Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Allysa Sakit Apa? (Bagian - 2)

23 April 2014   13:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita sebelumnya:

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/04/17/allysa-sakit-apa-649525.html

Jam 4 menjelang subuh aku terbangun kembali saat mendengar Allysa kembali terbatuk. Rasanya aku tidak benar-benar bisa memejamkan mata sedari jam 2 pagi tadi. Aku melangkah menuju kamar Allysa untuk memeriksanya. Saat aku raba dahinya, panasnya sudah mulai turun dans edikit berkeringat. Suhu ruangan memang sengaja aku naikkan agar tidak terlalu dingin dan cukup nyaman di kisaran 20 derajat celcius.Allysa masih tertidur dengan nafas teratur. Aku berdiri memandang wajahnya yang menampakkan kecantikan gadis dewasa. Entah mengapa banyak wanita cantik tetapi nasibnya tidak beruntung dalam memilih pasangan hidup. Menagapa juga Allysa bertemu dengan diriku yang ternyata tidak punya kemampuan untuk menikahinya. Sekali dia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria, ternyata pernikahannya tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Aku mengusap rambutnya sebelum menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Saat keluar dari kamar mandi, tampak bulan purnama begitu sempurna. Bulan sedikit bergeser di arah barat dan tampak begitu terang menyinari Surabaya. Aku menghampar sajadah di dekat jendela dan tenggelam dalam munajat. Ada perasaan bersalah menapa aku ada di sebuah ruangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Mengapa aku sekarang begitu biasa menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, seperti Allysa. Ya, mungkin aku tergolong dalam manusia fasik. Mengerjakan perintah dan larangan sekaligus, walaupun menurutku ini hanya kesalahan kecil. Memang tidak ada dosa besar tanpa dosa kecil. Dan jika terbiasa menganggap dosa kecil adalah hal yang biasa, bukan mustahil akan terjebak pada dosa besar, karena dosa kecil yang dilakukan berulang-ulang, akan membuat hati menjadi keras dan akhirnya menutup mata hati untuk membedakan mana yang benar yang diridhoi Allah dan mana yang munkar. Cukup lama aku berdialog dengan diriku hingga akhirnya adzan subuh terdengar dari masjid perkampungan di belakang apartemen.

Allysa terbangun saat aku bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh, dan keluar dari kamarnya.

"Lisa mau kemana?" Tanyaku saat Allysa berdiri di depan kamarnya.

"Mau ikutan sholat subuh sama Mas Adit, tunggu ya." Aku terpaku dengan kalimat Allysa. Aku merasa seperti dejavu, walaupun sholat berjamaah biasa aku lakukan saat bersama Anita. Saat dulu aku jalan-jalan dengan Anita, dia tidak pernah lepas untuk sholat dan dia biasa mengajakku sholat berjemaah. Kini Allysa memintaku menjadi imam dalam sholatnya.

Lima menit berikutnya, Allysa keluar dengan telah memakai mukenah dan sajadah di tangannya. Jalannya masih tampak masih sempoyongan, walau tidak seperti sore kemarin. Dia menghampar sajadah di belakangku.

"Kalau masih pusing, sholatnya duduk saja ya," pintaku kepada Allysa.

"Iya masih pusing sedikit, tetapi Lisa berdiri saja sholatnya," jawab Allysa.

Aku berdiri untuk memulai sholat subuh. Allysa mengikuti di belakangku. Bacaan sholatku aku percepat dengan membaca surat pendek saja. Aku sendiri tidak bisa benar-benar khusuk, karena ada kekhawatiran tiba-tiba Allysa terjatuh. Sebenarnya kalau dia tadi memutuskan untuk sholat sambil duduk, mungkin akan jauh lebih menentramkan. Hingga sholat diakhiri dengan salam, Allysa masih bisa mengikutiku.

"Mas Lisa kembali lagi ke kamar ya," seru Allysa saat aku masih duduk bersila.

"Iya, silahkan," jawabku sambil menatap Allysa.

Lebih dari sepuluh menit aku duduk bersila, berikutnya aku beranjak untuk melipat sajadah dan menuju ke kamar Allysa.

"Mau aku buatin makanan sekarang?" Tanyaku sambil duduk di tepi springbed-nya.

"Enggak usah, nanti saja Mas. Lisa mau teh hangat saja ya," Suara Allysa masih terdengar lemah.

"Oke, teh hangat segera datang," jawabku dengan nada bercanda. Allysa hanya tersenyum merespon ucapanku.

Tak lama kemudian, teh hangat sudah siap aku sajikan.

"Nanti saya belikan bubur ayam Jakarta yang di dekat UPN ya, ujarku saat menyodorkan teh hangat kepada Allysa. Allysa hanya menganggukkan kepala saja sambil menatap wajahku. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin dia berharap suaminyalah yang merawatnya saat sakit. Atau ada mama-papanya yang mendampingi di kala dalam duka dan kesusahan seperti saat ini. Memang terkadang keadaan tidak seperti yang kita harapkan. Dunia memang serba tidak ideal.

Jam 6 pagi, aku segera turun dari apartemen menuju rungkut ke arah UPN dengan membawa rantang tempat makanan, agar makanaannya tidak dibungkus dengan streoform yang pasti tidak sehat untuk kesehatan dan lingkungan. Aku tahu sebuah warung bubur ayam Jakarta yang cukup sedap untuk Allysa. Mungkin Allysa tidak cukup berselera dengan bubur instant yang aku buatkan kemarin karena memang hanya berupa bubur dan kerupuk. Setelah memesan 2 porsi bubur ayam, aku segera kembali ke apartemen.

Saat aku kembali, Allysa sudah duduk-duduk di sofa sambil menonton televisi. rupanya dia sudah selesai mandi dan berganti kostumnya dengan yang lebih kasual.

"Eh kok sudah bangun sih. Apa sudah baikan?" Tanyaku sambil duduk di sebelah Allysa.

"Iya tadi merasa gerah saja karena kemarin Lisa ghak mandi. Mudah-mudahan setelah mandi air hangat jadi lebih segar dan memperlancar pembuluh darah, Mas."

Aku membuka rantang susun tiga yang aku bawa. Dua rantag berisi menu bubur lengkap dan satunya lagi berisi kerupuk kecil-kecil.

"Sambalnya mana Mas?" Tanya Allysa sambil mencari-cari di antara tumpukan kerupuk.

"Sorry, kali ini makannya tidak pakai sambal ya. Perutmu lagi belum stabil. Nanti kalau sudah sehat baru boleh makan pakai sambal." Allysa hanya diam dengan wajah cemberut karena tidak ada sambal dalam menu sarapannya.

"Sebentar...." Katanya sambil beranjak menuju dapur. Namun langkah Allysa terhenti aku berkata, "Sorry, semua sambal di tempat ini sudah saya bungkus keluar." Aku tahu dia pasti akan mencari sambal dan merica.

"Ya... termasuk sambal ikan roa judes juga ya?" Tanyanya dengen mimik cemberut.

"Ya pastilah."

Akhirnya Allysa menyerah dan kembali duduk di sofa untuk memakan bubur ayamnya.

"Mas ke kantor jam berapa?"

"Saya nanti ijin saja. Hari ini saya masih harus mengantar Lisa test darah."

"Tidak usah Mas. Pagi ini rasanya Lisa sudah lebih sehat. Mas Adit kerja saja. Nanti Lisa bisa pergi sendiri kok."

"Lah kalau nanti Lisa pingsan di jalan bagaimana?"

"Ya Lisa bisa mengukur kondisi diri sendiri kok. Pokoknya Mas Adit siap sedia saja. Nanati kalau ada perlu, Lisa kirim sinyal SOS untuk rescue."

"Hahaha.. iya deh. Tapi benar sudah tidak demamkan?"

"Iya benar. Ini cuman masih lemas saja."

Aku kembali teringat pengalamanku dengan Anita. Suatu hari kami dalam masa perang dingin, dan dia jatuh sakit. Seorang teman kantor meminta didampingi menjenguknya. Ternyata Anita justru merasa sehat saat menemui kami walau katanya masih agak pusing. Setelah ngobrol cukup lama di ruang tamu, kamipun berpamitan. Baru saja aku melewati pintu, saat teman yang lainnya berteriak karena tiba-tiba Anita ambruk nyaris jatuh ke lantai jika tidak ditahan oleh teman tadi. Aku bergegas memeluk dan memangku Anita. Akhirnya aku putuskan membopong Anita  ke kamarnya dengan perasaan cemas dan bersalah. Setelah dibawa ke rumah sakit, hasil test laboratoriumnya menunjukkan jumlah trombositnya rendah. Sebenarnya hal ini juga yang aku takutkan pada Allysa. Setelah test laboratorium, diagnosanya akan jauh lebih akurat untuk memastikan tindakan medis dan proses pemulihan berikutnya.

"Mas pagi-pagi kok ngelamun sih," goda Allysa.

"Ah enggak, cuman ngantuk saja kok," aku mencoba mengelak, walau ada perasaan jengah karena tertangkap sedang melamun.

"Lisa yakin, Mas Adit pasti juga memikirkan Anita. Lisa tahu Mas bukan orang yang mudah melupakan begitu saja. Jujur, seberapa sayang Mas Adit pada dia?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan Allysa yang to the point tentang perasaanku pada Anita. Memang sebelum aku bertemu Allysa, aku sempat menjalin kedekatan dengan Anita. Saat itu aku meminta waktu pada Anita 2 tahun untuk mempersiapkan diri menikahinya. Namun hubunganku tidak berjalan baik saat aku sadari kita berbeda dalam memaknai loyalitas dan kesabaran.

Setelah menghela nafas aku menjawab, "Lisa benar. Anita memang tidak pernah hilang dari pikiran. Hampir setahun ini dia menjadi bayangan yang selalu mengikuti kemanapun saya pergi." Aku merasa suaraku kini berubah menjadi melo.

"Mas tahu kenapa bisa begitu?"

"Iya. Masalahnya karena kita masih teman sekantor yang setiap hari bertemu. Kita masih sering meeting bersama. Bekerja bersama dalam tim. Makan satu meja. Bahkan pergi bersama dalam sebuah tugas kantor. Lisa pasti paham betaba beratnya menghilangkan perasaan masa lalu bila setiap hari bertemu. Berbeda bila saat putus, kemudian tidak pernah bertemu sama sekali, pasti akan lebih mudah untuk move on."

"Apakah ada kemungkina Mas Adit akan jadian kembali dengan Anita?" Tanya Allysa. Aku menatap wajah Allysa. Ekspresinya datar dan berbeda saat dia menanyakan tentang Anita saat aku dan Allysa dalam hubungan yang serius.

"Tidak. Anita wanita yang baik dan pekerja yang tangguh. Saya tidak akan pernah menikahinya. Anita lebih menyenangkan menjadi seorang teman kerja yang baik, daripada menjadi kekasih. Ini bukannya hendak mendahului takdir, tetapi itu hasil kajian sederhana tentang Anita. Ada banyak hal yang hingga kini saya tidak suka dari dia."

Aku dan Allysa sama-sama terdiam. Tidak biasanya aku membicarakan Anita begitu panjang lebar dengan Allysa. Biasanya aku akan menghindar bila ditanya tentang Anita.

"Mas thanks ya sudah jagain Lisa semalaman ini," suara Allysa memecah keheningan dan sekaligus menyadarkanku kalau ternyata aku sudah menginap semalaman di apartemen Allysa.

"Iya sama-sama. Dan saya masih akan terus siap sedia membantu Lisa sebagai seorang teman baik ya."

Setelah mandi, aku pamit pada Allysa untuk langsung berangkat ke tempat kerja. Aku berpesan agar dia mengabariku hasil test lab-nya dan bila butuh bantuan untuk mengantarnya rawat jalan.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/30-kisah-allysa-dalam-5-bulan-602672.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun