamati dan menganalisa lewat kacamata burem seorang K'ers abal-abal terhadap fenomena politik yang terjadi saat ini, dari kedua pribadi berpengaruh tersebut.
Pertama, Jokowi
Setelah berhasil menaklukkan PS pada ajang Pilpres kemarin, Jokowi hakul yakin kalau PS ini akan berubah menjadi "anak manis," karena pada dasarnya PS ini adalah "anak yang baik budi."
Hal ini tak lepas dari cita-cita dan tujuan utama PS sendiri, yaitu menjadi seorang presiden.
Ketika pada 2014 dan 2019 PS gagal, maka masih ada kesempatan bagi PS untuk mengikuti Pilpres 2024, dimana Jokowi tidak bisa lagi mengikutinya.
Artinya Jokowi dan PS bisa berkolaborasi sekarang ini demi kepentingan bersama. Jokowi yang tidak punya kepentingan politik lagi pada 2024 nanti, bersedia membantu PS untuk menggapai cita-citanya itu.
Tentu saja "Tidak ada makan siang gratis." Jokowi juga perlu bantuan PS untuk mengamankan para "begundal dan parasit anti pemerintah" yang sebelum ini berkolaborasi dengan PS, agar pemerintahan Jokowi nantinya bisa berjalan mulus dan lancar jaya.
Situasi ini menarik dicermati, yaitu bagaimana melihat pendekatan mantan Danjen Kopassus ini nantinya ketika menangani sebuah persoalan pelik tingkat tinggi, terkait perubahan metodologi kerja.
Ibarat pertempuran, selama ini strategi pertempuran PS selalunya lewat Pasukan Teror. Namun kini strategi tempurnya dibalik dengan memakai Pasukan Kontra Teror yang harus proaktif beraksi untuk mendahului aksi Pasukan Teror lawan.
Masuknya PS bersama teman-temannya ke dalam pemerintahan, tentu saja membawa konsekwensi bagi hubungan Jokowi dengan koalisi pemerintah yang sudah terjalin sebelumnya.
Namun justru disinilah "koalisi kerakyatan" ini diuji. "A friend in need is a friend indeed"Â Benarkah koalisi ini tulus mendukung Jokowi sepenuhnya bagi kemajuan negara dan bangsa?
Tapi bagi Jokowi sendiri, jelas lebih menguntungkan kalau sekiranya mengajak PS berada dalam koalisi, daripada membiarkannya kesepian di luar sana. Seandainya PS berada di luar koalisi, apakah ia berpotensi untuk menggangu pemerintahan?
Tentu saja tidak! Sebab tujuan PS itu adalah menjadi presiden, dan tak ada satu alasan atau jalan pun baginya untuk bisa menjadi presiden saat ini, kecuali dengan jalan makar! Tentu saja PS tidak berniat saat ini untuk melakukan makar!
Lima tahun ke depan menjadi momen menarik untuk dicermati. Kali ini Jokowi tampaknya bersikap tegas kepada semua elite politik demi kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
Akan tetapi Jokowi akan bersikap fair nantinya dengan memberikan dukungan yang sama kepada setiap elite politik yang ingin maju pada perhelatan Pilpres 2024.
Elite politik yang bijak tentu saja akan bersikap cerdas untuk mendukung pemerintahan saat ini, karena sama sekali tidak ada untungnya mencoba berseberangan, karena "pestanya" sendiri pun masih lima tahun lagi...
Kedua, Prabowo Subianto
"Kalau engkau tidak bisa menaklukkan lawanmu, maka jadikan dia temanmu"
Kalimat bijak yang berlaku universal ini tentu saja sudah dipahami PS. Dua kali menelan kekalahan dari Jokowi, sudah cukup menjadi alasan bagi PS untuk menjadikan Jokowi menjadi teman, atau bahkan sahabat untuk mendukung cita-citanya yang tertunda tersebut.
Inilah yang tidak dipahami oleh 68,44 juta jiwa pendukung baginda paduka PS yang kemudian patah hati dan melakukan aksi #MatikanTVSeharian.
Padahal Jokowi adalah sosok terbaik yang bisa mendukung ambisi PS menjadi seorang presiden.
Seandainya PS berada di luar kekuasaan, maka nasibnya akan "celaka." popularitasnya akan dilibas oleh AHY atau AB ataupun Lucinta Luna, seandainya yang bersangkutan tertarik juga untuk nyalon pada 2024 nanti.
Berada dalam lingkar kekuasaan selalunya berperan besar dalam menjaga popularitas seseorang.
Mau contoh nyata? Lihat saja sosok mantan Panglima TNI, GN (Gatot Nurmantio) yang kontroversial itu. Dulu ketika masih menjabat Panglima TNI, GN ini sering membuat kegerahan dan kegaduhan, dalam rangka untuk menarik perhatian publik dan elite politik.
Salah satunya ketika ia kemudian memaksa untuk memutar film G30S/PKI di Koramil/markas TNI di seluruh Indonesia.
Walaupun tersamar, tetapi tujuannya jelas terbaca. Yaitu untuk memojokkan Penguasa Istana yang dituduhkan kelompok tertentu sebagai anak seorang PKI.
Akhirnya PKI (Pemegang Kekuasaan Indonesia) sejati pun benar-benar bertindak. GN kemudian lengser keprabon sebelum waktunya. Ibarat bunga, GN langsung layu sebelum berkembang, dan sejarah kemudian melupakannya.
Masih adakah yang mengingat nama beliau ini? Rasanya tidak.
Sayapun baru mengingat beliau ini, justru ketika ia bersama Rocky Gerung kemudian gagal menjadi "menteri ecek-eceknya PS..."
Kembali ke topik, tentu saja PS sudah belajar banyak dari sejarah kekuasaan yang selalu berulang.
Walaupun kini PS tidak disukai oleh 68,44 juta jiwa pendukungnya dulu, namun kini PS didukung oleh 85,03 juta orang yang belajar untuk menyukainya.
Artinya dalam rumus hitungan sempoa sederhana, PS ini masih hoki. 85,03 juta ternyata lebih banyak dari 68,44 juta!
Bermodalkan 85,03 juta suara, Jokowi bisa menjadi presiden pada 2019. Dengan logika yang sama, pada 2024 nanti PS pun akan bisa melakukannya juga....
Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H