Nyai Ontosoroh: Perempuan yang Menolak Ditundukkan
Salah satu karakter paling berkesan dalam novel ini adalah Nyai Ontosoroh. Dalam sistem kolonial, seorang nyai---perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh pria Eropa---biasanya dipandang rendah.
Tetapi Pram justru menjadikan Nyai Ontosoroh sebagai figur yang kuat dan berdaya. Ia menolak tunduk pada sistem yang menindasnya.
Nyai Ontosoroh adalah perempuan yang belajar sendiri, membangun kekuatan dari keterpurukan. Meski secara hukum ia tidak memiliki hak atas bisnis atau bahkan anaknya sendiri, ia tetap berdiri tegak melawan ketidakadilan.
Figur ini terasa begitu nyata, seperti mewakili banyak perempuan dalam sejarah yang melawan takdir yang seolah sudah ditentukan bagi mereka.
Dalam konteks saat ini, Nyai Ontosoroh bisa dibaca sebagai simbol feminisme awal di Indonesia. Ia bukan hanya karakter dalam novel, tetapi cerminan dari perjuangan banyak perempuan di negeri ini yang tak mau dibungkam oleh adat atau hukum yang tidak adil.
Bumi Manusia sebagai Kritik Sosial

Pramoedya bukan sekadar menulis cerita, ia membangun sejarah alternatif. Ia menunjukkan bagaimana sistem kolonial bukan hanya soal penjajahan fisik, tetapi juga penjajahan hukum, budaya, dan psikologis.
Lewat kisah Minke, kita melihat bagaimana pribumi yang berpendidikan sekalipun masih dianggap lebih rendah dibandingkan orang Eropa atau Indo.
Data sejarah mendukung hal ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kaum pribumi yang bisa mengenyam pendidikan tinggi di sekolah Belanda hanyalah segelintir orang dari keluarga elite.