Menurut catatan sejarawan Takashi Shiraishi dalam bukunya An Age in Motion, pada 1900 hanya ada sekitar 1.500 orang pribumi yang bisa mengakses pendidikan menengah atas seperti HBS. Ini menunjukkan betapa eksklusifnya pendidikan di Hindia Belanda, dan bagaimana sistem ini secara struktural membatasi mobilitas sosial pribumi.
Pram juga mengkritik sistem hukum kolonial yang tidak adil. Dalam kasus Annelies, misalnya, hukum Eropa lebih berkuasa dibandingkan kenyataan sosial di Hindia. Ini mencerminkan bagaimana hukum kolonial didesain untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk melindungi rakyat.
Pram dan Narasi yang Tak Tergantikan
Ketika membaca Bumi Manusia, sulit untuk tidak terpesona oleh cara Pram menulis. Ia memiliki gaya bertutur yang khas: panjang, mendetail, tetapi mengalir seperti seorang kakek yang sedang bercerita kepada cucunya. Kalimat-kalimatnya sarat dengan emosi, tetapi juga tajam dalam analisis.
Sebagai penulis, Pram memang unik. Ia menulis Bumi Manusia saat diasingkan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru. Ia tidak punya akses ke buku referensi, tetapi ia mengandalkan ingatan dan pengalaman. Ini membuat novelnya terasa begitu hidup, seperti rekaman sejarah yang dibuat dengan hati dan darah.
Buku ini juga sempat dilarang beredar pada 1981 dengan alasan mengandung ajaran Marxisme. Padahal, jika dibaca dengan jujur, Bumi Manusia lebih merupakan kritik terhadap kolonialisme dan ketidakadilan sosial daripada propaganda ideologi tertentu. Larangan ini justru menunjukkan betapa kuatnya dampak pemikiran Pram, bahkan terhadap rezim yang berkuasa puluhan tahun setelah masa kolonial berakhir.
Bumi Manusia dan Relevansinya Hari Ini
Setelah membaca Bumi Manusia, saya memahami mengapa novel ini masih relevan hingga sekarang. Meskipun latarnya adalah Hindia Belanda di awal abad ke-20, tema-tema yang diangkatnya---ketidakadilan hukum, kesenjangan sosial, diskriminasi, dan perjuangan perempuan---masih terasa dekat dengan realitas kita hari ini.
Di era modern, kita masih melihat bagaimana hukum seringkali berpihak pada mereka yang lebih berkuasa. Perempuan masih harus berjuang untuk kesetaraan. Dan pendidikan masih menjadi jalan terjal bagi banyak orang untuk keluar dari kemiskinan.
Membaca Pram, terutama Bumi Manusia, bukan hanya soal menikmati cerita. Ini adalah pengalaman memahami sejarah, melihat bagaimana ketidakadilan terbentuk, dan merenungkan bagaimana kita bisa mengubahnya.
Pram pernah berkata, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Dengan Bumi Manusia, ia bukan hanya menulis, tetapi menanamkan sejarah yang tidak bisa dihapus begitu saja. Dan bagi saya, buku ini bukan sekadar bacaan pertama dari Tetralogi Pulau Buru, tetapi juga pertemuan pertama dengan cara berpikir yang lebih tajam dan kritis.