PENGERTIAN, DASAR HUKUM DAN TUJUAN PERKAWINAN
Ada berbagai macam definisi perkawinan yang kita kenal. Secara umum perkawinan adalah merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara laki laki dan perempuan (beserta kedua keluarga), miithaqan ghalizan ikatan yang mempunyai konsekuensi berat, yang berimplikasi terhadap hak dan kewajiban masing masing guna untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, penuh dengan mawaddah dan rahmah. Sedangkan perkawinan dalam hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dasar hukum perkawinan ada dalam al-Qur’an dan hadis, ada banyak ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perkawinan, begitu juga dengan hadis. Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia perkawinan sendiri diatur dalam Undang-undang dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang rumusannya:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal 2 dan 3 serta 4 disebutkan bahwa:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miithaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di antara tujuan perkawinan adalah: mendapatkan dan melangsungkan keturunan, penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung jawab dan memelihara dari kerusakan. Sedangkan Jamaluddin Athiyyah sendiri merumuskan tujuan perkawinan dalam 7 pokok:
- Tandhim al ‘alaqah bain al jinsain (mengatur ikatan antar dua jenis manusia)
- Hifdh al nasl (menjaga perkembangbiakan)
- Tahqiq al sakn wa al mawaddah wa al rahmah (realisasi ketenteraman, keramah-tamahan dan kasih sayang)
- Hifdh al nasb (menjaga nasab)
- Hifdh al tadayyun fi al usrah (menjaga keberagaman dalam keluarga)
- Tandhim al janib al mu’assasiy li al usrah (mengatur sisi keorganisasian bagi keluarga)
- Tandhim al janib al maliy li al usrah (mengatur sisi finansial bagi keluarga).
HUKUM PERKAWINAN YANG BERLAKU DI INDONESIA SEJARAH DAN PERUMUSANNYA
Hukum perkawinan yang diundang-undangkan telah dimulai sejak masa kerajaan-kerajaan berkuasa di bumi Nusantara. Baik kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan kerajaan Islam yang berkuasa sebelum Belanda di Indonesia telah mulai melakukan legalisasi hukum perkawinan dan hukum keluarga dengan versinya masing-masing.
Setelah Belanda dengan VOC nya mulai menguasai tanah pertiwi, dinamika hukum perkawinan mengalami pasang surut peran dan kiprahnya. Periode awal berkuasanya VOC di tanah air, hukum Islam mengalami kemajuan. VOC mengakui keberadaan hukum bahkan menerbitkan kitab-kitab karya para ulama untuk kemudian dijadikan pedoman umat Islam dalam menyelesaikan persoalan hukum di lembaga peradilan atau Mahkamah Syariah yang ada saat itu. Hal ini berjalan hingga 2 abad lamanya.
Pasca dibubarkannya VOC oleh pemerintahan Hindia Belanda, dinamika hukum perkawinan mengalami perubahan. Pemerintah kolonial Belanda membuat beberapa aturan dan ketentuan terkait dengan hukum perkawinan;
- Warga negara Indonesia asli berlaku hukum adat
- Warga negara Indonesia asli yang muslim berlaku hukum perkawinan Islam
- Warga negara Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI)
- Warga Negara keturunan Eropa dan China berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
- Perkawinan campuran diberlakukan peraturan perkawinan campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.
Setelah Indonesia merdeka, dinamika hukum perkawinan lebih mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pada tahun 1946 pemerintah mengeluarkan peraturan perkawinan yaitu ketetapan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 perihal pencatatan nikah, talak dan rujuk yang diberlakukan di wilayah Jawa dan Madura, kemudian lahir Undang-Undang No. 32 tahun 1954 yang menegaskan pemberlakuan UU No. 22 tahun 1946 secara nasional.
Pemerintahan Orde Lama telah menggagas RUU perkawinan nasional yaitu tepat di tahun 1950, namun karena Front Wanita dalam Parlemen kurang menyetujuinya dan mengundang banyak perdebatan hingga tahun 1965 saat Orde Lama berakhir RUU perkawinan belum juga terbentuk.
Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1973 melalui Menteri Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah mengajukan RUU perkawinan ke DPR. Awalnya RUU tersebut menuai banyak kecaman, namun melalui perjuangan keras dan revisi hingga tidak bertentangan dengan hukum Islam, akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU Perkawinan disahkan menjadi undang-undang.
Perkembangan UU perkawinan hingga era Reformasi sangat dinamis, masyarakat terlibat dalam menilai implementasi UU perkawinan tersebut di tengah kehidupan masyarakat. Hingga muncul uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas berubahnya 43 ayat (2) sebagi konskuensi dikabulkannya permohonan uji materi pasal tersebut oleh pemohon atas nama Hj. Aisyah Mochtar atau Macicha Mokhtar. Walaupun perubahan atas pasal tersebut disambut pro dan kontra terkait legalitas hubungan hukum anak yang lahir di luar perwainan yang sah. Atas kenyataan tersebut, tidak menutup adanya revisi atas UU perkawinan yang dinilai oleh masyarakat sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan.
ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA
Hukum perkawinan Islam di Indonesia dirumuskan melalui sejarah yang cukup panjang dan dinamis serta diwarnai dengan perdebatan dan perbedaan pendapat dari beberapa kalangan terhadap beberapa aspek. Di antara aspek-aspek tersebut adalah tentang poligami, perceraian dan usia minimal menikah. Dalam hal ini kemudian ditetapkan bahwa ada asas-asas yang melandasi hukum perkawinan Islam di Indonesia dan asas-asas tersebut adalah:
- Asas membentuk keluarga yang kekal
- Asas kedewasaan
- Asas mempersulit adanya perceraian
- Asas bahwa perkawinan harus dicatatkan
- Asas kesukarelaan
- Asas kebebasan memilih pasangan.
Asas-asas yang ada dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia jelas memiliki alasan dan tujuan masing-masing. Dari kerangka perspekstif jender asas-asas hukum perkawinan Islam di Indonesia bisa dikatakan cukup responsif. Sebagai contoh adalah asas mempersulit perceraian dilandaskan semangat untuk dapat mereduksi tingkat perceraian sekaligus mengatur supaya perceraian dapat diatasi oleh negara dan pada akhirnya tidak merugikan siapapun termasuk perempuan dan anak-anak.
Dengan ini, kesimpulan akhir yang perlu ditegaskan bahwa pentingnya selalu meletakkan asas-asas ini sebagai landasan dan prinsip utama yang harus dipegang dalam pelaksanaan dan implementasi berbagai aturan dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia. Sebagai contoh karena asas hukum perkawinan Islam di Indonesia adalah monogami maka hendaknya poligami benar-benar diletakkan sebagaimana mestinya, yaitu jalan keluar darurat ketika memang sangat dibutuhkan dan tetap diawasi serta diatur oleh negara.
Diharapkan semangat yang diusung oleh berbagai pihak yang terkait dengan implementasi hukum perkawinan Islam di Indonesia adalah semangat monogami, bukan poligami.
PEMINANGAN, SYARAT, HALANGAN DAN AKIBAT HUKUM
Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, yang disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Peminangan atau pertunangan merupakan langkah awal yang disyariatkan sebelum melangsungkan perkawinan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama atau adat setempat. Hal ini bertujuan agar pasangan yang akan menikah baik dari keluarga pihak laki-laki maupun perempuan bisa saling mengenal. Bagi calon suami maupun istri, dengan melakukan khitbah (pinangan) akan mengenal kriteria calon pasangannya masing-masing.
- Adapun syarat-syarat peminangan terbagi menjadi dua syarat mustahsinah dan syarat lazimah. Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita, atau sebaliknya. Di antaranya adalah memilih calon pasangan dengan kriteria kekufuan. Sedangkan syarat lazimah adalah syarat yang harus terpenuhi dalam peminangan, di antaranya adalah calon suami atau istri bukanlah mahram dan calon suami atau istri bukan sedang dalam pinangan orang lain.
- Wanita yang terhalang untuk dipinang terdapat dua kategori, wanita yang terhalang selamanya karena ada hubungan nasab, sesusuan dan semendaan. Sedangkan wanita yang terhalang sementara adalah dua saudara yang tidak boleh dinikahi sekaligus juga tidak boleh untuk dipinang sekaligus dan juga tidak boleh meminang wanita yang dalam pinangan orang lain.
- Perspektif jender dalam kasus peminangan ini hendaknya bagi calon laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki hak untuk melihat atau meneliti pasangannya. Laki-laki di sini bisa memilih wanita mana saja yang akan dipinang sesuai dengan kriteria yang diinginkan, begitu juga wanita memiliki hak untuk menerima atau menolak pinangan laki-laki yang meminangnya. Dia berhak menolak laki-laki yang tidak dianggap baik untuk dijadikan suami kelak, dan menerima laki-laki lain yang baik menurutnya.
- Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak berhak memutuskan hubungan peminangan. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan adat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN DALAM KITAB FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Rukun pernikahan menurut KHI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul. Sedangkan dalam kajian fikih khususnya mazhab syafi’i, rukun pernikahan adalah akad nikah, kedua calon laki-laki dan perempuan, wali, dan saksi.
Akad nikah bukanlah seperti akad jual beli yang menjadikan istri sebagai objek transaksi. Akad nikah bukanlah simbol bahwa suami membeli istri dengan seperangkat mahar yang telah dibayarkan. Akan tetapi nikah adalah ikatan sakral dan agung sebagai simbol bahwa suami berkomitmen penuh untuk menjaga istri dan membahagiakannya sesuai kadar kemampuannya.
Jika melihat kemaslahatan kedua calon mempelai, maka pernikahan di bawah umur (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) sebaiknya ditinggalkan. Bahkan jika mengacu pada program Pendewasaan Usia Perkawinan BKKBN, maka sebaiknya umur ideal menikah adalah 21 bagi perempuan dan 25 bagi laki-laki.
Ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban wali dalam pernikahan. Menurut Imam Syafi’I, wajib ada wali. Sedangkan menurut Imam Hanafi, tidak wajib ada wali sehingga orangtua tidak boleh memaksa anaknya untuk menikah dengan calon yang tidak disukai anaknya. Dalam KHI Pasal 20, bahwa wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi tiga syarat, yaitu muslim, akil, dan balig.
LARANGAN, PENCEGAHAN, DAN PEMBATALAN DALAM PERNIKAHAN
Larangan Perkawinan. Salah satu aturan penting berkenaan dengan calon pasangan adalah laki-laki dilarang menikah dengan mahramnya. Aturan ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 dan selanjutnya disimpulkan dalam KHI Pasal 39-44.
Salah satu larangan pernikahan adalah adanya hubungan mahram antara suami dan istri. Mahram ada tiga macam, yaitu kekerabatan, mahram karena pertalian kerabat semenda, mahram karena pertalian persusuan. Selain karena alasan mahram, lakilaki juga dilarang melakukan pernikahan karena beberapa alasan tertentu yang disebutkan dalam KHI Pasal 40-44.
Pencegahan perkawinan ini pada dasarnya adalah aturan lanjutan dari larangan perkawinan yang telah dibahas sebelumnya. Artinya, jika ada laki-laki mau menikahi perempuan yang dilarang sebagaimana dijelaskan dalam KHI Pasal 39-34, maka pernikahan tersebut harus dicegah karena tidak sesuai dengan aturan agama yang tertera dalam al-Qur’an dan hadis, dan juga melanggar aturan pemerintah sebagaimana tertuang dalam KHI. Adanya pencegahan ini pada hakikatnya untuk membawa kemaslahatan bagi kedua pasangan, suami dan istri.
Pembatalan pernikahan adalah upaya untuk tidak melangsungkan pernikahan karena alasan-alasan tertentu. Pembatalan dilakukan karena alasan salah satu persyaratan dan rukun pernikahan yang tidak terpenuhi. Selain itu, pembatalan juga dilakukan karena alasan adanya larangan pernikahan yang dilanggar. Pembatalan pernikahan akan memberi dampak positif dan membawa kemaslahatan bagi suami dan istri, karena pada hakikatnya jika pernikahannya tidak dibatalkan, maka akan terjadi bahaya dan kemudaratan yang dihadapi keduanya.
DISPENSASI DAN IZIN DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA
Dispensasi perkawinan adalah pemberian kelonggaran kepada calon mempelai yang belum memenuhi syarat usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “perkawinan hanya bisa dilaksanakan apabila pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Sedangkan izin poligami adalah permohonan izin dari seorang laki-laki kepada Pengadilan Agama untuk menikah lagi dan memiliki istri lebih dari seorang.
Asas perkawinan yang dianut di Indonesia adalah asas monogami, oleh sebab itu jika laki-laki bermaksud menikah lebih dari satu, maka harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Sedangkan dalam hal kedewasaan calon suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1) juga dijelaskan bahwa: demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mangatur lebih lanjut tata cara permohonan izin suami untuk beristri lebih dari satu. Sedangkan untuk pengajuan permohonan dispensasi nikah ini dilakukan setelah mendapatkan surat penolakan untuk menikah dari Kantor Urusan Agama. Surat penolakan tersebut dijadikan dasar nutuk mengajukan dispensasi ke pangadilan agama. Pengadilan agama yang akan memberikan suatu penetapan tentang permohonan dispensasi tersebut setelah dilakukan pemeriksaan dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk melangsungkan perkawinan.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM PERKAWINAN
Dalam KHI Pasal 79 ayat 1, 2, dan 4, ada penjelasan tentang kedudukan suami istri dalam keluarga, yaitu suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi sesuai dengan fakta di lapangan, kepemimpinan ini bisa bergeser sesuai dengan kemampuan dan kapasitas suami dan istri. Bisa jadi istri menjadi pemimpin rumah tangga jika pada faktanya istrilah yang mengurusi keperluan rumah tangga termasuk dalam urusan mencari nafkah.
Hak istri yang menjadi kewajiban suami. Terdapat kewajiban yang melekat pada diri suami ketika menikahi seorang perempuan, yaitu kewajiban materi dan kewajiban non materi, yaitu:
- Materi (berkaitan dengan harta), yaitu mahar. Pemberian mahar dari suami kepada istri ini merefleksikan penghargaan dan penghormatan kedudukan perempuan sebagai istri, bukan bagian dari transaksi perkawinan sebagaimana banyak diasumsikan. Selain mahar, ketika suami mengambil peran sebagai pencari nafkah sepenuhnya, maka istri berhak menerima nafkah dari suaminya. Akan tetapi, berkaitan dengan materi ini, dalam konteks yang berbeda, dimana istri juga turut bekerja mencari nafkah, atau bisa jadi istri menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, maka hak penerima nafkah juga akan berganti sesuai peran dan tanggung jawab yang ada.
- Non materi, yaitu: memperlakukan istri sebaik-baiknya, menerapkan etika yang baik dalam kehidupan keluarga, menggunakan cara terbaik untuk saling mengingatkan dan menasehati istri, menghormati dan menghargai istri, dan melibatkan istri dalam pengambilan keputusan.
Hak suami yang menjadi kewajiban istri adalah memperlakukan suami dengan sebaik-baiknya, menjaga harta dan kehormatan keluarga, mengingatkan suami dengan cara yang baik dan santun, menghormati dan menghargai suami, serta mempertimbangkan pendapat suami dalam pengambilan keputusan keluarga.
Hak dan Kewajiban suami dan istri secara bersamaan. Di antara hak dan kewajibannya adalah: Bersama-sama mewujudkan keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat, hak melakukan hubungan seksual, hak tetapnya nasab anak, hak waris, hak Hadanah, hak saling mencintai secara tulus, saling setia, menghindari hal-hal yang yang menimbulkan konflik, dan berusaha menyelesaikan konflik jika terjadi dengan cara-cara yang baik.
PERKAWINAN CAMPUR DALAM HUKUM PERKAWINAN INDONESIA
Perkawinan campuran antara pria WNA dan wanita WNI otomatis kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini merupakan konsekuensi hukum pengutamaan penggunaan asas ius sanguinis, berdasarkan Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Sehubungan dangan hal tersebut, timbul beberapa permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan:
- Jika terjadi perceraian dari perkawinan antara WNA (lakilaki)- dengan WNI (wanita), maka perceraian tersebut tidak mempengaruhi status si anak. Anak tetap berstatus WNA hingga usia 18 tahun dan pada saat memasuki usia 18 tahun, anak berhak menentukan kewarganegaraan sendiri. Namun apabila terjadi perceraian (berdasarkan keputusan hakim) anak diasuh oleh ibu. Sedangkan ayah tetap berkewajiban memberikan biaya hidup kepada anak, hanya apabila ayahnya ingkar atas biaya anaknya, di dalam undang-undang perkawinan tersebut belum di atur.
- Belum adanya pengaturan masalah penentuan status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran.
- Belum adanya pengaturan mengenai keabsahan dan pencatatan perkawinan campuran.
- Sering terjadi penyelundupan hukum terhadap kasus anak sah tetapi di luar kawin.
- Belum ada pengaturan mengenai kewarisan untuk anak dari perkawinan campuran.
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 belum dapat memecahkan semua permasalahan yang berhubungan dengan status anak hasil perkawinan antara WNA dan WNI, sebab beberapa permasalahan yang ada masih diselesaikan melalui pengadilan.
Status anak WNI yang lahir di luar negeri menganut asas ius soli adalah sebagai berikut: Jika ayahnya tidak jelas maka status anak tetap menjadi WNI. Jika ayahnya jelas maka status anak adalah bipatrida.
PUTUSNYA PERKAWINAN, ALASAN DAN PROSEDURNYA
Perkawinan manifestasi ikatan lahir batin pasangan pria dan seorang wanita yang bersepakat membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ridha Tuhan Yang Maha Esa, maka aqad yang diikrarkan bernilai luhur dan suci. Oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga dan dilestarikan hingga akhir hayat keduanya. Karena itu setiap hal yang mengarah pada kerusakan rumah tangga adalah hal yang dibenci oleh Allah SWT, jadi perceraian hal yang halal tapi dibenci Allah SWT.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 28 ditegaskan bahwa ketentuan tentang perceraian pada pasal ini bersifat fakultatifyaitu “Perkawinan putus sebab kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”. Adapun penyebab perceraian bisa karena faktor ekonomi, biologis, psikis, logis, moral, atau bahkan sosial.
Perceraian ialah putusnya hubungan hukum dalam ikatan perkawinan sebagai suami istri antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya tidak dihalalkan lagi melakukan hubungan biologis layaknya sebagaisuami istri.
Implikasi hukum perceraian adalah mempengaruhi pada:
- Kedudukan harta kekayaan, dimana akan muncul status harta sebagai harta bersama dan juga harta bawaan.
- Kedudukan anak yaitu hak asuh anak (hadanah) dan tanggung jawab atas nafkah anak.
HAK DAN KEWAJIBAN PASCA PERCERAIAN
Hukum perkawinan Islam di Indonesia mengatur tentang hak dan kewajiban pasca perceraian. Aturan ini ditujukan supaya tidak ada dampak negatif atau kerugian yang diderita oleh pihakpihak dalam perkawinan atau perceraian tersebut.
Beberapa konsekuensi yang diatur pasca perceraian adalah iddah, ruju’, hadanah, hak-hak finansial istri (nafkah iddah, mut’ah, mahar terutang, dan kemungkinan adanya nafkah madiyah terhutang), dan nafkah biaya pemeliharaan anak. Selain itu konsekuensi pasca perceraian lainnya adalah pengurusan harta bersama atau harta gono-gini.
Meskipun secara umum aturan-aturan terkait konsekuensi pasca perceraian bisa dikatakan cukup responsif jender, masih ada beberapa aspek yang menjadi perdebatan dan keprihatian para pemikir jender. Selain itu aspek yang tidak kalah penting adalah persoalan-persoalan di ranah realita terkait implementasi berbagai aturan hak dan kewajiban pasca perceraian tersebut khususnya terkait nafkah bekas istri dan nafkah anak.
ANAK DAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA
Anak merupakan cikal bakal generasi penerus bangsa dan agama. Karenannya, baik negara maupun agama meletakkan kedudukan anak sebagai pihak yang harus dilindungi demi memaksimalkan tumbuh kembangnya.
Sebelum putusan MK tentang anak luar kawin, hukum perkawinan Islam di Indonesia baik itu Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tidak dengan keluarga ayahnya. Dengan adanya putusan MK tentang anak luar kawin, maka pasal-pasal terkait berubah dan anak luar kawin memiliki peluang dan jaminan perlidungan dari negara untuk memperoleh kejelasan status sekaligus hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.
Keputusan MK ini jika ditinjau dari perspektif perlindungan anak jelas merupakan kemajuan progresif yang telah berani menerobos kebekuan hukum selama ini. Putusan ini, jika telah berhasil dalam ranah implementasi, akan berpontensi merubah/ memperbaiki kedudukan sekaligus nasib-nasib anak luar kawin.
Sumber: Naily, Nabiela, Nurul Asiya Nadhifah, Holilur Rohman, and Mahir Amin. Hukum Perkawinan Islam Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H