Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perintah UU-SJSN: JKN untuk Rawat Inap Gunakan Kelas Standar, Bukan Kelas I, II dan III

9 September 2019   23:46 Diperbarui: 10 September 2019   00:03 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Angka tersebut semakin besar jika pihak BPJS Kesehatan dapat mengenjot tunggakan sebesar Rp. 12 triliun. Bisa menjadi cadangan teknis yang juga diamanatkan dalam UU SJSN, serta untuk peningkatan paket manfaat Ina-CBGs, sehngga mutu pelayanan semakin baik.

Mari kita lihat hitungan potensi iuran yang diperoleh jika menggunakan model kelas I, II, dan III yang tidak ada diatur (diperintahkan dalam UU SJSN) yang diusulkan DJSN.  Detail hitungan sudah saya tulis dalam artikel saya berjudul " Kenaikan Iuran Dana Jaminan Sosial Berlebihan, Benarkah?", (baca; jurnalsocialsecurity.com)

Telah dihitung, jika menggunakan model tarif kelas I Rp. 120.000/POPB, dan kelas II, Rp. 75.000.-/POPB, dan kelas III, Rp. 42.000.-/POPB, maka total iuran yang diperoleh adalah Rp. 141.136.711.076.000.- ( 141 triliun, 136 miliar, 711 juta 76 ribu rupiah). 

Jika dikurangi dengan potensi tunggakan sebesar Rp. 12 triliun dan untuk operasional Rp. 4.5 triliun, dan biaya manfaat pelayanan kesehatan Rp.102.020.000.000.-, maka masih ada dana tersisa sebagai dana cadangan sebesar Rp. 22.616.711.076.000. ( jumlah yang cukup besar yang memang ditujukan untuk menutupi akumulasi dan defisit yang sedang berjalan)

Tidak jauh beda, antara usulan DJSN  dengan Kemenkeu (SMI). Bedanyanya Ibu SMI menaikkan kelas I, menjadi Rp. 160.000/POPB, dan kelas II , Rp. 110.000.-/POPB, dan kelas III, sama yaitu sebesar Rp. 42.000.-/POPB.

Dana iuran yang diperoleh dari usulan Ibu SMI,  total keseluruhan adalah  149.464.078.136.000. ( 149 triliun, 464 miliar, 78 juta, 136 ribu rupiah). Dikurangi dengan potensi menunggak Rp. 12 triliun dan biaya operasional sekitar Rp. 4,5 tirliun , dan biaya manfaat pelayanan kesehatan  sebesar Rp. 102.020.000.000.000.

Maka masih tersisa dana sangat besar yaitu Rp. 30.944.078.136.000.- ( hampir mendekati Rp. 31 triliun). Dan sudah pasti alur berpikirnya pemerintah tentu menggunakan kelebihan dana ini untuk menutupi defisit akumulasi dan yang sedang berjalan.

Kesimpulan

Jika pemerinah menerapkan model rawat inap kelas standar, dengan contoh hitungan besaran iuran yang sudah diuraikan diatas, maka memberikan  positive value sebagai berikut:

  • Rawat inap kelas standar, yang dimaknai dengan single class standard, adalah amanat UU SJSN, yang harus dirumuskan dalam Perpres JKN.
  • Memudahkan perhitungan untuk  besaran iuran yang hanya di bedakan antara PBI dan non PBI, tetapi semua peserta jika sakit dan memerlukan rawat inap, mendapatkan kelas yang sama yaitu kelas standar.
  • Prinsip gotong royong dan non diskriminatif diwujudkan nyata,  salah satu dengan mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan kelas standar bagi semua peserta ( PBI dan non PBI).
  • Memberikan kesempatan juga  kepada peserta yang menginginkan pelayanan rawat inap yang lebih baik dan menyenangkan (VIP),  untuk pindah kelas, dan hanya membayarkan selisih biaya secara mandiri atau  CoB dengan menggunakan asuransi private yang dimilikinya.
  • Karena hanya ada rawat inap kelas standar, maka tidak akan terjadi migrasi ke kelas III, sebagaimana terjadi pada model kelas I, II, dan III.
  •  Dapat dihitung cermat dan mudah untuk tidak terjadinya defisit, bahkan dengan iuran kelas standar  non PBI Rp. 60.000/POPB, . dan  PBI Rp. 42.000.-. masih tersedia dana cadangan Rp. 19,7 triliun yang dapat digunakan untuk meperbaiki paket Ina-CBGs, dan kapitasi  untuk mendapatkan mutu pelayanan yang lebih baik.
  • Peserta berpeluang untuk dapat menerima model kelas standar ini, karena bagi PBI juga untuk menaikkan harkat layanan rawat inap dari kelas III ke kelas standar yang tentu akan lebih baik. Diperhitungkan kelas standar ini mendekati karakter kelas II jika model triple class.
  • Selisih iuran PBI dan non PBI tidak lebar, hanya selisih Rp. 18 tibu, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Untuk model  rawat inap kelas I, II, dan III, saya tidak berkeinginan membuat kesimpulan. Biarlah pembaca yang umumnya sangat kritis untuk membuat kesimpulan sendiri, dengan mengacu berbagai analisis dan perhitungan yang saya lakukan. Dan belum tentu benar. Karena kebenaran itu milik Allah SWT.

Semoga bermanfaat.

Cibubur, 9 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun