Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Bumi Manusia, Perjumpaan Pertama dengan Pram dan Sejarah yang Menyala

2 Februari 2025   16:43 Diperbarui: 3 Februari 2025   16:07 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer - www.kompas.github.io

Nyai Ontosoroh: Perempuan yang Menolak Ditundukkan

Salah satu karakter paling berkesan dalam novel ini adalah Nyai Ontosoroh. Dalam sistem kolonial, seorang nyai---perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh pria Eropa---biasanya dipandang rendah. 

Tetapi Pram justru menjadikan Nyai Ontosoroh sebagai figur yang kuat dan berdaya. Ia menolak tunduk pada sistem yang menindasnya.

Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang belajar sendiri, membangun kekuatan dari keterpurukan. Meski secara hukum ia tidak memiliki hak atas bisnis atau bahkan anaknya sendiri, ia tetap berdiri tegak melawan ketidakadilan. 

Figur ini terasa begitu nyata, seperti mewakili banyak perempuan dalam sejarah yang melawan takdir yang seolah sudah ditentukan bagi mereka.

Dalam konteks saat ini, Nyai Ontosoroh bisa dibaca sebagai simbol feminisme awal di Indonesia. Ia bukan hanya karakter dalam novel, tetapi cerminan dari perjuangan banyak perempuan di negeri ini yang tak mau dibungkam oleh adat atau hukum yang tidak adil.

Bumi Manusia sebagai Kritik Sosial

Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer - www.kompas.github.io
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer - www.kompas.github.io

Pramoedya bukan sekadar menulis cerita, ia membangun sejarah alternatif. Ia menunjukkan bagaimana sistem kolonial bukan hanya soal penjajahan fisik, tetapi juga penjajahan hukum, budaya, dan psikologis. 

Lewat kisah Minke, kita melihat bagaimana pribumi yang berpendidikan sekalipun masih dianggap lebih rendah dibandingkan orang Eropa atau Indo.

Data sejarah mendukung hal ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kaum pribumi yang bisa mengenyam pendidikan tinggi di sekolah Belanda hanyalah segelintir orang dari keluarga elite. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun