Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saya Bersyukur Pernah di Sekolah Berasrama

11 September 2022   05:54 Diperbarui: 11 September 2022   22:00 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut Seminari St.Yohanes Berkhmans Mataloko,  sekolah berasrama legendaris di Ngada, Flores, NTT: foto Emanuel Susento

Kami semua adalah anak laki-laki. Hari-hari kami adalah pertemuan antar sesama pria, baik di ruang kelas, lapangan olahraga, ruang rekreasi, maupun di kamar tidur.

Namun, tidak berarti kami anti terhadap kaum wanita. Kami juga memiliki kesempatan berinteraksi dengan para guru perempuan, karyawati, juga bisa berkorespondensi dengan lawan jenis. Sama halnya seperti kami memiliki kesempatan untuk bergaul dengan siswa-siswi dari sekolah lain dalam berbagai kesempatan seperti pertandingan persahabatan dan kegiatan lainnya.

Memang patut diakui, porsi relasi dengan lawan jenis begitu terbatas. Aspek afeksi dan psikoseksual kurang ditantang. Tapi itu tidak selalu berarti kami kemudian berkembang menjadi manusia "abnormal."

Di sejumlah sekolah berasrama, kehidupan lebih heterogen. Di ruang kelas bisa ditemui siswa laki-laki dan perempuan. Tidak hanya dalam urusan intrakurikuler, dalam kegiatan ekstrakurikuler pun kehidupan antar dua jenis kelamin itu lebih berbaur. Namun, tetap ada garis batas yang jelas.

Sesungguhnya masih banyak hal bisa saya ceritakan. Hal terakhir yang perlu saya singgung adalah perbandingan siswa dan pembina. Formandi dan formator.

Sepengalaman saya, rasio keduanya masih belum seimbang. Seorang "bapak" asrama hanya dibantu beberapa formator harus memikul tanggung jawab besar.

Mereka dituntut mengawasi, menuntun, mengarahkan, memberikan pelajaran, hingga mendampingi siswa yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal setiap siswa memiliki kecenderungan dan tingkat perkembangan dalam setiap aspek, berbeda-beda. Masing-masing perlu dituntun dengan pendekatan berbeda.

Jelas itu pekerjaan sangat berat dan melelahkan. Tidak mengherankan bila banyak hal kemudian luput dari pengamatan dan pengawasan mereka.

Sekalipun seorang siswa terlihat patuh pada aturan dan menampilkan diri sebagai sosok yang taat, namun tetap dibutuhkan sentuhan personal. Apalagi para siswa yang terang-terangan melenceng dari rel.

Hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di saat para pembina lengah. Para siswa bisa secara sengaja memanfaatkan keadaan itu.

Menjadi guru dan pembina adalah pekerjaan luhur. Sekaligus menantang. Tidak semua orang mampu dan mau bekerja di sekolah berasrama. Dibutuhkan kerelaan dan kerendahan hati yang luar biasa. Juga fisik yang prima. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun