Mohon tunggu...
Dede M. Yunus
Dede M. Yunus Mohon Tunggu... Freelancer - IRT

Ibu rumah tangga yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warung Gorengan Mas Joko

28 Juni 2023   13:17 Diperbarui: 28 Juni 2023   13:26 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Prang!

Suara benda jatuh dari arah dapur. Ningrum berlari ke arah sumber suara. Bakso yang baru saja dibuat tercecer di lantai beserta pancinya. Beruntung pentol bakso yang lainnya tidak ikut tumpah. Ia mengambil kain pel dan serok sampah untuk membersihkan tumpahan bakso.

Mungkin kucing yang menjatuhkannya, batin Ningrum. Saat berjalan ke arah belakang diliriknya pintu samping yang tertutup.

"Kalau pintunya tertutup bagaimana kucing bisa masuk?" Ia bergumam sendiri. Seketika ia merasa ngeri dan bergidik.

Ningrum memiliki warung bakso yang ia sewa di pinggir jalan, di sebelah kirinya ada penjual gorengan, sebelah kanan penjual nasi rames dan yang paling ujung adalah penjual sate. Warung milik Ningrum berada di tengah, sejak buka tiga bulan yang lalu, warung bakso miliknya masih sepi pengunjung. Berbanding terbalik dengan warung gorengan dan sate yang berada di sebelahnya.

Setelah membersihkan bekas tumpahan bakso, Ningrum menghampiri adiknya, Ambar, yang sedang duduk di kursi kasir.

"Bunyi apa tadi, Mbak?" tanya Ambar.

"Panci baksonya jatuh, tumpah, mungkin tadi ada kucing yang masuk," jelas Ningrum sambil mendudukkan dirinya di sebelah Ambar.

"Belum ada yang datang lagi?" tanya Ningrum.

"Baru dua orang tadi aja, Mbak, padahal di luar ramai kendaraan lewat tapi gak ada yang kesini. Tadi, sih, ada motor yang berhenti di depan warung kita, kirain mau mampir ternyata beli gorengan," ucap Ambar kecewa.

"Mungkin nanti sore ramai yang beli, biasanya sore banyak orang yang cari makanan." Ningrum tersenyum ke arah Ambar.

"Gorengan Mas Joko gak pernah sepih, ya, Mbak, masih pagi aja udah padet yang beli, sampe malem pun masih rame," tutur Ambar.

"Peminat gorengan kan banyak, Dik, orang gak ada bosennya makan gorengan, ya, wajar kalau mereka rame," ujar Ningrum.

Tiba-tiba Mbak Asih pemilik warung sate datang. "Mbak, baksonya dua porsi, ya," pesannya.

"Mau dianter atau nunggu, Mbak?" tanya Ambar.

"Saya tunggu aja, gak lama, toh?" ujarnya sambil tersenyum.

"Tunggu sebentar, ya, Mbak!" Ningrum beranjak dan mulai menyiapkan bakso pesanan Mbak Asih.

"Rame, Mbak?" Ambar berbasa-basi.

"Lumayan lah, Bar, baksonya gimana?"

"Alhamdulillah ada yang beli, Mbak." Ambar tersenyum.

"Gak coba pake penglaris aja, biar makin rame?" tanya Mbak Asih tiba-tiba.

Ambar mengerutkan keningnya tanda bingung. "Semua pedagang pake gituan, Bar, gak usah heran!" tutur Mbak Asih seolah tahu isi pikiran Ambar.

"Iiihh dosa, Mbak!" celetuk Ambar. "Emang Mbak Asih pake juga?" tanya Ambar kepo. Tanpa diduga Mbak Asih mengangguk.

"Pakde Darman kan punya temen yang bisa bantu, bukan dukun, loh! Orang pinter gitu, jadi Pakde Darman pake buat pemikat aja, bukan pake sajen-sajen kayak dukun," jelas Mbak Asih. "Kalau gak pake gituan mana bisa rame, ada sih yang beli tapi paling satu dua orang aja," lanjutnya.

"Gak ah, Mbak, nanti minta tumbal!" Ambar bergidik.

"Ya, jangan pake yang gituan. Warungnya Mas Joko tuh, baru pake tumbal!" tuturnya.

"Mbak Asih tau dari mana?" Ambar mulai kepo.

"Lah, wong dia tiap pagi naruh sajen depan warung, istrinya juga yang cerita sama Pakde Darman, kalau Mas Joko minta cariin ayam item," ucapan Mbak Asih membuat Ambar makin bergidik.

 Ambar tidak lagi menimpali perkataan Mbak Asih. Tidak lama kemudian bakso pesanannya pun sudah siap, Mbak Asih pamit kembali ke warung miliknya.

"Mbak, masak iya, sih, Mbak Asih pake penglaris, terus Mas Joko ada pesugihan juga," ujar Ambar saat Ningrum duduk di sebelahnya.

"Mana tahu, jangan ngadi-ngadi, nanti jadinya fitnah!" omel Ningrum.

"Orang dia sendiri tadi yang cerita, malah nawarin, gak takut dosa apa, ya?" sunggut Ambar.

"Setiap pedagang mungkin ada yang pake gituan, tapi itu urusan mereka, kita gak usah ikut-ikutan!" ujar Ningrum.

"Heran, zaman udah modern masih aja pergi ke dukun!" Ambar menggerutu sendiri.

Seperti biasa pengunjung hari ini tak lebih dari sepuluh orang, Ningrum dan Ambar bersyukur atas hasil yang didapat. Malam hari, saat hendak menutup warung, tiba-tiba seorang wanita paruh baya dan seorang laki-laki tua menghampiri warung mereka. Kedua orang itu duduk di dalam dan memesan dua mangkuk bakso.

"Sudah lama buka di sini, Neng?" tanya wanita itu.

"Baru tiga bulan Bude," jawab Ambar. Ningrum yang sedang berada di dapur menggerakkan alisnya seolah bertanya pada Ambar, gadis itu hanya mengangkat bahunya, menandakan tidak tahu.

"Kok, auranya beda, ya?" tiba-tiba laki-laki itu bersuara. Ambar yang tadi hendak ke dapur untuk menghampiri Ningrum langsung menghentikan langkahnya dan kembali menengok ke arah dua orang itu.

"Maksudnya gimana, Pakde?" tanya Ambar heran.

"Tadi kami gak sengaja lewat, terus liat warung ini kok, beda makanya suami saya ajak masuk, saat masuk kami ngerasa ada aura negatif di sini," jelas wanita tersebut.

Ambar melambaikan tangannya pada Ningrum, memberi kode agar saudaranya itu mendekat. "Ada apa?" bisik Ningrum.

"Pakde sama bude ini bilang warung kita ada aura negatifnya," jelas Ambar. Ningrum bergidik mendengar ucapan Ambar.

"Warung kalian ini dikelilingi aura negatif, jadi dari luar kelihatan gelap dan sepi," tutur laki-laki itu lagi. Ambar dan Ningrum saling bertatapan dan kembali melihat kedua orang yang berada di hadapan mereka.

"Gak usah heran, kami bukan dukun, suami saya bisa merasakan aura negatif yang ada di kelilingnya," jelas wanita yang duduk di sebelah laki-laki itu.

"Sebelumnya mohon maaf jika kami lancang, kami tidak bermaksud apa-apa hanya entah kenapa hati saya tergerak ingin kemari, oh, iya, kenalkan nama saya Parno dan istri saya Ajeng." Parno itu meneguk air yang ada di hadapannya hingga tandas.

Prang!

Suara benda jatuh terdengar lagi dari arah dapur. Mereka berempat pun terlonjak kaget mendengarnya. Ningrum berlari ke arah dapur, betapa terkejutnya ia saat mendapati semua panci dan baskom berserakan di lantai, sedangkan pintu samping tertutup rapat. Ambar, Parno, dan Ajeng mengikuti Ningrum, mereka bertiga tak kalah kagetnya melihat kondisi dapur yang berantakan. Saat hendak mendekati dapur, langkah kaki Parno terhenti, ekor matanya menangkap sosok yang berdiri di sudut ruangan dekat kamar mandi.

Tidakhanya satu sosok yang ia lihat, melainkan dua. Sosok tersebut bertubuh besar, hitam, dan memiliki kuku yang tajam, sedangkan yang satunya sosok wanita berambut panjang, dengan mulut lebar, dan gigi runcing, mereka menyeringai ke arah Parno. Dari keduanya mengeluarkan aroma amis dan busuk.

"Sepertinya warung kalian diganggu!" Parno kembali berjalan ke depan.

"Kami baru di sini Pakde, kenapa ada yang ganggu?" ujar Ningrum bingung.

"Mereka takut warung, Neng, lebih ramai. Cuma pengen lebih dominan," jelas Parno. Laki-laki tua itu pun mulai membacakan beberapa ayat.

Dua mahluk tak kasat mata itu menatap tajam pada Parno, matanya merah menyala. Mereka merasa terusik karena Parno berusaha mengusir mereka. Parno tak gentar dengan ancaman kedua makhluk itu. Seketika hawa dingin terasa di tengkuk leher mereka. Beberapa benda terbang dan jatuh berserakan di lantai. Ningrum dan Ambar saling berpegangan karena takut. Parno berlari ke arah belakang warung, ia menggali tanah tepat di depan pintu samping warung. Parno menemukan sebuah benda terbungkus kain putih.

"Ini tanah kuburan, Neng!" teriak Parno.

Ningrum dan Ambar semakin ketakuatan. Tanpa diperintah, Ajeng mengeluarkan keris dari dalam tas ransel yang dibawa Parno. Seketika keris itu menyambar batang pohon yang berada tepat di belakang warung Mas Joko. Suara dentuman dan api keluar dari sana. Orang-orang datang karena mendengar suara ledakan. Keluar bayangan hitam besar dari arah warung gorengan Mas Joko. Mereka yang menyaksikan bergidik ngeri. Tak lama kemudian keluar lagi sosok wanita berambut panjang terbang dari dalam warung gorengan itu. Parno terduduk lemas, tenaganya habis terkuras. Warga mulai berbisik-bisik, sosok yang mereka lihat adalah peliharaan Mas Joko.

"Gak nyangka, ternyata Mas Joko pake pesugihan, pantes warungnya ramai," ujar warga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun