Â
Sepak bola itu universal. Ia bisa dinikmati dan dimainkan oleh siapa saja. Tidak ada batasan usia, jenis kelamin, kelompok sosial dan budaya, juga kondisi fisik.
Kaum disabilitas pun bisa menjadi bagian dari permainan itu. Namun, sepak bola amputasi belum dikenal luas. Ia masih kalah pamor dari sepak bola untuk kaum non-disabilitas, hampir dalam segala aspek, mulai dari organisasi, turnamen, perhatian, hingga animo.
Kesuksesan tim nasional amputasi Indonesia belakangan ini sejatinya membuka mata banyak orang. Ya, berada di bawah naungan Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) atau Indonesia Amputee Fotball (INAF) yang penuh keterbatasan, mereka berhasil mengukir sejarah.
Mereka lolos babak kualifikasi Piala Dunia Amputasi 2022. Membaca berbagai pemberitaan tentang perjuangan PSAI dan timnas amputasi sungguh membuat hati kita menjerit. Dalam serba kekurangan, mereka berjuang untuk mengharumkan nama bangsa.
Para pemain bangkit mengatasi rasa sakit karena kehilangan anggota tubuh yang sangat penting, lalu bertarung dalam kondisi finansial yang minim dan perhatian yang sungguh terbatas. Beruntung, masih ada PSAI yang tetap berdiri tegar, ditopang oleh sejumlah pihak yang ikut tergerak.
Mereka harus berutang ratusan juta dan hidup pas-pasan agar bisa mengikuti babak kualifikasi di Dhaka Stadium, Bangladesh. Â Mengandalkan kemandirian untuk biaya akomodasi, makanan, perjalanan, hingga tes PCR, dan memeras personel ke titik minimal dengan 14 pemain, plus 2 pelatih dan 2 ofisial.
"Bahkan teman-teman itu transit di Malaysia minum satu botol air untuk 18 orang pemain, diputar, karena anggarannya sudah tipis benar untuk beli sesuatu, untuk makanan enggak cukup," kenang Rusharmanto  Sutomo, Sekretaris Jenderal PSAI melansir bbc.com.
Keterbatasan itu tidak membuat mereka menyerah. Tuan rumah Bangladesh disikat 8-0, Malaysia ditumbangkan 3-0, dan hanya menyerah dari Jepang yang sudah lebih maju dalam urusan sepak bola amputasi dan menjadi langganan Piala Dunia dengan skor 0-2. Tim yang ditangani Muhammad Syafei berhak lolos ke putaran final Piala Dunia 2022 di Turki, Oktober nanti, dengan status runner-up zona Asia Timur.
Sejumlah fakta
Bagaimana persisnya permainan sepak bola amputasi? Berapa orang dalam satu tim? Bagaimana ukuran lapangan dan durasi pertandingan? Apakah ada organisasi tingkat dunia seperti FIFA? Berikut sejumlah fakta yang dirangkum dari World Amputee Football.
Pertama, bila kita melihat tayangan di media sosial, para pemain harus menggunakan dua tongkat penopang. Kedua tongkat itu benar-benar menjadi tumpuan mereka saat bermain.
Bisa dipahami, setelah kehilangan anggota tubuh yang sangat berperan untuk menopang dan membantu mobilitas, kehadiran sepasang tongkat akan membantu para pemain saat berlari, menendang, atau bahkan kala terlibat duel dan terjadi benturan. Tongkat itulah perpanjangan kaki mereka agar tetap tegak berdiri.
Kedua, tidak berlaku sebutan kesebelasan dalam sepak bola amputasi. Sepak bola amputasi bisa mengambil format 3 v 3, 4 v 4, 5 v 5, dan 7 v 7 (6 v 6 plus kiper).
Dalam pertandingan internasional, satu regu terdiri dari tujuh orang, berbeda dengan sepak bola konvensional yang beranggotakan 11 orang.
Formasi yang dipakai tetap mensyaratkan satu penjaga gawang dan didukung enam pemain (outfield) lainnya.
Hanya saja, posisi penjaga gawang itu diisi pemain yang mengalami amputasi bagian atas, minimal kehilangan salah satu pergelangan tangan.
Berbeda dengan enam pemain "outfield" yang mengalami amputasi ekstrem bawah, seperti kehilangan pergelangan kaki.
Dengan demikian, kita akan menemukan para pemain "outfield" yang memiliki dua tangan tetapi hanya satu kaki. Sementara kiper memiliki dua kaki, tetapi hanya satu tangan.
Permainan ini dimainkan tanpa prostesis, dengan kruk logam di lengan bawah. Kruk kayu tidak diperbolehkan karena bahaya pecah atau patah.
Kita bisa bayangkan perjuangan mereka mengolah si kulit bundar tanpa anggota gerak atas atau anggota gerak bawah yang utuh.
Ketiga, mereka menggunakan bola standar FIFA. Hanya saja, ukuran lapangan lebih kecil yakni 60 X 40 meter. Begitu juga ukuran gawang, dengan tinggi 2 meter, lebar 5 meter, dan kedalaman 1 meter.
Pertandingan bisa digelar di luar ruangan atau di dalam ruangan.
Keempat, durasi permainan pun lebih singkat. Ada dua babak, masing-masing 25 menit lamanya dengan waktu istirahat 10 menit.
Kelima, selain yang sudah disebutkan di atas, ada sejumlah aturan lain yang sudah digariskan.
Kruk tidak boleh digunakan secara sengaja untuk mengarahkan bola. Memblokir, memajukan bola, atau mengarahkan bola dengan kruk dianggap operan tangan sehingga akan dianggap pelanggaran.
Begitu juga anggota badan yang tersisa tidak boleh digunakan untuk mengarahkan bola. Hal ini perlu ditekankan demi keadilan. Sebab, pemain dengan sisa anggota badan lebih panjang akan diuntungkan dibanding yang lain. Bila sampai terjadi, maka wasit akan menganggapnya melakukan pelanggaran "hand pass."
Anggota badan yang lain tidak boleh dilibatkan kecuali kaki. Karena itu berlaku tendangan ke dalam, bukan lemparan ke dalam.
Kruk tidak boleh digunakan untuk mencederai lawan bila tidak ingin dikeluarkan dari lapangan pertandingan dan memberikan hadiah penalti kepada lawan.
Tidak ada batasan jumlah pergantian pemain. Begitu juga, aturan offside tidak berlaku.
Keenam, permainan ini ditemukan secara tak sengaja oleh Don Bennett asal Amerika Serikat pada 1982. Dua tahun berselang, permainan ini "go international" yang ditandai oleh turnamen internasional pertama di Seattle, Washington.
Saat ini, sepak bola amputasi sudah dikelola secara profesional dan kian mendunia. Hadirnya berbagai asosiasi sepak bola di seluruh dunia dan terselenggaranya konggres internasional pertama pada 1998 untuk membentuk The World Amputee Football Federation (WAFF).
FIFA-nya sepak bola komputasi itu baru memiliki 50 anggota, masih kalah jauh dari FIFA dengan 211 anggota. Â Belum banyak anggota WAFF dari Asia. Indonesia dan Malaysia adalah dua pionir dari Asia Tenggara dan dua dari 10 anggota WAFF dari Asia.
Piala Dunia Amputasi adalah panggung tertinggi.
Perhatian pemerintah
Lolosnya timnas amputasi Indonesia ke Piala Dunia 2022 adalah momentum membuka mata dan perhatian segenap insan sepak bola dan kaum disabilitas dalam negeri.
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menyiapkan tempat latihan, transportasi, hingga nutrisi yang layak agar tim Indonesia bisa berbicara banyak di Turki nanti.
Selanjutnya, menemani INAF menyusun peta jalan. Membangun dan menyediakan infrastruktur latihan, penginapan, dan akomodasi, kompetisi berjenjang, serta pendanaan yang rutin.
Masih banyak kaum disabilitas di Tanah Air yang perlu diangkat martabat dan potensinya. Sepak bola disabilitas adalah salah satu jalan.
Kementerian Pemuda dan Olahraga sudah menargetkan Garuda INAF tembus 10 besar Piala Dunia nanti. Target tinggi itu perlu didukung secara konkret, tidak sekadar janji manis.
Apa pun caranya mereka harus disokong agar cerita-cerita pilu saat mengikuti kualifikasi tidak terulang lagi.
Lebih dari itu. Mereka sudah menunjukkan potensi dan prestasi. Sudah lebih dari cukup membuat hati pemerintah dan para pihak terketuk.
Bila PSSI dengan segala kemewahannya belum bisa membuat kita bangga di panggung dunia, maka saatnya kita mendukung Garuda INAF agar terbang tinggi.
Mereka memang tidak mempunyai dua kaki atau dua tangan. Tetapi, saya sungguh percaya, mereka tetap berjuang agar Garuda tetap terbang dengan dua sayap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI