Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Bumi Manusia, Perjumpaan Pertama dengan Pram dan Sejarah yang Menyala

2 Februari 2025   16:43 Diperbarui: 3 Februari 2025   16:07 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Artis peran Iqbaal Ramadhan menjalani shooting film Bumi Manusia yang disutradarai Hanung Bramantyo dan diproduksi oleh Falcon Pictures. (DOK. FALCON PICTURES via kompas.com)

Saya masih ingat betul perasaan pertama kali membaca Bumi Manusia, novel pertama dalam Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. 

Buku ini adalah gerbang yang membawa saya ke dunia Pram---seorang penulis yang namanya sering disebut dengan nada kagum, tapi juga kontroversial. 

Saya mendekatinya dengan rasa penasaran: apa yang membuat novel ini begitu istimewa? Mengapa ia begitu dicintai, tetapi juga sempat dilarang?

Minke, Tokoh yang Resah dan Memberontak

Tokoh utama dalam novel ini, Minke, adalah seorang pribumi terpelajar di era kolonial yang mencoba menegosiasikan identitasnya di antara dua dunia: adat pribumi yang penuh batasan dan dunia modern Eropa yang menjanjikan kebebasan berpikir. 

Minke didasarkan pada sosok nyata, Tirto Adhi Soerjo, pelopor jurnalisme dan kebangkitan nasional di Hindia Belanda.

Membaca kisah Minke seperti menyaksikan seorang anak muda yang terus-menerus gelisah---terjebak di antara kekaguman pada Barat dan kesadarannya sebagai pribumi yang tertindas. Ia jatuh cinta pada Annelies, gadis keturunan Indo yang memiliki ibu luar biasa, Nyai Ontosoroh. 

Tetapi kolonialisme tidak hanya merampas hak politik dan ekonomi rakyat pribumi, ia juga mencengkram kehidupan personal. Annelies, meskipun lahir dan besar di Hindia, dianggap "milik" hukum Belanda dan harus tunduk pada aturan yang mencabut kebebasannya.

Konflik ini membuat Bumi Manusia terasa begitu hidup. Di satu sisi, Pram menggambarkan Hindia Belanda dengan detail yang mengesankan: dari suasana sekolah elit HBS hingga realitas kelas sosial yang timpang. 

Namun di sisi lain, novel ini juga sangat personal---tentang Minke yang terus-menerus berjuang dengan identitasnya, perasaannya, dan pemikirannya.

Nyai Ontosoroh: Perempuan yang Menolak Ditundukkan

Salah satu karakter paling berkesan dalam novel ini adalah Nyai Ontosoroh. Dalam sistem kolonial, seorang nyai---perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh pria Eropa---biasanya dipandang rendah. 

Tetapi Pram justru menjadikan Nyai Ontosoroh sebagai figur yang kuat dan berdaya. Ia menolak tunduk pada sistem yang menindasnya.

Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang belajar sendiri, membangun kekuatan dari keterpurukan. Meski secara hukum ia tidak memiliki hak atas bisnis atau bahkan anaknya sendiri, ia tetap berdiri tegak melawan ketidakadilan. 

Figur ini terasa begitu nyata, seperti mewakili banyak perempuan dalam sejarah yang melawan takdir yang seolah sudah ditentukan bagi mereka.

Dalam konteks saat ini, Nyai Ontosoroh bisa dibaca sebagai simbol feminisme awal di Indonesia. Ia bukan hanya karakter dalam novel, tetapi cerminan dari perjuangan banyak perempuan di negeri ini yang tak mau dibungkam oleh adat atau hukum yang tidak adil.

Bumi Manusia sebagai Kritik Sosial

Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer - www.kompas.github.io
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer - www.kompas.github.io

Pramoedya bukan sekadar menulis cerita, ia membangun sejarah alternatif. Ia menunjukkan bagaimana sistem kolonial bukan hanya soal penjajahan fisik, tetapi juga penjajahan hukum, budaya, dan psikologis. 

Lewat kisah Minke, kita melihat bagaimana pribumi yang berpendidikan sekalipun masih dianggap lebih rendah dibandingkan orang Eropa atau Indo.

Data sejarah mendukung hal ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kaum pribumi yang bisa mengenyam pendidikan tinggi di sekolah Belanda hanyalah segelintir orang dari keluarga elite. 

Menurut catatan sejarawan Takashi Shiraishi dalam bukunya An Age in Motion, pada 1900 hanya ada sekitar 1.500 orang pribumi yang bisa mengakses pendidikan menengah atas seperti HBS. Ini menunjukkan betapa eksklusifnya pendidikan di Hindia Belanda, dan bagaimana sistem ini secara struktural membatasi mobilitas sosial pribumi.

Pram juga mengkritik sistem hukum kolonial yang tidak adil. Dalam kasus Annelies, misalnya, hukum Eropa lebih berkuasa dibandingkan kenyataan sosial di Hindia. Ini mencerminkan bagaimana hukum kolonial didesain untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk melindungi rakyat.

Pram dan Narasi yang Tak Tergantikan

Ketika membaca Bumi Manusia, sulit untuk tidak terpesona oleh cara Pram menulis. Ia memiliki gaya bertutur yang khas: panjang, mendetail, tetapi mengalir seperti seorang kakek yang sedang bercerita kepada cucunya. Kalimat-kalimatnya sarat dengan emosi, tetapi juga tajam dalam analisis.

Sebagai penulis, Pram memang unik. Ia menulis Bumi Manusia saat diasingkan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru. Ia tidak punya akses ke buku referensi, tetapi ia mengandalkan ingatan dan pengalaman. Ini membuat novelnya terasa begitu hidup, seperti rekaman sejarah yang dibuat dengan hati dan darah.

Buku ini juga sempat dilarang beredar pada 1981 dengan alasan mengandung ajaran Marxisme. Padahal, jika dibaca dengan jujur, Bumi Manusia lebih merupakan kritik terhadap kolonialisme dan ketidakadilan sosial daripada propaganda ideologi tertentu. Larangan ini justru menunjukkan betapa kuatnya dampak pemikiran Pram, bahkan terhadap rezim yang berkuasa puluhan tahun setelah masa kolonial berakhir.

Bumi Manusia dan Relevansinya Hari Ini

Setelah membaca Bumi Manusia, saya memahami mengapa novel ini masih relevan hingga sekarang. Meskipun latarnya adalah Hindia Belanda di awal abad ke-20, tema-tema yang diangkatnya---ketidakadilan hukum, kesenjangan sosial, diskriminasi, dan perjuangan perempuan---masih terasa dekat dengan realitas kita hari ini.

Di era modern, kita masih melihat bagaimana hukum seringkali berpihak pada mereka yang lebih berkuasa. Perempuan masih harus berjuang untuk kesetaraan. Dan pendidikan masih menjadi jalan terjal bagi banyak orang untuk keluar dari kemiskinan.

Membaca Pram, terutama Bumi Manusia, bukan hanya soal menikmati cerita. Ini adalah pengalaman memahami sejarah, melihat bagaimana ketidakadilan terbentuk, dan merenungkan bagaimana kita bisa mengubahnya.

Pram pernah berkata, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Dengan Bumi Manusia, ia bukan hanya menulis, tetapi menanamkan sejarah yang tidak bisa dihapus begitu saja. Dan bagi saya, buku ini bukan sekadar bacaan pertama dari Tetralogi Pulau Buru, tetapi juga pertemuan pertama dengan cara berpikir yang lebih tajam dan kritis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun