Entah berapa banyak uang sudah dikeluarkan dan upaya telah dilakukan untuk membawa Paris Saint-Germain (PSG) terbang tinggi. Namun, mimpi besar menjadi juara Eropa masih harus bertepuk sebelah tangan.
Les Parisien dalam upaya yang ke-11 secara beruntun harus menemui jalan buntu. Juara Liga Champions masih sebatas harapan meski "raja" Ligue 1 ini sudah dibekali dengan amunisi terbaik.
Adalah Bayern Muenchen yang memupus impian pemilik 10 trofi Liga Utama Prancis yang begitu digdaya dalam satu dekade terakhir untuk setidaknya melangkah lebih jauh kali ini.
PSG tersandung lagi di leg kedua babak 16 besar. Gagal memaksimalkan laga kandang tak mampu ditebus saat bertandang ke Allianz Arena, Kamis (9/3/2023) dini hari WIB.
Di hadapan pendukung sendiri yang memadati Parc des Princes, PSG menyerah satu gol tanpa balas. Melakoni laga tandang dalam situasi yang lebih berat, klub ibu kota Prancis itu lebih menderita. Kalah 0-2 otomatis tiket perempat final menjadi milik Die Roten dengan keunggulan agregat yang cukup mencolok, 3-0.
Kita tentu bertanya. Apa yang kurang atau salah dari PSG? Tim itu punya dua pemain termahal sepanjang masa: Neymar yang cedera di laga ini dan Kylian Mbappe.
Tak hanya itu. PSG juga diperkuat pemain yang diklaim terhebat sepanjang sejarah sepak bola. Siapa lagi kalau bukan Lionel Messi.
Sayangnya, para pemain jempolan dengan rejam jejak mentereng itu justru tak berkutik. Tidak ada gol yang tercipta dalam dua kali 90 menit. Nir-gol 180 menit untuk sebuah tim semewah itu rasa-rasanya sulit diterima. Itulah kenyataan yang akhirnya harus diterima.
Bayern membuka keunggulan tepat satu jam melalui Eric Maxim Choupo-Moting. Striker 33 tahun terpaksa melukai sang mantan tersebab kesalahan fatal Marco Veratti.
Eric yang berdarah Jerman dan Kamerun bisa saja lebih awal mencatatkan namanya di papan skor seandainya tandukannya di menit ke-52 tidak dianulir VAR. Bila Thomas Muller tidak terjebak offside maka penderitaan PSG dimulai lebih awal.
Alih-alih bangkit mengejar ketertinggalan, gawang Gianluigi Donnarumma justru kembali terkoyak. Serge Gnabry yang belum lama masuk menggantikan Kingsely Coman memberikan pukulan pamungkas satu menit sebelum waktu normal usai. Gelandang timnas Jerman itu menuntaskan umpan terobosan pemain yang baru saja "dibuang" Manchester City, Joao Cancelo.
PSG sebenarnya bisa saja pulang dengan kekalahan lebih menyakitkan. Beruntung armada Christophe Galtier itu diselamatkan oleh VAR dan bendera offside sehingga gol Choupo-Moting dan upaya Sadio Mane tidak diakumulasi.
Bila tidak, maka wajah para bintang PSG bakal semakin merah padam dan mulut Galtier semakin bungkam, tak tahu harus berdalih apa.
Kunci Bayern
Statistik keseluruhan mengunggulkan tim tamu dari sisi "ball possession." Penguasaan bola Bayern justru lebih inferior yakni 45 persen berbanding 55 persen.
Namun, FC Hollywood justru tampil begitu tenang, efektif dan efisien. Mereka mampu mencatatkan peluang lebih banyak, baik "shots", "shots on target", hingga yang paling utama: gol.
Tuan rumah mampu melepaskan 12 percobaan dengan lima di antaranya tepat sasaran. PSG mendapat 10 kesempatan dengan empat berstatus "on target."
Dari sisi ketenangan, para pemain tuan rumah patut diacungi jempol. Jelas tidak ada satu pun tim yang tidak merasa gugup berhadapan dengan lawan yang memiliki sumber daya semewah PSG.
Perasaan itu kemudian dikelola dengan begitu baik hingga membuat serangan sporadis Mbappe dan Messi seperti tak bertaji.
Kedisiplinan Josip Stanisic, Dayot Upamecano, Matthijs de Ligt dan Alphonso Davies sungguh memberi ketenangan pada Yann Sommer yang berada di bawah mistar gawang Muenchen.
Tercatat hanya satu kesalahan berisiko yang dilakukan tuan rumah. Itu terjadi ketika Yann Sommer salah memberikan bola kepada Achraf Hakimi. Namun, De Light dengan cekatan melakukan intervensi.
Momen itu sesungguhnya menjadi titik penting bagi PSG untuk merebut momentum demi mengguratkan cerita "comeback" yang manis. Sayangnya, penyelesaian Vitinha begitu lemah. Kesempatan emas pun menguap sia-sia. Apakah ini soal mental?
Begitu juga Leon Goretzka dan Joshua Kimmich tidak memberikan ruang bagi para gelandang PSG untuk berkreasi. Muller, Jamal Musiala, hingga Choupo-Moting dengan jitu mencari ruang untuk melukai PSG.
Sebaliknya, justru para pemain tengah PSG terlihat tak bisa menguasai keadaan dengan kesalahan besar Verratti yang harus dibayar mahal.
Kemudian, perubahan yang dilakukan Julian Nagelsmann terbukti jitu. Pergantian dengan memasukan Gnabry, Mane, Cancelo, hingga Sane mampu memberikan dampak. Meski untuk itu Nagelsmann harus mengorbankan Muller dan Jamal Musiala.
Sekali lagi, kehadiran Cancelo yang berstatus pinjaman langsung berdampak. Ia membantu Gnabry yang baru masuk tiga menit sebelumnya mencetak gol pemungkas.
Masa depan proyek PSG
Sudah lebih dari 10 kali mencoba dengan hasil miris yakni lima dari tujuh musim terakhir harus angkat koper di babak 16 besar.
Pencapaian terbaik adalah perempat final dari empat musim pertama ketika klub itu berada di tangan pemilik baru.
Dana miliaran paun sudah digelontorkan pemilik baru sejak 2012 dengan hasilnya adalah delapan gelar Ligue 1 dan 12 piala domestik.
Begitu juga kinerja Galtier belum sesuai ekspektasi. Hasil dari menggabungkan Messi, Neymar, dan Mbappe dalam satu tim tidak  seperti membalikkan telapak tangan.
Mantan playmaker Chelsea, Joe Cole, melansir bbc.com, lugas mengatakan proyek PSG dirancang untuk menguasai Eropa. Namun, kini terlihat jauh panggang dari api.
"Proyek Paris St-Germain dibangun untuk memenangkan Liga Champions dan mereka telah jauh dari itu. Pada akhirnya tampaknya akan gagal."
Lantas, bagaimana masa depan proyek prestisius PSG? Masih pantas mengandalkan trio MNM? Apakah sudah saatnya untuk merombak dan memulai lembaran baru?
Christophe Galtier tampaknya hanya bisa pasrah. Sambil mengakui ini sebagai kekecewaan besar, ia pun tawakal akan apa yang akan terjadi, termasuk atas dirinya sendiri.
Mbappe yang begitu cemerlang di level tim nasional dan telah menjadi pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah klub belum juga mampu buktikan diri di Liga Champions.
Ia belum juga merasakan manisnya "Si Kuping Besar." Usianya baru 24 tahun sehingga masih punya waktu. Apakah ia harus tetap bertahan untuk mewujudkan impian itu? Atau meninggalkan kemapanan di Paris adalah jalan menuju pembuktian?
Messi yang memenangi Piala Dunia 2022 belum juga perpanjang kontrak. Sementara usianya sudah 35 tahun dan terlihat begitu sulit untuk mengulangi kejayaan di Barcelona.
Apalagi Neymar. Pemain Brasil 31 tahun yang memecah rekor pemain termalah dunia saat dibajak dari Barcelona selalu diusik cedera. Ia pun harus mengakhiri musim ini lebih cepat lantaran cedera lutut yang mengharuskannya naik meja operasi.
Sepertinya anjuran Cole untuk mengubah paradigma PSG patut diperhitungkan. Membangun kekuatan dengan  menghargai proses serta mengandalkan talenta-talenta lokal Prancis yang sudah terbukti kualitasnya.
PSG harus punya identitas tersendiri, tidak menjadi klub yang dibangun tanpa akar yang kemudian justru mendatangkan luka yang makin dalam.Â
"Mereka telah membeli beberapa pemain terbaik dalam 20 tahun terakhir. Para pemain muda Prancis yang tersebar di seluruh Eropa dapat melakukan apa yang dilakukan para pemain ini dengan seperempat biaya dengan identitas yang terhubung dengan para penggemar."
Apakah Anda sependapat dengan Cole?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H