Mohon tunggu...
Hilal Ardiansyah Putra
Hilal Ardiansyah Putra Mohon Tunggu... -

Pengiat Literasi Kutub Hijau

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Umair, Si Peka yang Tiada Duanya

28 Maret 2019   13:35 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:55 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: pinterest.com

Nama dan Nasab 

Seorang sahabat Nabi  yang mulia. Yang  Allah  telah mempersaksikan keridhaan atasnya. Seorang lekaki yang lihai bersiasat, alim dalam agama, zuhud dalam dunia, wara' dalam segalanya. Beliaulah Umair ibn Sa'ad.

Ibnu al-Kalbi  menyebutkan bahwa nasabnya adalah Umair ibn Sa'ad ibn Syahid ibn Amr dari Suku Aus di Madinah. Sedangkan sebagian ulama yang lain menyebutkan bawah beliau adalah Umair ibn Sa'ad ibn Ubaid. Sa'ad ibn Ubaid  juga merupakan salah satu dari sahabat Nabi Muhammad SAW. Beliau  ikut bersama Nabi SAW dalam Perang Badar dan perang-perang setelahnya. Beliau ikut dalam kafilah perang di Qadisiyah dan menemui kesyahidannya di sana. Para ulama Kuffah menyebutkan bawah Sa'ad ibn Ubaid merupakan salah satu sahabat yang ditugaskan untuk mengumpulkan al-Qur'an pada masa Nabi Muhammad SAW.

Tentang Saad ibn Ubaid, Abul Qasim ath-Thabarani  dalam al-Mu'jam al-`Ausath meriwayatkan sebuah atsar dari Anas beliau berkata: "Ada empat orang yang bekerja untuk mengumpulkan Al-Qur'an pada masa Nabi SAW.. Mereka adalah Ubai ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Zaid dan Mu'adz ibn Jabal." Abu Bakar ibn Shadaqah  berkata: "Abu Zaid adalah Sa'ad ibn Ubaid al-Qari' yang syahid di Qadisiyah. Beliau adalah ayah dari Umair ibn Sa'ad."[1]

Tugas mengumpulkan Al-Qur'an bukanlah tugas yang biasa. Rasulallah SAW. memilih orang-orang pilihan seperti sahabat yang mulia Abdullah ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit, Muawiyah ibn Abi Syufyan, dan Ayah Umair adalah salah satunya.

Dengan demikian, tidak mengherankan jikalau Umair kecil tumbuh dalam ketaatan, sebab ia berasal dari nutfah orang tua yang mulia dengan tugas mulia.

Umair ibn Sa'ad  menemukan cahaya Islam semenjak ia masih belia, 10 tahun. Usia yang sama dengan orang pertama yang masuk Islam dari golongan beliau, Ali ibn Abi Thalib. Di usianya yang baru menginjak sepuluh tahun, dengan kebersihan hati, kejernihan pikiran dan kesucian fitrah, ia memutuskan untuk mengambil sebuah sikap yang biasa diambil orang dewasa; menjadi muslim atau kafir.

Tentu, kejernihan hati dan pikiran ini tidak lepas dari tempat pendidikannya. Ia dididik oleh sang ayah yang mulia. Fitrahnya dijaga sembari disirami setiap hari dengan percik-percik keimanan. Rasulallah n bersabda:

Semua anak Adam dilahirkan dalam kesucian fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ditinggal wafat sang ayah

Tidak lama Umair ibn Sa'ad  dibuai kasih oleh sang ayah tercinta. Allah   memberikan takdir yang lain, yang terbaik untuk Sa'ad ibn Ubaid, Kesyahidan. Ia bersama-sama dengan kafilah jihad kaum muslimin dari Madinah berangkat menuju Qadasiyah di Irak untuk menghancurkan kecongkakan kaum Majusi Persia. Dengan kekuatan 48.000, dengan penuh keimanan para mujahidin memukul mundur bahkan menghancurkan pasukan Persia yang jumlah personilnya jauh lebih banyak, 130.000 pasukan. Dari pihak Persia, 40 ribu serdadu tewas, sedangkan dari pihak mujahidin 7 ribu mendapatkan kesyahidannya. Salah satunya adalah Sa'ad ibn Ubaid, sang pengumpul wahyu.

Subhanallah, dua kebaikan telah Sa'ad kumpulkan. Kebaikan menjadi pengabdi Al-Qur'an, dan kebaikan sebagai syuhada'.

Kini Umair ibn Sa'ad telah kehilangan pengkuan. Sang ayah telah pergi. Sedang ibunya orang tak berpunya. Ia masih terlampau kecil untuk ditinggal seorang ayah. Namun, berkat didikan sang ayah, dan juga hidup di lingkungan para sahabat yang mulia dari Muhajirin dan Anshar, pribadi Umair ibn Sa'ad  menjadi kuat. Ia kecil namun tekadnya besar. Ia mungil namun tekadnya kuat. Keimanannya lebih kuat dari kerasnya baja. Keteguhannya lebih gagah dari Gunung Uhud. Semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena didikan iman yang mendalam. Di sana ada Allah  yang Penguasa. Tempat sandaran utama. Tempat mengantungkan harapan. Tempat memohon dan meminta perlindungan. Jika Allah  Maha Besar, maka yang lainnya kecil. Jika Allah  Maha Agung, maka yang lainnya adalah kerdil. Inilah keimanan. Inilah buah dari didikan Al-Qur'an.

 

Tinggal Bersama Ayah Tiri

Tidak lama ditinggal sang suami, Sa'ad ibn Ubaid, Ummu Umair pun memutuskan untuk menikah lagi. Ia butuh sosok yang bisa menjadi pegangan dalam hidup. Ia juga butuh sosok lelaki yang mau menjadi tulang punggung kehidupan. Untuknya dan juga untuk buah hatinya, Umair. Keputusan seorang ibu untuk menikah kembali bukanlah karena kepentingan dan kesenangan pribadi. Ia sorang wanita, lemah secara kodrati untuk menjadi tulang punggung.

Julas ibn Suwaid. Ini nama lelaki pilihan Ummu Umair. Ia seorang yang kaya lagi terpandang. Julas adalah orang yang baik dan memiliki kepedulian yang tinggi. Ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengambil hati Umair kecil, sebab Umair pun segera merasa nyaman bersama ayah tirinya ini.

Hubungan keduannya begitu hangat dan akrab. Bagai ayah kandung terhadap anaknya. Belaian, cinta, kasih sayang, pengorbanan, diberikan oleh Julas kepada Umair kecil. Ia tidak mempedulikan apakah Umair adalah darah kandungnya atau bukan. Bagi Julas, Umair bagai anak kandungnya sendiri. Hal ini tak lain adalah karena peringai Umair sendiri yang baik. Akhlaknya indah. Tutur katanya sopan. Ia tidak ingin dimanja. Ia terlihat dewasa dalam bertindak meski ia masih belasan tahun. hari-harinya pun dipenuhi dengan belajar dan beribadah. Selain bermain sebagaimana lazimnya anak seusianya.

Umair kecil sering mendatangi majelis ilmu Rasulallah n. Ia begitu antusias untuk mendengarkan Baginda Rasul memberikan pancaran-pancaran iman. Pancaran yang akan menuntun umat manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Tak ayal, petuah-petuah langit yang tersampaikan lewat lisan suci kenabian terpatri kuat dalam pribadi Umair hingga kelak ia dewasa.

Julas menghina Rasulallah 

Pada tahun kesembilan hijriyah, Rasulallah SAW. mendengar kabar bawah pasukan Kerajaan Romawi akan datang dengan jumlah besar untuk mengempur Madinah. Mendengar berita ini, Rasulallah SAW. mengumumkan kepada para sahabat untuk bersiap-siap menyambut Pasukan Romawi yang akan datang dari Syam di Tabuk.

Sebagai bentuk persiapan perang, Rasulallah SAW. mempersilakan kepada para sahabat untuk menyumbangkan harta-harta terbaiknya. Pada moment inilah Abu Bakar datang kepada Rasulallah SAW. dengan membawa semua harta yang dimilikinya. Melihat antusiasme Abu Bakar yang besar hingga menyerahkan semua hartanya untuk jihad, beliau berkata kepada Abu Bakar, "Apa yang engkau tinggalkan di rumahmu?" Abu Bakar  menjawab, "aku tinggalkan untuk keluargaku Allah dan Rasulnya bersama mereka." Allahu akbar. Begitulah keimanan mutlak sahabt mulia Abu Bakar.

