Tentu, kebangkitan ini tidak lepas dari kualitas lain yang dimilikinya. Son adalah pemain dengan karakter dan mental yang kuat.
Ketika sekian banyak pertandingan hanya berakhir dengan kekecewaan, ia tak patah arang. Saat sang pelatih mulai kehilangan simpati, ia tak putus asa.
Tidak semua pemain, ketika dihujani kritik bertubi-tubi dan mulai dikirim ke bangku cadangan, bisa mengatasi tekanan untuk tetap memelihara semangat dan tekad untuk menampilkan permainan terbaik.
Justru saat seorang pemain besar yang sebelumnya selalu dipuja mulai menjadi pusat sorotan dan terlempar ke bangku cadangan, permainannya semakin menurun.
Ternyata Son tidak. Ia adalah pemain yang tidak hanya istimewa secara skill dan teknik, sikapnya pun terpuji. Saat penampilannya tengah terpuruk, harapannya tak ikut padam.
Ada apa dengan Leicester?
Selain cerita manis tentang Son, ada kenyataan pahit yang harus diterima Leicester. Armada Brendan Rodgers itu bergerak berlawanan dengan Spurs.
Tim tersebut menjadi lumbung gol lawan di awal musim. Sebelum dipecundangi Spurs 2-6, Leicester menelan kekalahan dengan skor tak kalah mencolok, 2-4, dan 2-5. Â Mereka sudah enam kali kalah beruntun. Secara keseluruhan gawang tim yang bermarkas di King Power Stadium itu sudah kebobolan 22 gol.
Bila ditarik lebih jauh, Leicester, seperti data dari BBC.com, hanya mampu mengukir dua "clean sheet" dalam 19 laga dan kebobolan 25 gol.
Tidak ada tim lain yang menorehkan pencapaian seminor itu. Tidak juga tim-tim sekelas Nottingham Forest atau West Ham United.
Start yang begitu miris ini tidak lepas dari sejumlah kekurangan mendasar yang terlihat di tubuh Leicester. Pertahanan mereka sangat rapuh.