Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perintah UU-SJSN: JKN untuk Rawat Inap Gunakan Kelas Standar, Bukan Kelas I, II dan III

9 September 2019   23:46 Diperbarui: 10 September 2019   00:03 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dalam berbagai pembahasan terkait dengan persoalan defisit DJS JKN yang sudah sering dilakukan baik dalam sidang Kabinet Terbatas, maupun Rapim antar Menteri dan Direksi BPJS Kesehatan  dengan Menko PMK, sepanjang yang saya ketahui tidak pernah menyinggung soal penggunaan rawat inap kelas I,II, dan III.

Peserta BPJS kesehatan yang tertuang dalam Perpres 82/2018, yang tidak sesuai dengan perintah  dalam UU SJSN ( Nomor 40/2004) bahwa hak peserta BPJS Kesehatan adalah single class yaitu kelas standar. 

Lihat Pasal 23 ayat (4) yang berbunyi" Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar". Ketentuan lebih lanjut tentang ayat (4) tersebut dalam ayat (5)  menyatakan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Ternyata dalam Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, tidak ada menyinggung substansi tentang rawat inap kelas standar sebagaimana diamanatkan pada Pasal 23 ayat (4) dan (5) UU SJSN.  

Padahal dalam konsideran Menimbang Perpres 82/2018, menyebutkan  a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (2) , Pasal 21 ayat (4) , Pasal 22 ayat (3 ), Pasal 23 ayat ( 5 ), Pasal 26, Pasal 27 ayat ( 5 ), dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 200 4 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dst.

Ketentuan lebih lanjut yang dimaksud kelas standar berdasarkan UU SJSN,  dalam Perpres 82/1018, pada pasal 34 dan Pasal 50, langsung menyebutkan perawatan rawat inap kelas I, II, dan III.  

Persisnya bunyi Pasal 34 " Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar: a. Rp25.500,00 (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III; b. Rp5 l.000,00 (lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau c. Rp80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I." 

Adapun Pasal 50 berbunyi " Manfaat nonmedis sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 46 ayat (4) berupa akomodasi layanan rawat inap sebagai berikut: 

a. Ruang perawatan kelas III bagi: 

1. Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah; 

2. Peserta PBPU dan Peserta BP yang membayar Iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III; dan 

3. Peserta PPU yang mengalami PHK beserta keluarganya. 

b. Ruang Perawatan kelas II bagi: 

1. PNS dan penerima pensiun PNS golongan ruang dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya; 

2. Prajurit dan penerima pens1un Prajurit yang setara PNS golongan ruang I dan golongan ruang lI beserta anggota keluarganya; 

3. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara PNS golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya; 

4. Peserta PPU selain angka 1 sampai dengan angka 3, kepala desa dan perangkat desa, clan Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h, dengan Gaji atau Upah sampai dengan Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan 

5. Peserta PBPU dan Peserta BP yang membayar Iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.

 c. Ruang perawatan kelas I bagi: 

1. Pejabat Negara dan anggota keluarganya; 

2. Pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta anggota keluarganya; 

3. PNS dan penerima pensiun PNS golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; 

4. Prajurit dan penerima pensiun Prajurit yang setara PNS golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; 

5. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara PNS golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; 

6. Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya; 

7. janda, duda, atau anak yatim  dan/ atau piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan; 

8. Peserta PPU selain angka 1 sampai dengan angka 5, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h, dengan Gaji atau Upah lebih dari Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan 

9. Peserta PBPU dan Peserta BP yang membayar Iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I."

Ada dua hal yang tidak dijelaskan dalam Perpres ini,  jika membaca Pasal 34 dan 50, yaitu tidak adanya frasa kelas standar, dan  hanya menyebutkan kelas I, II, dan III tanpa penjelasan lebih lanjut apakah ketiga kelas tersebut adalah kelas standar.

Karena dasar Menimbang Perpres ini, salah satunya adalah  mengacu pada Pasal 23 ayat (5), tentu harus dirumuskan dulu apa yang dimaksud dengan rawat inap kelas standar.  Mencakup apa saja Indikatornya  dan standar setiap indikator.

Karena Perpres 82/2018, langsung menyebut ada 3 kelas rawat inap  yaitu kelas I, II, dan III maka mengakibatkan ada hitungan besaran iuran peserta sesuai dengan tingkatan kelas tersebut.

Apa implikasi dari anomali Perpres 82/2018, antara lain terkait terbaginya besaran iuran peserta dalam  3 kelas perawatan dan tentunya ada perbedaan pelayanan (non medis).

Dan hal ini bukanlah karakter dari Jaminan Sosial, ap lagi rentang besaran tarif iuran sangat lebar ( dua kali lipat), hakikat gotong royongnya jadi hilang. Perpres tersebut menerapkan model triple class rawat inap, sedangkan perintah UU adalah single class rawat inap yang disebut dengan kelas standar. 

Jika menggunakan kelas standar sebagai acuan maka Kemenkes harus membuat rumusannya untuk dimasukkan dalam Perpres.

Dengan demikian, jika draft Perpres JKN mendatang ini, yang  sedang  dirumuskan sebagai penyempurnaan dari Perpres 82/2018, untuk mengakomodir atas perubahan iuran DJS JKN untuk 2 tahun mendatang,  juga harus mencantumkan lingkup rawat inap kelas standar yang diamanatkan UU SJSN, sebagai single class standar. 

Dengan demikian  persoalan kenaikan iuran DJS JKN  dapat diformulasi ulang, yang lebih fair, proporsional, dan berkarakter prinsip-prinsip SJSN.

Dengan mengacu pada Pasal 23 ayat (5) UU SJSN, maka dalam Ketentuan Umum Pasal 1 draft Perpres JKN harus  memuat rumusan atau ketentuan umum tentang Rawat Inap Kelas Standar ( rumusannya di buat kemenkes).

Pada norma pasal-pasal terkait iuran dan manfaat, disebutkan bahwa untuk iuran hanya dikenal dua tarif iuran yaitu iuran untuk PBI dan iuran untuk non PBI,  yang besarnya dihitung sesuai dengan nilai keekonomian (aktuaria), tanpa memasukkan defisit klaim yang terjadi akumulasi sampai dengan tahun 2018.

Kenapa tidak dimasukkan, karena skema pembayarannya tidak boleh dibebankan pada iuran peserta, sebab bukan kesalahan peserta, tetapi karena kekeliruan kebijakan pemerintah dalam menetapkan besaran iuran PBI di awal program (2014). Secara jujur kita akui, walaupun tidak diungkapkan karena terkait kecilnya iuran PBI,   pemerintah sudah menambal defisit melalui PMN, dan skema lainnya.  

Demikian juga terjadinya adverse selection, bukanlah sepenuhnya kesalahan peserta, tetapi terjadinya informasi asimetris. Dan instrumen informasi itukan dimiliki oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan.  

Sederhananya peserta pada awal program JKN diluncurkan, peserta berbonodong-bondong ke RS, ingin membuktikan bahwa BPJS Kesehatan itu tidak bohong yang menyatakan semua penyakit yang ber indikasi medis dapat di layani di RS.

Persoalannya peserta mengabaikan pola pelayanan rujukan berjenjang ( disebabkan informasi asimetris). Peranan FKTP pada tahap awal tidak efektif sebagai Gate Keeper. Sebagai penapis pasien yang ingin dirujuk ke RS.  

Belakangan ini fungsi Gate Keeper untuk 144 jenis penyakit disebagian besar Puskesmas /Klinik sudah efektif. Walaupun untuk tindakan-tindakan medis tertentu masih lolos, seperti persalinan dengan sectio, yang seharusnya secara indikasi medis dapat melalui jalur normal.

Demikian juga dengan manfaat pelayanan kesehatan, dalam pasal ( norma) terkait dicantumkan bahwa hak peserta untuk rawat inap untuk PBI dan non PBI adalah sama yaitu di kelas standar. 

Di situlah antara lain makna gotong royong. Kebersamaan.  Komunikasi sosial terjadi dalam jaminan sosial antara mereka yang mampu dengan tidak mampu, berpendidikan dengan tidak berpendidikan. Suku batak ketemu dengan suku jawa, sunda, papua, dstnys.

Jika ada peserta yang tidak ingin menggunakan haknya karena berkemampuan lebih, dan merasakan tidak nyaman dalam ruang rawat inap yang tidak privacy, UU SJSN memberikan ruang untuk pindah naik ke rawat inap kelas VIP, tetapi selisih biaya akibat kenaikan kelas ditanggung sendiri dan atau melalui CoB dengan Asuransi Kesehatan  yang dimilikinya.

UU SJSN sudah memikirkan sejauh itu untuk mengakomodir kepentingan  rakyat Indonesia semua lapisan. Jadi salah  besar jika ada pemikiran atau paham yang menyatakan bahwa JKN BPJS Kesehatan hanya untuk orang miskin dan tidak mampu, bagi yang mampu tidak wajib. Terjadi informasi asimetris  yang menimbulkan kesan di masyarakat bahwa JKN BPJS Kesehatan program inferior.  

Filosofi UU SJSN, adalah untuk menjadi peserta JKN, semua penduduk wajib mendaftar dan membayar iuran. Pengecualian hanya untuk orang miskin dan tidak mampu, iurannya dibayarkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, disamping juga berkewajiban  membayarkan iuran secara sharing dalam kapasitas pemerintah sebagai pemberi kerja. 

Peserta tidak diharuskan atau tidak wajib untuk menikmati manfaat pelayanan yang menjadi haknya . Seperti misalnya  1% penduduk Indonesia terkaya, wajib ikut sebagai peserta JKN BPJS Kesehatan, tetapi silahkan memanfaatkan pelayanan kesehatan asuransi private di dalam negeri maupun di luar negeri tanpa melakukan CoB dengan BPJS Kesehatan. Itu juga salah satu bentuk gotong royong.

Hitungan besaran iuran Kelas Standar dengan  Kelas I, II dan III.

Dalam arikel saya berjudul  " Kenaikan Iuran JKN, antara Ability to Pay dan tunggakan"  saya coba menghitung model kelas standar dengan besaran iuran Rp. 60.000/POPB untuk non PBI.  

Tetapi saat itu saya belum dapat data akurat tentang total besaran iuran PPU yang dihitung persentase dari upah, dan tidak ada kenaikan persentase, kecuali plafon atas gaji menjadi Rp. 12 juta, dari semula Rp, 8.000.000.-  Diperoleh  angka besaran iuran pertahun  adalah Rp. 122 triliun.

Setelah dihitung kembali, dengan menggunakan data Juni 2019, dalam RKAT 2019 BPJS Kesehatan, dengan asumsi  kenaikan iuran PBI menjadi Rp.42.000/POPB, , dengan total peserta 222 juta jiwa, maka didapat potensi pendapatan iuran adalah Rp. 138.720.961.504.000.

Jika dikurangi dengan besaran iuran PBPU dan BP yang menunggak yaitu Rp. 12.414.599.784.000.- ( 46%), maka masih ada tersedia dana iuran sebesar Rp. 126.306.361.720.000.- ( 126 triliun lebih). Dan jika dikurangi dengan biaya operasional Rp. 4,5 triliiun, maka net iuran yang diperoleh  Rp. 121. 806.361.720.000.-

Nah... jika kita menggunakan data BPJS Kesehaan bahwa biaya manfaat pelayanan kesehatan tahun 2019 sebesar Rp. 102.020.000.000.000, maka masih ada sisa  dana dari iuran  sebesar Rp. 19.786.361.720.000.- ( 19,7 triliun lebih). 

Angka tersebut semakin besar jika pihak BPJS Kesehatan dapat mengenjot tunggakan sebesar Rp. 12 triliun. Bisa menjadi cadangan teknis yang juga diamanatkan dalam UU SJSN, serta untuk peningkatan paket manfaat Ina-CBGs, sehngga mutu pelayanan semakin baik.

Mari kita lihat hitungan potensi iuran yang diperoleh jika menggunakan model kelas I, II, dan III yang tidak ada diatur (diperintahkan dalam UU SJSN) yang diusulkan DJSN.  Detail hitungan sudah saya tulis dalam artikel saya berjudul " Kenaikan Iuran Dana Jaminan Sosial Berlebihan, Benarkah?", (baca; jurnalsocialsecurity.com)

Telah dihitung, jika menggunakan model tarif kelas I Rp. 120.000/POPB, dan kelas II, Rp. 75.000.-/POPB, dan kelas III, Rp. 42.000.-/POPB, maka total iuran yang diperoleh adalah Rp. 141.136.711.076.000.- ( 141 triliun, 136 miliar, 711 juta 76 ribu rupiah). 

Jika dikurangi dengan potensi tunggakan sebesar Rp. 12 triliun dan untuk operasional Rp. 4.5 triliun, dan biaya manfaat pelayanan kesehatan Rp.102.020.000.000.-, maka masih ada dana tersisa sebagai dana cadangan sebesar Rp. 22.616.711.076.000. ( jumlah yang cukup besar yang memang ditujukan untuk menutupi akumulasi dan defisit yang sedang berjalan)

Tidak jauh beda, antara usulan DJSN  dengan Kemenkeu (SMI). Bedanyanya Ibu SMI menaikkan kelas I, menjadi Rp. 160.000/POPB, dan kelas II , Rp. 110.000.-/POPB, dan kelas III, sama yaitu sebesar Rp. 42.000.-/POPB.

Dana iuran yang diperoleh dari usulan Ibu SMI,  total keseluruhan adalah  149.464.078.136.000. ( 149 triliun, 464 miliar, 78 juta, 136 ribu rupiah). Dikurangi dengan potensi menunggak Rp. 12 triliun dan biaya operasional sekitar Rp. 4,5 tirliun , dan biaya manfaat pelayanan kesehatan  sebesar Rp. 102.020.000.000.000.

Maka masih tersisa dana sangat besar yaitu Rp. 30.944.078.136.000.- ( hampir mendekati Rp. 31 triliun). Dan sudah pasti alur berpikirnya pemerintah tentu menggunakan kelebihan dana ini untuk menutupi defisit akumulasi dan yang sedang berjalan.

Kesimpulan

Jika pemerinah menerapkan model rawat inap kelas standar, dengan contoh hitungan besaran iuran yang sudah diuraikan diatas, maka memberikan  positive value sebagai berikut:

  • Rawat inap kelas standar, yang dimaknai dengan single class standard, adalah amanat UU SJSN, yang harus dirumuskan dalam Perpres JKN.
  • Memudahkan perhitungan untuk  besaran iuran yang hanya di bedakan antara PBI dan non PBI, tetapi semua peserta jika sakit dan memerlukan rawat inap, mendapatkan kelas yang sama yaitu kelas standar.
  • Prinsip gotong royong dan non diskriminatif diwujudkan nyata,  salah satu dengan mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan kelas standar bagi semua peserta ( PBI dan non PBI).
  • Memberikan kesempatan juga  kepada peserta yang menginginkan pelayanan rawat inap yang lebih baik dan menyenangkan (VIP),  untuk pindah kelas, dan hanya membayarkan selisih biaya secara mandiri atau  CoB dengan menggunakan asuransi private yang dimilikinya.
  • Karena hanya ada rawat inap kelas standar, maka tidak akan terjadi migrasi ke kelas III, sebagaimana terjadi pada model kelas I, II, dan III.
  •  Dapat dihitung cermat dan mudah untuk tidak terjadinya defisit, bahkan dengan iuran kelas standar  non PBI Rp. 60.000/POPB, . dan  PBI Rp. 42.000.-. masih tersedia dana cadangan Rp. 19,7 triliun yang dapat digunakan untuk meperbaiki paket Ina-CBGs, dan kapitasi  untuk mendapatkan mutu pelayanan yang lebih baik.
  • Peserta berpeluang untuk dapat menerima model kelas standar ini, karena bagi PBI juga untuk menaikkan harkat layanan rawat inap dari kelas III ke kelas standar yang tentu akan lebih baik. Diperhitungkan kelas standar ini mendekati karakter kelas II jika model triple class.
  • Selisih iuran PBI dan non PBI tidak lebar, hanya selisih Rp. 18 tibu, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Untuk model  rawat inap kelas I, II, dan III, saya tidak berkeinginan membuat kesimpulan. Biarlah pembaca yang umumnya sangat kritis untuk membuat kesimpulan sendiri, dengan mengacu berbagai analisis dan perhitungan yang saya lakukan. Dan belum tentu benar. Karena kebenaran itu milik Allah SWT.

Semoga bermanfaat.

Cibubur, 9 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun