Bulan Ramadan tahun ini sungguh istimewa. Meski menjadi rutinitas tahunan yang tak terlewatkan, penyelenggaraan tahun ini terjadi setelah dan di tengah perayaan penting dalam sejumlah agama lain.
1 Ramadan 1444 Hijriah jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023. Sehari sebelumnya penganut agama Hindu tenggelam dalam keheningan total, meninggalkan aktivitas duniawi untuk mengambil waktu khusus bermeditasi. Itulah momen yang kita kenal sebagai Hari Raya Nyepi yang tahun ini merupakan peringatan Tahun Baru Saka 1945.
Beberapa waktu sebelum itu, tepatnya sejak 22 Februari 2023, umat Katolik memasuki masa Prapaskah. Dimulai pada Rabu Abu dan dipanggil untuk menjalani kewajiban berpuasa selama 40.
Sejak akhir Maret, kedua agama itu sama-sama terlibat dalam masa ret-ret agung. Umat Katolik akan merayakan puncak peringatan wafat dan kebangkitan Kristus pada 9 April nanti, dua pekan sebelum Lebaran.
Puncak perjalanan untuk merenung dan menjalani kewajiban agama selama sekian waktu. Masa-masa penuh ujian untuk kembali mengisi diri dengan kesegaran rohani.
Paus Fransiskus, dalam pesannya meyambut Masa Prapaskah, menggariskan makna Prapaskah bagi umat Katolik. Di antaranya sebagai kesempatan mendaki "gunung yang tinggi" untuk menjalani pengalaman khusus tentang pengolahan rohani (askese) sebagai umat Allah yang kudus.
Mengambil contoh peristiwa Yesus di Gunung Tabor yang sengaja membawa serta tiga murid sebagai saksi peristiwa unik. Sesungguhnya, demikian Paus Fransiksus kehadiran para murid itu adalah bagian dari upaya untuk membagikan pengalaman kasih karunia.
Selanjutnya, pengalaman itu dibagikan, bukan dipendam dan dialami sendirian. "Dia ingin pengalaman kasih karunia itu dibagikan, bukan sendirian, sama seperti seluruh hidup iman kita adalah pengalaman yang dibagikan," tegas Paus Fransiskus melansir https://www.dokpenkwi.org.
Mengelola Syahwat
Masing-masing orang tentu memaknai setiap peristiwa iman itu secara unik. Dari seruan dan ajaran yang sudah digariskan, setiap insan akan menerjemahkannya secara khas dan praktis dalam hidup sehari-hari.
Seperti umat Katolik yang diwajibkan berpantang dan berpuasa selama masa Prapaskah, umat Islam pun diharuskan berpuasa sebagai salah satu rukun Islam.
Ajaran ini tertuang dalam Al-Qur'an pada Surat Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Buku "Rahasia dan Keutamaan Puasa Sunah" Â (2019) karya Abdul Wahid menjelaskan puasa secara leksikal. Puasa berasa dari kata "imsak" yang artinya menahan dan "kalf" yang berarti mencegah dari sesuatu.
Dari situ bisa dipahami pengertian sederhana puasa sebagai "sesuatu yang sifatnya menahan dan mencetah dalam bentuk apa pun, termasuk untuk tidak makan dan minum secara disengaja."
Dalam bahasa Arab, puasa disebut "shaum" atau "shiyam." Artinya pun tak jauh berbeda. Menahan diri atau berpantang dari perbuatan tertentu. Jadi sedikit diperluas dengan tidak hanya makan dan minum, tetapi juga dari perbuatan tertentu.
Kemudian diperdalam seturut ajaran para ulama sebagai perbuatan menahan diri dari perbuataan "fi'li" yang berupa dua macam syahwat yakni syahwat perut (menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk ke dalam perut) dan syahwat kemaluan (seksual).
Selama masa puasa kedua syahwat itu dikelola. Tidak hanya soal makanan, tetapi juga mengacu pada berbagai keinginan material yang mudah menjatuhkan orang dalam berbagai sikap tak terpuji seperti iri, dengki, pamer, rakus, benci, narsis, hingga tak segan menggunakan berbagai cara yang tidak pantas seperti menipu, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang.
Berbagai pemberitaan yang santer terdengar belakangan ini terkait penyalahgunaan jabatan untuk mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri adalah salah satu contoh buruk yang tidak perlu ditiru.
Sementara itu, syahwat kemaluan pada masa puasa perlu dikendalikan dan diarahkan pada maksud sesungguhnya. Bukan sebagai sumber emosi, amarah, maksiat dan dosa, tetapi ditujukan untuk menunaikan dua hikmah mulia yakni prokreasi (menghasilkan keturunan) dan mendapatkan pengalama tersendiri yang bisa dianalogikan dengan kenikmatan akhirat.
Sebagai sesuatu yang terberi, syahwat itu tak terhindarkan. Namun, di tengah kerapuhan sebagai makhluk yang lemah, manusia tetap punya siasat tersendiri. Bulan Ramadan adalah momentum bersiasat agar tidak sampai diperbudak syahwat.
Sejumlah siasat bisa dilakukan.
Pertama, memilih kegiatan produktif. Fokus pada aktivitas yang mendatangkan keuntungan ketimbang larut apalagi sampai hanyut dalam tindakan yang membuat diri terpenjara dalam rasa malas. Misalnya, malas gerak, apalagi membuang waktu seharian dengan tidur dan bermalas-malasan.
Kegiatan produktif bisa berupa membaca buku ketimbang membuka sosial media, membersihkan kamar, belajar, bekerja, hingga berolahraga ringan.
Kedua, memaksimalkan waktu istirahat terutama pada malam hari agar Sahur tak sampai terlewat atau dilakukan dengan tergesa-gesa yang akan mempengaruhi semangat hidup sepanjang hari.
Jadwal tidur malam perlu diatur agar tubuh bisa menikmati istirahat sesuai anjuran kesehatan.
Ketiga, untuk menghindarkan diri dari godaan nafsu, memilih membangun komunikasi produktif dengan lingkungan, komunitas, atau teman untuk menjalankan berbagai aktivitas seperti interaksi, diskusi, hingga kegiatan positif lainnya seperti mengikuti ceramah, menyiapkan makanan untuk berbagi, dan sebagainya.
Keempat, alih-alih membuang setiap kesempatan untuk sekadar membunuh waktu, baiklah membuat rencana untuk memanfaatkan Ramadan. Target itu bisa berupa khatam Al Quran, mengaji, shalat, zakat, atau yang terkait program hidup rohani lainnya, juga jasmani.
Bulan pengampunan
Cara agar tidak sampai jatuh dalam kuasa Syahwat adalah selain pengendalian diri yang bersumber dari upaya pribadi, tetapi juga dari pancaran hikmah dan petunjuk yang ada dalam Alquran.
Momen Ramadan adalah kesempatan untuk menimba petunjuk dan kebijaksanaan sepenuh-penuhnya. Alquran diturunkan Nabi Muhammad SAW di bulan istimewa ini sebagai petujuk dan pedoman hidup yang tidak hanya diimani tetapi juga dijalankan.
Selama Ramadan itu ada momen-momen khusus yang sangat dinantikan. Malam Lailatur Qatar. Satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Untuk bisa sampai ke sana, maka harus menjalankan ibadah dan amalan mulai dari berpuasa, tilawah, tadarus Alquran, berzikir, hingga amal ma'ruf lainnya baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Jelas untuk mendapatkan malam istimewa itu tidak tanpa ongkos tertentu. Ada upaya yang harus dijalankan dan perjuangan yang harus digelorakan.
Pada waktu bersamaan perlu ada kerelaan hati untuk memohon ampun dari segala salah dan dosa.
Rasulullah SAW pernah bersabda demikian. "Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena keimanan dan hanya mengharap pahala, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. al-Bukhari).
Inilah bulan yang tepat untuk menyukikan hati. Menjadi makhluk yang lahir secara baru. Janji pengampunan dari Allah SWT untuk membukakan pintu surga dan menutup pintu neraka sehingga para penggoda seperti setean akan dibelenggu.
"Jika datang bulan Ramadan pintu-pintu syurga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bila Allah SWT telah memberi janji itu maka sebagai sesama pemeluk teguh pantaslah untuk membuka pintu ampun bagi sesamanya. Bukankah arah beriman kita tidak hanya tegak lurus (vertikal) tetapi juga menyamping (horizontal)?
Selamat menyelami makna Ramadan kawan-kawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H