Apa yang akan terjadi pada seorang pemain yang menjalani awal musim yang berat setelah musim sebelumnya menjadi pemain tersubur dan diganjar Sepatu Emas?
Apa yang terjadi ketika seorang pemain mulai kehilangan kepercayaan, ketika bangku cadangan mulai memanggil dan pesimisme mulai mengemuka dari para penggemar?
Son Heung-min mengalami awal musim yang sulit. Paceklik gol yang beriringan dengan performa di lapangan pertandingan yang buruk. Pemain kebanggaan warga Korea Selatan ini tak mampu mencetak satu gol pun setelah delapan laga berjalan.
Pemain 30 tahun ini bahkan menjadi sasaran kritik usai timnya dipermalukan Sporting CP di matchday kedua fase Grup D Liga Champions 2022/2023. Bertandang ke Stadion Jose Alvalade, Lisboa, Rabu (14/9/2022) dini hari WIB, The Lyliwhites dipecundangi klub Portugal itu dua gol tanpa balas.
Son bermain jauh di bawah penampilan terbaiknya. Ia hanya bisa melepas satu umpan kunci dan dua kali dribble sukses. Pemain ini kehilangan sentuhan terbaik dan tak terlihat tembakan akuratnya.
Bermain 72 menit, ia 14 kali kehilangan bola. Biasanya, pemain lawan akan kerepotan untuk mengambil bola dari kakinya. Tak pelak, pelatih Antonio Conte hanya memberinya waktu bermain 72 menit sebelum digantikan Dejan Kulusevski.
Buntut dari hasil minor itu, Son "dihukum" saat menjamu Leicester City di pekan kedelapan Liga Premier Inggris 2022/2023. Bermain di hadapan pendukung sendiri di Tottenham Hotspur Stadium, Sabtu (18/9/2022) malam WIB, tak ada namanya dalam daftar staring line-up.
Conte sengaja menepikannya. Sebagai gantinya, pelatih asal Italia itu menurunkan rekrutan anyar dari Everton, Richarlison untuk mendampingi Dejan Kulusevsi dan Harry Kane dalam formasi 3-4-2-1.
Apa yang kemudian terjadi? Terlihat pemain itu hanya bisa melongo dari pinggir lapangan. Tertangkap kamera sejumlah momen yang menunjukkan pemain itu larut dalam kegundahan.
Gundah gulana yang oleh para fan dianggap sebagai sesuatu yang pantas ia terima. Akhir masa keemasannya dinilai mulai mendekat seiring usianya yang sudah kepala tiga.
13 menit krusial
Apakah Son adalah pemain yang gampang larut apalagi hanyut dalam keterpurukan? Apakah menjadi pemain cadangan yang sangat sedikit mengisi lembaran kariernya adalah pertanda buruk baginya?
Tidak. Sekali lagi, tidak. Ketika ia masuk menggantikan Richarlison di menit ke-59, Son mulai menunjukkan bahwa berbagai prediksi itu hanyalah isapan jempol belaka.
Kita bisa melihat bagaimana Son berjuang membuktikan kapasitasnya yang sempat redup. Kita dipertontonkan versi terbaik Son yang hilang sejak awal musim.
Son menjadi pemain yang paling bersinar. Ia mencetak tiga dari enam gol kemenangan tuan rumah. Meski baru masuk di babak kedua, rapor permainannya paling tinggi dibanding yang lain. Ia pun diganjari predikat "man of the match."
Mari kita lihat bagaimana Son berkontribusi. Son menjadi bagian dari kisah kebangkitan tuan rumah yang lebih dahulu tertinggal di menit keenam, setelah tendangan penalti kedua Youri Tielemans berhasil menggetarkan gawang Hugo Lloris.
Gol ini disebabkan oleh pelanggaran Davinson Sanchez pada James Justin di area terlarang. Tielemans sempat gagal pada eksekusi pertama. Tendangannya berhasil ditepis kiper senior Prancis itu.
Beruntung, wasit Simon Hooper sependapat dengan VAR yang menilai penjaga gawang lebih dahulu bergerak sebelum Tielemans menendang. Tielemans tak membuang kesempatan pada percobaan kedua.
Spurs langsung bereaksi. Dua menit berselang, Harry Kane mengkonversi umpan silang Kulusevski dengan tandukan mematikan untuk melengkapi pundi-pundi golnya ke gawang The Foxes menjadi 20 dari 19 pertemuan.
Tuan rumah yang kalah dalam penguasaan bola justru mampu membalikkan keadaan. Eric Dier berhasil menuntaskan umpan tendangan pojok yang dilepaskan Ivan Perisic. Gol dari bola mati yang menunjukkan titik lemah tim tamu.
Leicester membuat skor kembali sama kuat jelang babak pertama usai. James Maddison melepaskan tembakan "first time" akurat dari dalam kotak penalti, meneruskan umpan silang Timothy Castagne.
Danny Ward, kiper Leicester tentu tidak berharap gawangnya kembali bobol. Namun, babak kedua belum lama berjalan, giliran Rodrigo Bentancur yang mencatatkan namanya di papan skor, memanfaatkan kesalahan Wilfried Ndidi yang tak mampu mengamankan bola di kakinya.
Son pun mulai menunjukkan aksinya. Sepakan jarak jauh di menit ke-73 menjadi awal dari 13 menit krusial, permulaan dari kisah "hat-trick"nya di laga ini.
Danny Ward hanya bisa melongo tendangan Son bersarang di gawangnya. Selanjutnya, di menit ke-84, Son kembali mempertonkan kecakapannya dalam melepaskan tendangan. Sepakan kaki kiri melengkung indah dari luar kotak penalti hingga kembali memaksa Ward memungut bola dari dalam gawangny.
Dua menit kemudian, Son kembali membuat para penggemar Spurs bersorak. Kali ini melalui kerja sama jarak dekat dengan Pierre-Emile Hojbjerg. Asisten wasit sempat mengangkat bendera, tanda offside.
Bila gol pembuka Leicester tak lepas dari intervensi VAR, Spurs pun mendapat keuntungan dari teknologi tersebut untuk menutup pesta gol mereka. Wasit menganulir keputusan sang asisten. Gol itu disahkan.
Gol pamungkas bagi Spurs dengan trigol dari Son. Kemenangan 6-2 bagi Spurs yang menandai "comeback" Son setelah paceklik gol di tujuh laga awal Liga Inggris dan dua pertandingan pembuka musim baru Liga Champions Eropa.
Belajar dari Son
Sejak mulai mengakhiri masa-masa krisis dengan gol pertamanya, Son begitu gembira. Ekspresi lega yang disambut antusias oleh rekan setim.
Ia semakin tak bisa menahan diri untuk meluapkan kegembiraan ketika mencetak dua gol tambahan. Acungan tiga jari ia pertontonkan kepada publik usai gol ketiganya untuk memastikan Spurs memetik poin sempurna di lima pertandingan, belum terkalahkan, dan kini mengoleksi 17 poin dari tujuh laga.
Spurs hanya kalah selisih gol dari Manchester City di puncak klasemen sementara. Situasi yang berbanding terbalik dengan Leicester yang belum juga mampu meraih kemenangan pertama sehingga harus puas mendekam di dasar klasemen dengan raihan satu poin.
Tak lupa Son mempertontonkan selebrasi khasnya dengan membentuk jari-jarinya seperti tengah memotret itu. Ekspresi yang seakan menunjukkan bahwa ia sudah kembali. Conte tak perlu risau lagi. Â Para penggemar perlu segera menarik kembali keraguan mereka.
Tentu, kebangkitan ini tidak lepas dari kualitas lain yang dimilikinya. Son adalah pemain dengan karakter dan mental yang kuat.
Ketika sekian banyak pertandingan hanya berakhir dengan kekecewaan, ia tak patah arang. Saat sang pelatih mulai kehilangan simpati, ia tak putus asa.
Tidak semua pemain, ketika dihujani kritik bertubi-tubi dan mulai dikirim ke bangku cadangan, bisa mengatasi tekanan untuk tetap memelihara semangat dan tekad untuk menampilkan permainan terbaik.
Justru saat seorang pemain besar yang sebelumnya selalu dipuja mulai menjadi pusat sorotan dan terlempar ke bangku cadangan, permainannya semakin menurun.
Ternyata Son tidak. Ia adalah pemain yang tidak hanya istimewa secara skill dan teknik, sikapnya pun terpuji. Saat penampilannya tengah terpuruk, harapannya tak ikut padam.
Ada apa dengan Leicester?
Selain cerita manis tentang Son, ada kenyataan pahit yang harus diterima Leicester. Armada Brendan Rodgers itu bergerak berlawanan dengan Spurs.
Tim tersebut menjadi lumbung gol lawan di awal musim. Sebelum dipecundangi Spurs 2-6, Leicester menelan kekalahan dengan skor tak kalah mencolok, 2-4, dan 2-5. Â Mereka sudah enam kali kalah beruntun. Secara keseluruhan gawang tim yang bermarkas di King Power Stadium itu sudah kebobolan 22 gol.
Bila ditarik lebih jauh, Leicester, seperti data dari BBC.com, hanya mampu mengukir dua "clean sheet" dalam 19 laga dan kebobolan 25 gol.
Tidak ada tim lain yang menorehkan pencapaian seminor itu. Tidak juga tim-tim sekelas Nottingham Forest atau West Ham United.
Start yang begitu miris ini tidak lepas dari sejumlah kekurangan mendasar yang terlihat di tubuh Leicester. Pertahanan mereka sangat rapuh.
Tim ini seperti kehilangan kemampuan untuk mengantisipasi bola-bola mati. Sebagian besar gol lawan terjadi melalui skema tersebut.
Brendan Rodgers  yang mengalami kekalahan liga terpanjang dalam kariernya harus melakukan perubahan, baik secara individu maupun tim.
Menyuntikkan kembali kepercayaan diri kepada para pemain sebab sejumlah pemain kerap kebingungan dan banyak melakukan kesalahan elementer yang tidak perlu.
Para pemain yang baru diboyong seperti Wout Faes juga harus dipacu agar bisa segera mengakhiri masa-masa adaptasi yang buruk.
Tidak hanya itu. Rodgers harus lebih meyakinkan para pemain berpengaruh seperti Maddison untuk lebih memaksimalkan peluang.
Menghadapi Spurs, Leicester sebenarnya unggul "ball possession" keseluruhan yakni 56% berbanding 44%. Leicester juga bisa melepas 19 "shots" dan 7 di antaranya "on target." Sayangnya, hanya dua yang berbuah manis.
Spurs yang memiliki 16 percobaan dengan 11 mengenai sasaran, malah bisa berpesta enam gol. Jelas, ada yang kurang dari para pemain yang sudah diberi tanggung jawab lebih untuk mencetak gol.
Semoga Leicester segera bangkit bila tidak ingin terus menanggung malu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H