Seperti umat Katolik yang diwajibkan berpantang dan berpuasa selama masa Prapaskah, umat Islam pun diharuskan berpuasa sebagai salah satu rukun Islam.
Ajaran ini tertuang dalam Al-Qur'an pada Surat Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Buku "Rahasia dan Keutamaan Puasa Sunah" Â (2019) karya Abdul Wahid menjelaskan puasa secara leksikal. Puasa berasa dari kata "imsak" yang artinya menahan dan "kalf" yang berarti mencegah dari sesuatu.
Dari situ bisa dipahami pengertian sederhana puasa sebagai "sesuatu yang sifatnya menahan dan mencetah dalam bentuk apa pun, termasuk untuk tidak makan dan minum secara disengaja."
Dalam bahasa Arab, puasa disebut "shaum" atau "shiyam." Artinya pun tak jauh berbeda. Menahan diri atau berpantang dari perbuatan tertentu. Jadi sedikit diperluas dengan tidak hanya makan dan minum, tetapi juga dari perbuatan tertentu.
Kemudian diperdalam seturut ajaran para ulama sebagai perbuatan menahan diri dari perbuataan "fi'li" yang berupa dua macam syahwat yakni syahwat perut (menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk ke dalam perut) dan syahwat kemaluan (seksual).
Selama masa puasa kedua syahwat itu dikelola. Tidak hanya soal makanan, tetapi juga mengacu pada berbagai keinginan material yang mudah menjatuhkan orang dalam berbagai sikap tak terpuji seperti iri, dengki, pamer, rakus, benci, narsis, hingga tak segan menggunakan berbagai cara yang tidak pantas seperti menipu, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang.
Berbagai pemberitaan yang santer terdengar belakangan ini terkait penyalahgunaan jabatan untuk mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri adalah salah satu contoh buruk yang tidak perlu ditiru.
Sementara itu, syahwat kemaluan pada masa puasa perlu dikendalikan dan diarahkan pada maksud sesungguhnya. Bukan sebagai sumber emosi, amarah, maksiat dan dosa, tetapi ditujukan untuk menunaikan dua hikmah mulia yakni prokreasi (menghasilkan keturunan) dan mendapatkan pengalama tersendiri yang bisa dianalogikan dengan kenikmatan akhirat.
Sebagai sesuatu yang terberi, syahwat itu tak terhindarkan. Namun, di tengah kerapuhan sebagai makhluk yang lemah, manusia tetap punya siasat tersendiri. Bulan Ramadan adalah momentum bersiasat agar tidak sampai diperbudak syahwat.
Sejumlah siasat bisa dilakukan.