Pada momen ini pula Umar ibn Khattab datang dengan separuh hartanya untuk jihad. Begitu juga dengan sahabat yang lainnya. Mereka berlombah-lombah untuk memenuhi panggilan Allah  dan Rasul-Nya.

Peperangan di Tabuk ini juga wasilah yang dijadikan oleh Allah  untuk menguji keimanan orang-orang. Apakah mereka beriman dari lubuk hati dan kesadaran penuh, ataukah mereka hanya beriman untuk mencari aman dan muka? Pada perang inilah Allah menyingkap tabir orang-orang yang bersembunyi dibalik keimanan dari kalangan kaum munafiqin.

Namun, tidak semua yang tidak turut serta dalam peperangan Tabuk adalah dari golongan munafiqin semisal Ka'ab ibn Malik, Hilal ibn Umayyah dan Muararah ibn Rabi'. Tentang ketiga sahabat ini, Allah langsung menurunkan ayat yang menjelaskan perihal diterimanya taubat mereka. Allah berirman yang artinya:

"Sesungguhnya Allh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allh, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah:117-119)

Abdul Malik Ibnu Hisyam  dalam as-Sirah an-Nabawiyah menyebutkan, di samping para sahabat yang mulia, yang dengan ghirah semangat yang membara untuk berjihad, ada juga orang yang enggan untuk berjihad karena kemunafikan. Di antaranya adalah Julas ibn Suwaid. Keenganan Julas untuk ikut berjihad diperparah oleh komentar sinisnya kepada Nabi Muhammad SAW.. Julas ibn Suwaid berkata: Jika orang ini --Muhammad- adalah orang yang benar, maka kita lebih buruk dari keledai." 

Sungguh kalimat ini adalah kekufuran setelah keimanan. Kalimat ini adalah penghinaan. Bagaiamana mungkin seorang yang mengaku beriman namun meragukan kejujuran Baginda Muhammad SAW.? Sangat tidak mungkin kata-kata ini keluar kecuali dari orang-orang yang dalam hatinya ada kemunafikan.

Ucapan Julas ibn Suwaid ini di dengar langsung oleh telinga anak tirinya, Umair ibn Sa'ad. Panas telinga anak yang sudah beranjak remaja ini. Keimanannya yang dalam begitu resisten dengan kalimat ayah tirinya. Bagaimana ia bisa menerima panutannya dihina? Sangat-sangat tidak menerima.

Umair ibn Saad dengan lugas menegur Julas, "Demi Allah wahai Julas...! engkau adalah orang yang paling aku cintai, engkau juga orang yang paling baik terhadapku, engkau pula orang yang aku akan sangat bersedih jika ada musibah menimpahmu, akan tetapi engkau telah mengeluarkan kata-kata yang jika aku sampaikan kepada Rasulallah n sungguh aduanku itu akan menelanjangimu. Akan tetapi jika aku diam, maka agamaku akan binasa. Dan di antara dua keburukan ini, mengadukanmu lebih ringan dari pada kehancuran agamaku."

Beginilah sikap seorang muda islami. Darahnya akan mendidih ketika yang disentuh adalah bagian dari akidahnya. Aqidah dan keimanan adalah titik pertama seseorang. Asas dari segala asas. Energi untuk bergerak. Motivasi untuk berjuang. Dengannya kita hidup dan dengan aqidah ini pula kita mati.

Remaja Umair pun bergegas mendatangi Nabi Muhammad SAW. yang pada saat itu sedang berada di Masjid Nabawi. Dengan langka cepat ia pun segera sampai di Masjid Nabawi. Umair memasuki masjid dengan penuh hikmat penghormatan kepada rumah Allah  sembari membaca do'a, "Allahumma iftah li abwaba rahmatika," Ya Allah ya Tuhanku, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmatmu. Kemudian ia menghaturkan salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.

Di hadapan Nabi Muhammad SAW., Umair ibn Sa'ad  menjelaskan perihal Julas dan kalimat kekufurannya kepada beliau.

Mengetahui Umair bergegas menuju Rasulallah SAW. untuk menyampaikan perihalnya, Julais juga turut berbegas untuk menyusul Umair. Sesampainya di Masjid, Julas mendengar Umair telah mengadukan dirinya kepada Rasulallah SAW.. "Engkau bohong wahai Umai..." Kata Julas kepada anak tirinya.

