Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, yang disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Peminangan atau pertunangan merupakan langkah awal yang disyariatkan sebelum melangsungkan perkawinan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama atau adat setempat. Hal ini bertujuan agar pasangan yang akan menikah baik dari keluarga pihak laki-laki maupun perempuan bisa saling mengenal. Bagi calon suami maupun istri, dengan melakukan khitbah (pinangan) akan mengenal kriteria calon pasangannya masing-masing.
- Adapun syarat-syarat peminangan terbagi menjadi dua syarat mustahsinah dan syarat lazimah. Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang wanita, atau sebaliknya. Di antaranya adalah memilih calon pasangan dengan kriteria kekufuan. Sedangkan syarat lazimah adalah syarat yang harus terpenuhi dalam peminangan, di antaranya adalah calon suami atau istri bukanlah mahram dan calon suami atau istri bukan sedang dalam pinangan orang lain.
- Wanita yang terhalang untuk dipinang terdapat dua kategori, wanita yang terhalang selamanya karena ada hubungan nasab, sesusuan dan semendaan. Sedangkan wanita yang terhalang sementara adalah dua saudara yang tidak boleh dinikahi sekaligus juga tidak boleh untuk dipinang sekaligus dan juga tidak boleh meminang wanita yang dalam pinangan orang lain.
- Perspektif jender dalam kasus peminangan ini hendaknya bagi calon laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki hak untuk melihat atau meneliti pasangannya. Laki-laki di sini bisa memilih wanita mana saja yang akan dipinang sesuai dengan kriteria yang diinginkan, begitu juga wanita memiliki hak untuk menerima atau menolak pinangan laki-laki yang meminangnya. Dia berhak menolak laki-laki yang tidak dianggap baik untuk dijadikan suami kelak, dan menerima laki-laki lain yang baik menurutnya.
- Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak berhak memutuskan hubungan peminangan. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan adat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN DALAM KITAB FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Rukun pernikahan menurut KHI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul. Sedangkan dalam kajian fikih khususnya mazhab syafi’i, rukun pernikahan adalah akad nikah, kedua calon laki-laki dan perempuan, wali, dan saksi.
Akad nikah bukanlah seperti akad jual beli yang menjadikan istri sebagai objek transaksi. Akad nikah bukanlah simbol bahwa suami membeli istri dengan seperangkat mahar yang telah dibayarkan. Akan tetapi nikah adalah ikatan sakral dan agung sebagai simbol bahwa suami berkomitmen penuh untuk menjaga istri dan membahagiakannya sesuai kadar kemampuannya.
Jika melihat kemaslahatan kedua calon mempelai, maka pernikahan di bawah umur (16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki) sebaiknya ditinggalkan. Bahkan jika mengacu pada program Pendewasaan Usia Perkawinan BKKBN, maka sebaiknya umur ideal menikah adalah 21 bagi perempuan dan 25 bagi laki-laki.
Ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban wali dalam pernikahan. Menurut Imam Syafi’I, wajib ada wali. Sedangkan menurut Imam Hanafi, tidak wajib ada wali sehingga orangtua tidak boleh memaksa anaknya untuk menikah dengan calon yang tidak disukai anaknya. Dalam KHI Pasal 20, bahwa wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi tiga syarat, yaitu muslim, akil, dan balig.
LARANGAN, PENCEGAHAN, DAN PEMBATALAN DALAM PERNIKAHAN
Larangan Perkawinan. Salah satu aturan penting berkenaan dengan calon pasangan adalah laki-laki dilarang menikah dengan mahramnya. Aturan ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23 dan selanjutnya disimpulkan dalam KHI Pasal 39-44.
Salah satu larangan pernikahan adalah adanya hubungan mahram antara suami dan istri. Mahram ada tiga macam, yaitu kekerabatan, mahram karena pertalian kerabat semenda, mahram karena pertalian persusuan. Selain karena alasan mahram, lakilaki juga dilarang melakukan pernikahan karena beberapa alasan tertentu yang disebutkan dalam KHI Pasal 40-44.
Pencegahan perkawinan ini pada dasarnya adalah aturan lanjutan dari larangan perkawinan yang telah dibahas sebelumnya. Artinya, jika ada laki-laki mau menikahi perempuan yang dilarang sebagaimana dijelaskan dalam KHI Pasal 39-34, maka pernikahan tersebut harus dicegah karena tidak sesuai dengan aturan agama yang tertera dalam al-Qur’an dan hadis, dan juga melanggar aturan pemerintah sebagaimana tertuang dalam KHI. Adanya pencegahan ini pada hakikatnya untuk membawa kemaslahatan bagi kedua pasangan, suami dan istri.
Pembatalan pernikahan adalah upaya untuk tidak melangsungkan pernikahan karena alasan-alasan tertentu. Pembatalan dilakukan karena alasan salah satu persyaratan dan rukun pernikahan yang tidak terpenuhi. Selain itu, pembatalan juga dilakukan karena alasan adanya larangan pernikahan yang dilanggar. Pembatalan pernikahan akan memberi dampak positif dan membawa kemaslahatan bagi suami dan istri, karena pada hakikatnya jika pernikahannya tidak dibatalkan, maka akan terjadi bahaya dan kemudaratan yang dihadapi keduanya.