Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Strategi Keluar dari Zona Nyaman Baru Bernama "Work from Home" (WFH)

11 November 2021   11:59 Diperbarui: 28 Maret 2022   11:31 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja dari rumah atau work from home.| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Meninggalkan sesuatu yang sudah nyaman, jelas tidak mudah. Begitu juga kembali ke sistem bekerja di atau dari kantor (Work from Office/WFO) setelah sekian bulan merasa nyaman bekerja di atau dari rumah (Work from Home/WFH).

Sejak pandemi merebak, WFH menjadi pilihan yang mau tidak mau harus diambil. Saat munculnya keputusan untuk "merumahkan" pekerjaan dan segala aktivitas profesional, muncul rasa gamang dalam benak para pekerja kantoran.

Beragam tanda tanya mengemuka dan rasa khawatir membuncah. Mulai dari bagaimana membagi waktu, menyiasati urusan rumah tangga, mengantisipasi gangguan domestik, menjaga produktivitas, hingga soal membiasakan sesuatu yang baru.

Seiring berjalannya waktu, para pekerja mulai merasa nyaman. Risau perlahan-lahan minggat seiring berjalannya proses adaptasi dengan kebiasaan baru.

Bekerja di antara kepungan anggota keluarga dan urusan rumah tangga ternyata menantang tetapi serentak membawa banyak berkah. Saya menyebut beberapa yang saya rasakan sendiri sebagai pekerja kantoran yang sudah berkeluarga.

Pertama, saya bisa mengalokasikan lebih banyak waktu yang sebelumnya terbuang di jalan untuk mendekatkan diri dengan anggota keluarga.

Memiliki anak di masa awal tumbuh-kembang, WFH bagai berkah bagi saya untuk lebih dekat memantau serentak ikut membantu dengan suntikan perhatian dan kasih sayang.

Kedua, selain dengan anak, WFH pun menjadi momentum untuk lebih dekat dengan pasangan. Ikatan emosional dipererat melalui kehadiran yang lebih intens dan kerja sama yang lebih padu dalam sejumlah urusan, terutama pekerjaan rumah tangga.

Ketiga, soal efisiensi yang tidak hanya berdampak positif bagi anak dan pasangan, tetapi juga produktivitas pekerjaan dan kondisi finansial.

Waktu tiga sampai empat jam yang biasa dihabiskan saat berangkat dari dan pulang ke rumah bisa dialokasikan untuk urusan-urusan yang lebih berguna.

Tak kalah penting, saya bisa lebih berhemat karena tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk akomodasi. Coba dihitung berapa besar penghematan dari pos transportasi yang dilakukan selama pandemi? Tidak sedikit.

Anggaran itu bisa dialihkan untuk kepentingan lain. Menabung atau berinvestasi, misalnya.

Keempat, WFH memungkinkan saya bisa mengambil waktu untuk urusan "me time." Di pagi hari saat anak belum bangun atau kala ia tengah siesta (tidur siang), saya bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk meningkatkan kemampuan diri.

Membaca dan menulis (di Kompasiana terutama), juga berolahraga. Itulah beberapa pilihan aktivitas menyendiri yang berdaya guna dan bermanfaat baik bagi kesehatan mental, pikiran maupun fisik.

Dengan demikian apa yang disebut dengan "work-life balance" bisa terjaga.

Memang soal keseimbangan ini masih bisa diperdebatkan dan sifatnya relatif. Soal berapa porsi perhatian dan alokasi waktu ideal antara karier dan kehidupan pribadi dan rumah tanggap tergantung pada setiap pribadi.

Sepengalaman saya soal ini bila disederhanakan sesuai apa yang saya praktikkan begini. Urusan profesional dan personal tidak bisa dibuat berimbang, 50:50. "Balance" yang dimaksud bukanlah kedua aspek itu dibagi, ditempatkan, dan dijalani sama rata dan sama rasa.

Untuk itu perlu dibuat skala prioritas dan mengupayakan agar jangan ada yang terlalu dikorbankan. Bahkan pada hal-hal tertentu kita dituntut untuk membuat pilihan.

Ilustrasi Work from Home (WFH): Kompas.com
Ilustrasi Work from Home (WFH): Kompas.com

"Move on" dari zona nyaman

Setelah lebih dari satu tahun berjuang untuk menikmati dunia kerja baru bernama WFH, kita kemudian merasa terbiasa. Walau berat dan tidak mudah, pembiasaan terhadap sesuatu yang baru itu kemudian menjadi kebiasaan baru.

Banyaknya hal-hal baik yang bisa dirasakan membuat kita pun merasa nyaman. Memang patut diakui, tidak semua orang merasakan manfaat yang sama seperti yang saya alami dan sebutkan di atas.