Ia juga berkata kepada Rasulallah SAW., "Wahai Rasulallah, ia telah berbohong atas ku...!"

Umair tertunduk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apa yang ia sampaikan adalah kebenaran. Namun bagaimana membuat Rasulallah SAW. dan para sahabat yang ada di masjid percaya atas ucapannya?

Tak lama kemudian, ada tanda-tanda wahyu turun kepada Rasulallah SAW.. Para sahabat yang tahu keadaan Nabi SAW. ketika turun wahyu kemudian diam. Menunggu apa yang akan beliau n sampaikan. Para sahabat tidak sabar untuk mengetahui, siapa yang benar. Remaja Umair atau ayah tirinya Julas. Berbeda dengan Umair, ia  mulai berbesar hati karena Allah  menolongnya. Membantunya untuk menegakkan hujjah atas apa yang ia sampaikan. Ia tahu bahwa Allah  tidak akan perna menyia-nyiakan perbuatan orang-orang baik. Dan ia juga tahu bahwa Allah  tidak akan membiarkan kebathilan menang atas kebenaran.

Jibril  telah rampung melaksanakan tugasnya. Wahyu yang Allah  perintahkan untuk disampaikan telah disampaikan. Nabi SAW.lantas menuju para sahabat dan membacakan wahyu yang baru saja turun:

"Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya...." (At-Taubah: 74)

Imam Abu Ja'far ath-Thabari  sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir  dalam Tafsiru al-Quran al-Adhim menjelaskan tentang firman Allah:

"Dan mereka menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya. (At-Taubah: 74)

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah Julas ibn Suwaid yang ingin membunuh Umair ibn Sa'ad, anak tirinya, karena ia mengancam akan melaporkan kepada Rasulallah SAW. perihal  penghinaan yang ia tujukan kepada beliau SAW..[1]

Dengan turunnya ayat ke 74 dari surat at-Taubah ini, Umair ibn Sa'ad z begitu gembira. Baginya, turunnya Al-Qur'an sebagai pembela atasnya adalah sejarah tersendiri. Sebuah kemuliannya yang tidak ada duanya. Sebagaimana seorang wanita tua yang mengadu kepada Rasulallah SAW., dan aduan tersebut mampu mengetuk pintu langit ke tujuh untuk memberikan jawaban dan solusi atas aduan wanita tersebut.

Adapun tentang Julas, Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa beberapa ulama menjelaskan bawah Julas ibn Suwaid kemudian bertaubat dari ucapannya dengan sebenar-benarnya taubat.[2]

Umar ibn Syabah  (Wafat 262 H) mengisahkan perihal pertaubatan Julas ibn Suwaid dalam kitabnya Tarikhul Madinah. Julas berkata: "Allah telah menawarkan pertaubatan untukku. Maka sungguh aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepada-Nya atas ucapanku."  Lebih lanjut Ibn Syabah menjelaskan bawah Julas ibn Suwaid memiliki beberapa tanggungan hutang kepada. Maka Rasulallah SAW. pun membantunya untuk melunasi hutang-hutangnya.

Rasulallah SAW. kemudian menatap Umair ibn Sa'ad  dan memujinya, "Telingamu tajam, dan Allah telah membenarkanmu..."

Umair ibn Sa'ad  kemudian berkata kepada Julas, " Sungguh demi Allah, andai aku tidak diliputi ketakutan akan turun sebuah wahyu tentang sikapku menyembunyikan perkaramu maka aku akan menyembunyikannya." [3]

Luar biasa sikap yang ditujukan oleh Rasulallah SAW. dengan membantu orang yang telah meragukan kebenaran dakwahnya. Dan luar biasa pula sikap Umair Ibn Sa'ad  kepada ayah tirinya ketika ia telah mengakui kesalahannya dan bertaubat.

 

Bersambung....

   

[1] Ismail Ibn Katsir, Tafsiru al-Qur'an al-Adzhim, juz 4, hal. 178.

[2]  Abdul Malik ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyah, juz 1, hal. 119-120

[3]  Umar ibn Syabah, Tarikhul Madinah, hal. 355.

[1] Abul Qasim Sulaiman ibn Ahmad, Al-Mu'jam al-Ausath, Juz 2, hal. 150

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun