Tak kalah penting, saya bisa lebih berhemat karena tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk akomodasi. Coba dihitung berapa besar penghematan dari pos transportasi yang dilakukan selama pandemi? Tidak sedikit.
Anggaran itu bisa dialihkan untuk kepentingan lain. Menabung atau berinvestasi, misalnya.
Keempat, WFH memungkinkan saya bisa mengambil waktu untuk urusan "me time." Di pagi hari saat anak belum bangun atau kala ia tengah siesta (tidur siang), saya bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk meningkatkan kemampuan diri.
Membaca dan menulis (di Kompasiana terutama), juga berolahraga. Itulah beberapa pilihan aktivitas menyendiri yang berdaya guna dan bermanfaat baik bagi kesehatan mental, pikiran maupun fisik.
Dengan demikian apa yang disebut dengan "work-life balance" bisa terjaga.
Memang soal keseimbangan ini masih bisa diperdebatkan dan sifatnya relatif. Soal berapa porsi perhatian dan alokasi waktu ideal antara karier dan kehidupan pribadi dan rumah tanggap tergantung pada setiap pribadi.
Sepengalaman saya soal ini bila disederhanakan sesuai apa yang saya praktikkan begini. Urusan profesional dan personal tidak bisa dibuat berimbang, 50:50. "Balance" yang dimaksud bukanlah kedua aspek itu dibagi, ditempatkan, dan dijalani sama rata dan sama rasa.
Untuk itu perlu dibuat skala prioritas dan mengupayakan agar jangan ada yang terlalu dikorbankan. Bahkan pada hal-hal tertentu kita dituntut untuk membuat pilihan.
"Move on" dari zona nyaman
Setelah lebih dari satu tahun berjuang untuk menikmati dunia kerja baru bernama WFH, kita kemudian merasa terbiasa. Walau berat dan tidak mudah, pembiasaan terhadap sesuatu yang baru itu kemudian menjadi kebiasaan baru.