Mohon tunggu...
Fiksiana

Dikutuk Jadi Guru

10 November 2015   07:36 Diperbarui: 30 November 2015   19:37 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Suara tawa riang murid-muridnya di lapangan selalu terdengar sama setiap jam istirahat. Suasana ruang guru yang cukup panas, ditambah dengan celoteh kepala sekolah tentang kurikulum baru semakin memperburuk suasana hatinya yang memang selalu suram setiap kali berada di sini.

Ya, Kayla memang tidak pernah berharap untuk berada di sini. Sejak kecil, ia selalu bermimpi untuk menjadi seorang diplomat. Berbagai macam kursus telah ia ikuti untuk mengasah kemampuan bahasa asingnya. Sejak di bangku SD, ia bahkan sudah memenangi berbagai macam perlombaan. Speech, story telling, menulis cerpen, dan lain-lain. Prestasinya semakin mengagumkan saja ketika ia mulai memasuki bangku SMP. Nilai-nilainya yang selalu jauh di atas teman-temannya membuat ia menjadi murid kesayangan para guru. Ia bahkan menyandang gelar sebagai ketua OSIS, dan ia merupakan pendiri klub bahasa asing di SMAnya. Kebanggaannya semakin bertambah ketika ia diterima di jurusan Hubungan Internasional di suatu universitas ternama.

Lengkap sudah,’pikirnya.

Kayla semakin semangat belajar. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana ia bisa meraih mimpinya. Berpikir tentang cinta pun ia tak sempat.

Namun sayangnya, semuanya tidak berjalan semudah yang ia bayangkan. Gelar sarjana Hubungan Internasional yang disandangnya ternyata tidak dengan serta merta mempermudahnya dalam mencari pekerjaan. Kesana kemari ia mencari pekerjaan bermodal ijazah dan kemampuannya. Namun tentu saja ia menyadari, di negaranya ini, ia akan kalah bersaing dengan orang-orang yang memiliki ‘modal’ lain.

Dan di sinilah ia berakhir. Di tempat yang tidak pernah sedikitpun terbersit di benaknya, dengan profesi terkutuk yang bahkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya.

Guru. Guru bahasa inggris di sebuah SD yang terletak di kampung.

Kayla bahkan tidak bisa membayangkan apa yang bisa lebih buruk dari ini.

Teringat kembali hari pertamanya masuk kelas.

Good morning class, how are you?” sapanya dengan senyum yang sangat dipaksakan

Namun seisi kelas hanya terdiam.

Hello class, how are you today?” ucapnya lagi.

Tetap hening.

Kemudian seorang anak mengacungkan tangan dan berkata, “Maaf bu guru, kami tidak mengerti ibu bicara apa”

Kayla benar-benar terkejut. ‘siswa kelas 4 SD bahkan tidak mengerti good morning dan how are you?’ entah akan jadi sesulit apa tugasnya di sini.

Kadang Kayla berpikir, apakah Tuhan benar-benar mengutuknya? Apa salahnya hingga ia dikutuk seperti ini?

Kayla hanya menjalani hari-harinya sebagai guru dengan sangat terpaksa. ia sempat dibuat kewalahan oleh beberapa murid yang nakal, suka melawan, dan agak bodoh dalam menangkap pelajaran. Namun kini ia tidak lagi peduli. Asal ia datang, ia mengajar, itu sudah cukup menurutnya. Ia tidak akan peduli apakah murid-muridnya mengerti atau tidak. Toh, murid-muridnya juga tidak akan peduli dengan perasaannya, bukan?

Kadang Kayla berharap, suatu saat ia akan terbangun dan mendapati bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk.

Namun ternyata tidak.

Ini adalah kenyataan. Kayla hanyalah seorang guru.

Dan Kayla benci akan kenyataan itu. Ia benci menjadi guru.

Lagi-lagi Kayla teringat ketika suatu hari ia menghadiri acara reuni dengan teman-teman SMAnya. Ia sadar betul betapa mencemoohnya tatapan teman-temannya setiap kali Kayla mengatakan bahwa ia mengajar di sebuah SD.

Masih teringat jelas pula bagaimana tawa merendahkan yang diberikan oleh keluarganya ketika mereka mengetahui profesinya. Dan yang paling ia ingat, adalah omongan tante Rina saat arisan keluarga.

“Kayla ngajar anak SD? Yakin? Duh, buat apa dong ikut kursus sana-sini, kuliah jurusan HI, ujung-ujungnya kok ngajar anak SD?”

Ucapan tante Rina sukses membuat Kayla semakin membenci pekerjaannya. Tidak, bukan pekerjaan, itu lebih seperti kutukan menurutnya.

*

Bel pulang sekolah adalah satu-satunya hal yang ia sukai dari sekolah. Setidaknya, ia akhirnya bisa bebas dari tempat terkutuk itu, walaupun hanya untuk sementara.

Siang ini, Kayla memutuskan untuk pulang sendiri,seperti biasa. Ia tidak pernah mau pulang bersama guru-guru lain. Kayla tidak suka berada di antara mereka. Menurutnya, guru adalah makhluk terkutuk dan-meskipun ia sendiri adalah seorang guru-ia tidak menyukai orang dengan profesi itu.

Ia benci menjadi guru. Guru adalah profesi terkutuk. Ia benci menjadi guru.

Kalimat-kalimat itu selalu terngiang dalam otaknya.

 Duk.

Karena tidak memperhatikan jalan, Kayla terantuk sebuah batu. Dalam hati ia mengumpat. Suasana hatinya sedang tidak baik saat ini-dan memang selalu begitu sejak ia menjadi guru-dan sekarang alam pun seolah ikut mengejeknya, mengejek seorang yang terkutuk.

Karena kelelahan, Kayla memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah bangku taman di pinggir jalan. Di ujung bangku tersebut, terlihat seorang anak sedang sibuk menulis. Kayla duduk di ujung bangku yang lain dan tidak memedulikan anak tersebut. Ia mengeluarkan buku dan mulai membaca. Tak lama kemudian, anak itu pergi. Kayla melirik sekilas ke tempat anak itu duduk. Tampak selembar kertas yang ditinggalkan oleh anak itu. Entah mengapa, Kayla begitu penasaran. Ia mengambil kertas itu dan melihat isinya.

Sebuah puisi.

 

Guru, guru, guru. Begitu judulnya.

 

Rasa penasaran membuatnya melanjutkan membaca puisi itu.

 

 

Guru, guru, guru.

Siapa tak kenal sosok itu?

Namanya yang mengharu biru

Teladannya yang patut ditiru

Kayla sedikit tersentak. Seulas senyum tanpa sadar muncul di wajahnya.

 

 

Guru memang bukan ibu

Yang kakinyapun harus kita basuh

Tapi guru punya ilmu

Yang harus kita buru

 

Kayla masih terus membaca puisi tersebut. Sesekali ia tersenyum, tertawa kecil, bahkan merenung. ‘puisi yang begitu indah,’pikirnya. Hingga akhirnya ia sampai di baris terakhir puisi tersebut.

 

Satu hal yang kutahu,

Guru tak pernah menyesal menjadi guru.

 

Kayla terdiam. Merangkai kata pun ia tak mampu. Tetes demi tetes air mata mulai bergulir di pipinya. Sebelumnya ia memang berpikir, suatu saat pasti akan ada seseorang yang akan menyadarkannya bahwa pekerjaannya bukanlah suatu hal yang terkutuk, seperti di sinetron. Adegannya akan menjadi begitu dramatis, dengan sedikit pemberontakan darinya sebelum akhirnya ia benar-benar menerima nasehat orang itu.

Namun ternyata tidak.

Kayla sungguh tak menyangka bahwa di sinilah tempatnya. Tanpa drama, tanpa adu mulut. Hanya selembar puisi yang ditulis oleh seorang anak yang bahkan tidak ia kenal. Seorang anak yang bahkan tidak tahu bagaimana keadaannya. Seorang anak  kecil, dan selembar kertas berisi puisi.

Anak itu berhasil menyadarkannya untuk menyadarkan dirinya sendiri. Selama ini Kayla tidak sepenuhnya menyesal menjadi guru. Ia hanya terlalu tenggelam dalam mimpi lamanya, ia hanya terlalu mendoktrin dirinya sendiri bahwa guru adalah profesi terkutuk. Dialah yang telah membuat dirinya membenci pekerjaan ini.

Dia yang membuat dia membenci dirinya.

Dia yang membuat dirinya merasa dikutuk jadi guru.

 

CQA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun