Sungguh sifat manusia, sulit memaafkan seseorang yang telah menyakiti begitu saja. Hanya saja, perlu disadari menahan amarah tidak menyakiti orang lain, tetapi justru menyakiti diri sendiri.
Dampaknya seperti sudah disebutkan di atas. Mendatangkan sakit baik fisik maupun emosi, baik bagi diri sendiri maupun orang di sekitar.
Ketiga, memupuk sikap memaafkan dengan mengembangkan welas asih bagi pelaku. Dengan kata lain, bertindaklah untuk memaafkan.
Renungkan apakah tindakan itu karena niat jahat atau keadaan dalam kehidupan pelaku. Kita diajak untuk membingkai ulang masalah yang ada dengan cara baru. Melihat suatu persoalan dari sudut pandang berbeda.
Keempat, bebaskan diri dari penjara emosional. Lepaskan emosi yang berbahaya dan renungkan bagaimana Anda tumbuh dari pengalaman dan tindakan memaafkan itu.
Melihat sisi positif dari setiap persoalan. Memandang bahwa masalah serupa juga dialami orang lain, bahkan ada yang mengalami persoalan yang jauh lebih berat.
Akhirnya, memaafkan tidak hanya berguna bagi pertumbuhan afeksi, mental, dan diri seseorang, tetapi juga menjadi contoh terbaik bagi orang lain.
Bila seorang anak mendapatkan contoh ini dari keluarganya maka ia akan belajar dan tumbuh dengan memegang nilai tersebut. Begitu juga dalam konteks kehidupan yang lebih luas baik dalam organisasi, pemerintahan, maupun agama yang bisa berpengaruh pada kehidupan banyak orang.
Apakah pada Lebaran ini Anda sungguh menghabiskan waktu untuk melakukan hal ini?
Bila tidak, tak perlu khawatir. Sebab, memaafkan adalah perjuangan seumur hidup. Ia mesti terus diupayakan dan dihayati dalam setiap perjalanan hidup, baik kemarin, hari ini, maupun di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H