DISPENSASI DAN IZIN DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA
Dispensasi perkawinan adalah pemberian kelonggaran kepada calon mempelai yang belum memenuhi syarat usia minimal untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “perkawinan hanya bisa dilaksanakan apabila pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Sedangkan izin poligami adalah permohonan izin dari seorang laki-laki kepada Pengadilan Agama untuk menikah lagi dan memiliki istri lebih dari seorang.
Asas perkawinan yang dianut di Indonesia adalah asas monogami, oleh sebab itu jika laki-laki bermaksud menikah lebih dari satu, maka harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Sedangkan dalam hal kedewasaan calon suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1) juga dijelaskan bahwa: demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mangatur lebih lanjut tata cara permohonan izin suami untuk beristri lebih dari satu. Sedangkan untuk pengajuan permohonan dispensasi nikah ini dilakukan setelah mendapatkan surat penolakan untuk menikah dari Kantor Urusan Agama. Surat penolakan tersebut dijadikan dasar nutuk mengajukan dispensasi ke pangadilan agama. Pengadilan agama yang akan memberikan suatu penetapan tentang permohonan dispensasi tersebut setelah dilakukan pemeriksaan dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk melangsungkan perkawinan.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM PERKAWINAN
Dalam KHI Pasal 79 ayat 1, 2, dan 4, ada penjelasan tentang kedudukan suami istri dalam keluarga, yaitu suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi sesuai dengan fakta di lapangan, kepemimpinan ini bisa bergeser sesuai dengan kemampuan dan kapasitas suami dan istri. Bisa jadi istri menjadi pemimpin rumah tangga jika pada faktanya istrilah yang mengurusi keperluan rumah tangga termasuk dalam urusan mencari nafkah.
Hak istri yang menjadi kewajiban suami. Terdapat kewajiban yang melekat pada diri suami ketika menikahi seorang perempuan, yaitu kewajiban materi dan kewajiban non materi, yaitu:
- Materi (berkaitan dengan harta), yaitu mahar. Pemberian mahar dari suami kepada istri ini merefleksikan penghargaan dan penghormatan kedudukan perempuan sebagai istri, bukan bagian dari transaksi perkawinan sebagaimana banyak diasumsikan. Selain mahar, ketika suami mengambil peran sebagai pencari nafkah sepenuhnya, maka istri berhak menerima nafkah dari suaminya. Akan tetapi, berkaitan dengan materi ini, dalam konteks yang berbeda, dimana istri juga turut bekerja mencari nafkah, atau bisa jadi istri menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, maka hak penerima nafkah juga akan berganti sesuai peran dan tanggung jawab yang ada.
- Non materi, yaitu: memperlakukan istri sebaik-baiknya, menerapkan etika yang baik dalam kehidupan keluarga, menggunakan cara terbaik untuk saling mengingatkan dan menasehati istri, menghormati dan menghargai istri, dan melibatkan istri dalam pengambilan keputusan.
Hak suami yang menjadi kewajiban istri adalah memperlakukan suami dengan sebaik-baiknya, menjaga harta dan kehormatan keluarga, mengingatkan suami dengan cara yang baik dan santun, menghormati dan menghargai suami, serta mempertimbangkan pendapat suami dalam pengambilan keputusan keluarga.
Hak dan Kewajiban suami dan istri secara bersamaan. Di antara hak dan kewajibannya adalah: Bersama-sama mewujudkan keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat, hak melakukan hubungan seksual, hak tetapnya nasab anak, hak waris, hak Hadanah, hak saling mencintai secara tulus, saling setia, menghindari hal-hal yang yang menimbulkan konflik, dan berusaha menyelesaikan konflik jika terjadi dengan cara-cara yang baik.
PERKAWINAN CAMPUR DALAM HUKUM PERKAWINAN INDONESIA
Perkawinan campuran antara pria WNA dan wanita WNI otomatis kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini merupakan konsekuensi hukum pengutamaan penggunaan asas ius sanguinis, berdasarkan Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Sehubungan dangan hal tersebut, timbul beberapa permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan:
- Jika terjadi perceraian dari perkawinan antara WNA (lakilaki)- dengan WNI (wanita), maka perceraian tersebut tidak mempengaruhi status si anak. Anak tetap berstatus WNA hingga usia 18 tahun dan pada saat memasuki usia 18 tahun, anak berhak menentukan kewarganegaraan sendiri. Namun apabila terjadi perceraian (berdasarkan keputusan hakim) anak diasuh oleh ibu. Sedangkan ayah tetap berkewajiban memberikan biaya hidup kepada anak, hanya apabila ayahnya ingkar atas biaya anaknya, di dalam undang-undang perkawinan tersebut belum di atur.
- Belum adanya pengaturan masalah penentuan status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran.
- Belum adanya pengaturan mengenai keabsahan dan pencatatan perkawinan campuran.
- Sering terjadi penyelundupan hukum terhadap kasus anak sah tetapi di luar kawin.
- Belum ada pengaturan mengenai kewarisan untuk anak dari perkawinan campuran.