Bagaimana bila itu terjadi pada hal-hal besar seperti contoh Paus Yohanes Paulus II dan melibatkan orang yang sama sekali tidak dikenal, bahkan dianggap sebagai musuh yang jelas-jelas mengancam nyawa?
Memaafkan itu sungguh menantang. Terkadang kita salah memahami arti memaafkan itu.
Ada yang menganggap memaafkan berarti dengan sendirinya melupakan apa yang terjadi dan menyepelehkan masalah yang terjadi. Juga dianggap memberikan keuntungan kepada orang lain secara cuma-cuma.
Memaafkan sesungguhnya adalah memilih untuk melepaskan kemarahan, sakit hati, dan keinginan untuk balas dendam.
Tidak hanya itu. Justru memaafkan itu dengan sendirinya membantu diri sendiri. Membuat si pemberi maaf itu sembuh dari sedih, kecewa, benci, dan berganti menemukan kedamaian.
Bila tidak memaafkan, maka luka batin itu tidak akan tertutup, apalagi sembuh. Malah akan berpengaruh ke berbagai bidang kehidupan orang tersebut.
Beberapa dampak dari memendam amarah dan dendam antara lain: menjadi temperamental bahkan dengan orang-orang terdekat, sulit "move on" untuk membangun hubungan yang baru, malah bisa berdampak buruk bagi kesehatannya.
Sebuah penelitian tahun 2016, menyebutkan maaf sangat membantu mengurangi stres. Stres itu dipicu oleh kemarahan dan kebencian yang menstimulus tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin.
Berkurangnya stres dengan sendirinya menghindarkan diri dari ketegangan otot, masalah jantung, dan penurunan fungsi kekebalan tubuh,
Sebaliknya akan menggerek kualitas hidup. Kurangnya kecemasan, tidur lebih baik, kesehatan emosional lebih baik, dan empati terhadap orang lain semakin tebal.
Dari sebuah pengalaman memaafkan kita akan belajar dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.