Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perintah UU-SJSN: JKN untuk Rawat Inap Gunakan Kelas Standar, Bukan Kelas I, II dan III

9 September 2019   23:46 Diperbarui: 10 September 2019   00:03 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jika menggunakan kelas standar sebagai acuan maka Kemenkes harus membuat rumusannya untuk dimasukkan dalam Perpres.

Dengan demikian, jika draft Perpres JKN mendatang ini, yang  sedang  dirumuskan sebagai penyempurnaan dari Perpres 82/2018, untuk mengakomodir atas perubahan iuran DJS JKN untuk 2 tahun mendatang,  juga harus mencantumkan lingkup rawat inap kelas standar yang diamanatkan UU SJSN, sebagai single class standar. 

Dengan demikian  persoalan kenaikan iuran DJS JKN  dapat diformulasi ulang, yang lebih fair, proporsional, dan berkarakter prinsip-prinsip SJSN.

Dengan mengacu pada Pasal 23 ayat (5) UU SJSN, maka dalam Ketentuan Umum Pasal 1 draft Perpres JKN harus  memuat rumusan atau ketentuan umum tentang Rawat Inap Kelas Standar ( rumusannya di buat kemenkes).

Pada norma pasal-pasal terkait iuran dan manfaat, disebutkan bahwa untuk iuran hanya dikenal dua tarif iuran yaitu iuran untuk PBI dan iuran untuk non PBI,  yang besarnya dihitung sesuai dengan nilai keekonomian (aktuaria), tanpa memasukkan defisit klaim yang terjadi akumulasi sampai dengan tahun 2018.

Kenapa tidak dimasukkan, karena skema pembayarannya tidak boleh dibebankan pada iuran peserta, sebab bukan kesalahan peserta, tetapi karena kekeliruan kebijakan pemerintah dalam menetapkan besaran iuran PBI di awal program (2014). Secara jujur kita akui, walaupun tidak diungkapkan karena terkait kecilnya iuran PBI,   pemerintah sudah menambal defisit melalui PMN, dan skema lainnya.  

Demikian juga terjadinya adverse selection, bukanlah sepenuhnya kesalahan peserta, tetapi terjadinya informasi asimetris. Dan instrumen informasi itukan dimiliki oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan.  

Sederhananya peserta pada awal program JKN diluncurkan, peserta berbonodong-bondong ke RS, ingin membuktikan bahwa BPJS Kesehatan itu tidak bohong yang menyatakan semua penyakit yang ber indikasi medis dapat di layani di RS.

Persoalannya peserta mengabaikan pola pelayanan rujukan berjenjang ( disebabkan informasi asimetris). Peranan FKTP pada tahap awal tidak efektif sebagai Gate Keeper. Sebagai penapis pasien yang ingin dirujuk ke RS.  

Belakangan ini fungsi Gate Keeper untuk 144 jenis penyakit disebagian besar Puskesmas /Klinik sudah efektif. Walaupun untuk tindakan-tindakan medis tertentu masih lolos, seperti persalinan dengan sectio, yang seharusnya secara indikasi medis dapat melalui jalur normal.

Demikian juga dengan manfaat pelayanan kesehatan, dalam pasal ( norma) terkait dicantumkan bahwa hak peserta untuk rawat inap untuk PBI dan non PBI adalah sama yaitu di kelas standar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun