Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 belum dapat memecahkan semua permasalahan yang berhubungan dengan status anak hasil perkawinan antara WNA dan WNI, sebab beberapa permasalahan yang ada masih diselesaikan melalui pengadilan.
Status anak WNI yang lahir di luar negeri menganut asas ius soli adalah sebagai berikut: Jika ayahnya tidak jelas maka status anak tetap menjadi WNI. Jika ayahnya jelas maka status anak adalah bipatrida.
PUTUSNYA PERKAWINAN, ALASAN DAN PROSEDURNYA
Perkawinan manifestasi ikatan lahir batin pasangan pria dan seorang wanita yang bersepakat membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ridha Tuhan Yang Maha Esa, maka aqad yang diikrarkan bernilai luhur dan suci. Oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga dan dilestarikan hingga akhir hayat keduanya. Karena itu setiap hal yang mengarah pada kerusakan rumah tangga adalah hal yang dibenci oleh Allah SWT, jadi perceraian hal yang halal tapi dibenci Allah SWT.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 28 ditegaskan bahwa ketentuan tentang perceraian pada pasal ini bersifat fakultatifyaitu “Perkawinan putus sebab kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”. Adapun penyebab perceraian bisa karena faktor ekonomi, biologis, psikis, logis, moral, atau bahkan sosial.
Perceraian ialah putusnya hubungan hukum dalam ikatan perkawinan sebagai suami istri antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya tidak dihalalkan lagi melakukan hubungan biologis layaknya sebagaisuami istri.
Implikasi hukum perceraian adalah mempengaruhi pada:
- Kedudukan harta kekayaan, dimana akan muncul status harta sebagai harta bersama dan juga harta bawaan.
- Kedudukan anak yaitu hak asuh anak (hadanah) dan tanggung jawab atas nafkah anak.
HAK DAN KEWAJIBAN PASCA PERCERAIAN
Hukum perkawinan Islam di Indonesia mengatur tentang hak dan kewajiban pasca perceraian. Aturan ini ditujukan supaya tidak ada dampak negatif atau kerugian yang diderita oleh pihakpihak dalam perkawinan atau perceraian tersebut.
Beberapa konsekuensi yang diatur pasca perceraian adalah iddah, ruju’, hadanah, hak-hak finansial istri (nafkah iddah, mut’ah, mahar terutang, dan kemungkinan adanya nafkah madiyah terhutang), dan nafkah biaya pemeliharaan anak. Selain itu konsekuensi pasca perceraian lainnya adalah pengurusan harta bersama atau harta gono-gini.
Meskipun secara umum aturan-aturan terkait konsekuensi pasca perceraian bisa dikatakan cukup responsif jender, masih ada beberapa aspek yang menjadi perdebatan dan keprihatian para pemikir jender. Selain itu aspek yang tidak kalah penting adalah persoalan-persoalan di ranah realita terkait implementasi berbagai aturan hak dan kewajiban pasca perceraian tersebut khususnya terkait nafkah bekas istri dan nafkah anak.