Mencegah kenaikan harga sembako menjelang Ramadan itu sama susahnya dengan mengurai kemacetan di jalan raya ketika mudik Lebaran! Kenaikan harga menjelang puasa bukan cerita baru di negeri ini. Sejak zaman kemerdekaan pun masalah kenaikan harga sembako ini selalu mengikuti antusiasme masyarakat dalam menyambut Ramadan.
Harga suatu komoditas selalu mengikuti Hukum Ekonomi yang sederhana dan transparan. Hukum Ekonomi yang disebut juga sebagai Mekanisme Pasar ini terdiri dari tiga prisip yang saling berkaitan satu dengan lainnya.
Prinsip pertama, adalah Hukum supply & demand. Kedua, Hukum Profit, yang merupakan selisih Harga Penjualan dikurangi Harga Pembelian. Ketiga, Hukum Prioritas dan Kualitas, dimana Harga akan dipengaruhi oleh aspek ini.
Pertama, Hukum supply & demand
Ketika permintaan lebih banyak daripada penawaran, maka harga akan naik. Dan sebaliknya ketika permintaan lebih sedikit daripada penawaran, maka harga akan turun! Jadi sebenarnya cukup wajar jika pada komoditas tertentu harganya akan naik karena memang permintaannya juga naik menjelang Ramadan.
Prinsip itu jugalah yang dipakai Pemerintah untuk menstabilkan harga Pasar menjelang Ramadan dan hari-hari besar keagamaan lainnya, yaitu dengan melakukan Operasi Pasar.
Kedua Hukum Profit
Belum pernah ada ceritanya seorang pedagang merugi karena menjual suatu komoditas dengan harga lebih rendah daripada harga pembeliannya! Kekecualian hanya mungkin terjadi kalau sekiranya pembeli tersebut adalah mertua, mantan ataupun gebetan!
Profit yang diambil oleh pedagang tentu saja akan menaikkan harga penjualan. Karena "profit yang wajar" itu ada di ranah subjektif, maka tingkat kenaikan harga suatu komoditas itupun bisa menjadi subjektif (baca, gila-gilaan juga!)
Ketiga, Hukum Prioritas dan Kualitas
"Barangnya sama tetapi harganya bebeda!" Ini adalah hal yang wajar dalam mekanisme pasar. Harga seikat bayam di Kemchick dengan harga seikat bayam di lapak kaki lima Pasar Jombang itu berbeda, padahal komoditasnya sama. Itu karena sipembeli lebih memprioritaskan tempat membeli yang sejuk dan nyaman, dan juga kualitas barang (bayam organik) Â
Mungkin anda pernah membaca iklan penjualan mobil, "Djl cpt mbl Avz 2014 Pth BU!" Dua huruf terakhir "BU" (Butuh Uang) itu menjadi kata kunci bahwa harga komoditas tersebut ditawarkan lebih murah daripada mobil sejenis lainnya. "Kode cpt" adalah pertanda bahwa sipenjual memprioritaskan dana penjualan mobil tersebut, dan siap untuk "nego habis..."
***
"Ini Medan bung!" Demikianlah seruan sinis seorang pedagang rokok asongan kepada seorang penumpang yang baru saja tiba di sebuah stasion bis, di kota Medan. Rupanya penumpang tersebut baru saja kehilangan kopernya pada saat dia menyalakan sigaret yang baru saja dibelinya dari pedagang asongan tersebut...
Seruan sinis seperti itulah yang terngiang dikepala penulis ketika melihat kenaikan harga beras, yang berdampingan dengan Operasi Pasar yang sedang dilakukan oleh Bulog! Ini tampak seperti sebuah ironi. Operasi pasar yang dilakukan Bulog beberapa waktu lalu itu sama sekali tidak mampu menurunkan harga beras!
Teori ekonomi modern maupun lawas sepertinya tidak mampu menjelaskan fenomena kenaikan harga ini. Para ekonom, praktisi maupun pejabat terkait dari Kementan maupun Kemdag kemudian memberi penjelasan untuk fenomena ini. Namun penjelasan tersebut tidak mampu mengatasi persoalan, justru sebaliknya membuat masyarakat semakin bingung dengan pernyataan yang saling bertolak belakang satu sama lain...
Lalu bagaimana cara efektif untuk "Menjaga Stabilitas Harga Barang Kebutuhan Pokok demi Kesejahteraan Masyarakat ini?
Jawabnya kembali kepada teori Mekanisme Pasar dengan tiga prisip yang saling berkaitan itu.
Menjelang Ramadan dan dan hari-hari besar keagamaan lainnya, umumnya komoditas akan "menghilang" sejenak. Sebenarnya lebih tepat disebut "ngumpet!" Akan tetapi kalau diperiksa alur distribusi barang, sebenarnya semua tampak normal saja. Bahkan jumlah persediaan barang sebenarnya meningkat untuk mengantisipasi kenaikan permintaan. Lalu dimanakah letak permasalahannya?
Setiap komoditas mempunyai karakteristik tertentu yang tidak sama dengan komoditas lainnya. Itulah sebabnya untuk setiap masing-masing komoditas, penanganannya harus dengan cara tersendiri pula. Mari kita periksa jalur distrubusi tersebut. Dimulai dari Industri/Importir, lalu Distributor, kemudian Agen Besar, Grosir, lalu Pengecer di Pasar yang menjual ke konsumen.
Kita ambil misalnya komoditas gula pasir.
Dalam kondisi normal, distribusi barang dari Distributor hingga Pengecer berjalan lancar. Sistim pembayaran juga biasanya lebih longgar, mulai dari kredit satu bulan (buka giro) hingga tunai bertahap di tingkat pengecer.
Lalu terjadi momen Ramadan, yang membuat Hukum Mekanisme Pasar menjadi elastis dan berubah! Hal ini disebabkan oleh adanya peluang untuk menaikkan Profit karena meningkatnya kebutuhan (Prioritas dan Kualitas) dari Pedagang (Agen Besar, Grosir dan Pengecer) untuk kebutuhan Ramadan. Lalu Hukum supply & demand dipakai untuk mengerek harga!
Lalu isu barang menghilang dihembuskan. Suply barang dari Distributor mulai dibatasi. Bukan itu saja, sistim pembayaran kini dibalik! Kalau semula antar dulu baru bayar, kini bayar dulu baru barang akan dikirim!
Trik ini sejatinya berbau spekulatif, karena barang sebenarnya banyak di gudang! Tapi para spekulan ini sangat menguasai pasar dan paham betul bagaimana cara menjalankan bisnis ini.
Agen Besar pertamanya pasti kaget dengan kondisi ini. Akan tetapi karena permintaan dari Grosir justru semakin naik, dan mereka juga siap dengan kondisi pembayaran, maka bisnis kemudian tetap berjalan. Demikian seterusnya jalur distribusi barang hingga ke pengecer. Walaupun ngedumel, konsumen biasanya memaklumi kenaikan harga pada saat Ramadan. Itulah sebabnya penulis menyebut, para spekulan ini sangat menguasai pasar dan paham betul bagaimana cara menjalankan bisnis ini...
Kondisi ini semakin trenyuh karena ketika penulis melihat langsung ke Pasar, stok gula pasir pedagang memang sedikit. Tapi saya mendapat bocoran dari ahlinya. Pedagang selalu membual kalau barang masuk cuma sedikit, padahal stok gula di grosir sebenarnya banyak. Itu semata karena gula tersebut harus dibeli secara kontan, dan pedagang tersebut tidak mau uangnya "mati" di gula saja. Artinya, pedagang tersebut sebenarnya kurang modal untuk "main kontanan..."
Tentu bukan hanya profit saja alasan untuk menaikkan harga. Ada juga "kewajiban tambahan" pedagang menjelang Ramadan. Mulai dari tingkat terbawah saja misalnya. Petugas kebersihan, Â Petugas Pasar dan preman tentu saja akan meminta "uang lebaran" kepada pengecer. Karena biaya tersebut tidak termaktub dalam pos Harga pokok pembelian, maka pengecer memasukkan biaya tersebut kepada harga penjualan...
Demikian juga yang dihadapi oleh Distributor, Agen Besar dan Grosir. Biaya taktis ini akan bertambah lagi dengan pos biaya untuk "wartawan bodrek," LSM, OKP, Panti Asuhan dan "Susani" (Sumbangan sana-sini) Akan tetapi pos biaya ini sungguh tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan profit yang didapatkan...
***
Tahun 2017 kemarin, Kemdag menetapkan regulasi HET (Harge Eceran Tertinggi) untuk beras, gula pasir, minyak goreng dan daging sapi. Lalu penulis pergi ke supermarket, dan mendapati harga komoditas tersebut memang sesuai dengan HET Kemdag tersebut. Akan tetapi malangnya penulis tidak mendapati komoditas tersebut barang secuilpun karena sudah habis! Menurut informasi petugas, jumlah komoditas tersebut memang terbatas...
Lalu penulis pergi kepasar untuk membeli komoditas tersebut dengan harga yang sesuai dengan HET. Akan tetapi menurut pedagang, penulis salah tempat! Kalau hendak membeli komoditas sesuai dengan HET, belinya di Kemdag bukan di Pasar! Sebab Pasar itu selalu menjual komoditas sesuai dengan harga Pasar...
***
Operasi Pasar oleh Bulog selama ini memang salah kaprah dan tidak tepat sasaran! Operasi Pasar ala Bulog ini sejatinya tidak akan pernah bisa mengkoreksi harga! Mengapa? Sebab apa yang dilakukan oleh Bulog itu adalah pekerjaan milik Dinas Sosial!
Ketika terjadi kenaikan harga, maka yang paling menderita adalah masyarakat kelas bawah. Itulah sebabnya Pemerintah melakukan Operasi Pasar dengan cara menjual secara langsung (mengecer) untuk menjangkau kaum ini.
Walaupun barangnya dari Bulog, akan tetapi pelaksana Operasi Pasar ini seharusnya adalah Dinas Sosial/Kemsos, bukan Bulog! Sebab Bulog bukan badan sosial! Bulog adalah badan ekonomi untuk menyangga dan menjaga stabilitas komoditas penting!
Kalau Pemerintah memang serius untuk Menjaga Stabilitas Harga Barang Kebutuhan Pokok demi Kesejahteraan Masyarakat (lewat Bulog) maka caranya bukan dengan memutus rantai distrubusi barang (menjual secara eceran) melainkan harus tetap mengikuti jalur distribusi barang secara normal.
Artinya Pemerintah (Bulog) berperan sebagai Distributor yang berbisnis "secara normal" dengan jaringan distribusi dibawahnya. Artinya, kalau "term and condition" dijalur distribusi berlaku secara normal, maka harga barang di pasar otomatis akan normal pula! Itu saja, dan sederhana saja!
Jadi kalau terjadi kenaikan harga suatu barang, maka coba periksa term and condition pada jalur distributor ke atas, karena disanalah ditenggarai letak permasalahannya...
Barang sejatinya tidak pernah menghilang. Akan tetapi cara pembayaran untuk menebus barang tersebut, membuat jalur distribusi menjadi terbatas sehingga mengerek harga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H