Begitu juga WFH bukan pilihan sempurna yang tidak memiliki cela. Tidak sedikit keluhan yang muncul terkait WFH. Saya sebutkan beberapa.

Pertama, WFH bisa mendistraksi fokus. Gangguan-gangguan dan berbagai godaan yang sebelumnya tak muncul karena jarak yang membentang antara rumah dan kantor, kemudian tampak.

Saat sedang berkonsentrasi bekerja, seketika terdengar panggilan anak yang minta diperhatikan atau istri yang meminta bantuan.

Kedua, kurangnya kontrol dan hilangnya stimulus dari rekan kerja membuat berbagai kelemahan manusiawi bisa muncul. Rasa malas hingga bosan bisa meletup. Kehilanggan motivasi dan semangat kerja bisa saja terjadi.

Ketiga, bagi sebagian orang dan jenis pekerjaan tertentu WFH bisa mengurangi produktivitas kerja.

Ada pekerjaan yang membutuhkan dan terasa lebih efektif melalui tatap muka langsung baik dengan atasan, rekan kerja, atau klien. Bagaimana pun juga interaksi langsung belum sepenuhnya bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi.

Lebih parah lagi, untuk lini usaha tertentu keputusan WFH adalah bencana. Roda pekerjaan terhambat bahkan sesewaktu bisa dihentikan sehingga keran pemasukan pun berkurang bahkan tertutup.

Berita tentang efisiensi perusahaan yang berdampak pada nasib karyawan sudah jamak terdengar.

Keempat, masih terkait pekerjaan. Saya banyak mendengar "curhat" dari sejumlah teman terkait beban kerja selama WFH. Alih-alih berkurang, beban pekerjaan mereka justru semakin bertambah. WFH pun memantik ketidaknyamanan bahkan sampai menimbulkan stres.

Kelima, saya bersaksi WFH memang memangkas anggaran transportasi, tetapi tidak membuat tagihan listrik dan internet berkurang.

Masih banyak plus dan minus terkait WFH. Masih-masing kita yang mengalami bisa menambah panjang daftarnya.

Yang ingin saya tekankan di bagian berikut adalah bagi setiap kenyamanan yang sudah tercipta dari WFH. Bagaimana strategi "move on" dari kebiasan baru menuju kebiasaan lama agar berjalan halus dan mulus.

Tidak hanya dalam hal-hal teknis dan prosedural, melainkan juga terkait hal penting lain yakni disposisi batin.

Sejumlah perusahaan sudah mulai memberlakukan kebijakan WFO. Masing-masing perusahaan biasanya selalu memantau perkembangan situasi dan kondisi dari waktu ke waktu sebelum mengambil suatu kebijakan.

Syarat dan ketentuan yang berlaku pun tak akan berbeda dari yang telah digariskan pemerintah terkait Aparatus Sipil Negara (ASN).

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) No. 24 tahun 2021 tanggal 22 Oktober, diberlakukan WFO secara bertingkat mulai dari 25 persen hingga 75 persen.

Hanya saja WFO diperuntukan bagi karyawan yang telah menerima vaksin. Bila ditemukan klaster Covid-19, maka akan ditutup selama lima hari.

Melansir Tirto.id (4/11/2021), Direktur Senior Pencegahan Infeksi di Johns Hopkins, salah satu pusat penelitian di Maryland Amerika Serikat, Lisa Maragakis, memberikan beberapa rambu-rambu protokol yang sebaiknya diperhatikan untuk memulai WFO.

Pertama, melakukan penilaian mandiri saban hari untuk semua karyawan tentang kemungkinan gejala virus Corona.

Kedua, isolasi di rumah dan pengujian jika diperlukan untuk setiap karyawan yang memiliki gejala.

Ketiga, memakai masker untuk semua orang yang memasuki area perkantoran.

Keempat, melakukan jaga jarak sosial di semua area, kecuali selama kegiatan perawatan medis. Namun dengan catatan ketika alat pelindung diri yang sesuai dipakai.

Kelima, langkah-langkah lain, seperti pembersihan semua fasilitas secara ketat, untuk menjaga keselamatan semua orang.

Hal-hal di atas adalah bagian dari protokol kesehatan (prokes) lazim. Sebaiknya memang wajib diperhatikan mengingat pandemi yang belum benar-benar berakhir.

Kabar terkait munculnya gelombang ketiga Covid-19 di berbagai negara serta peluang mutasi virus menjadi berbagai varian baru sepatutnya membuat kita tetap waspada. Jangan sampai lengah. Perjuangan kita memerangi wabah ini belum berakhir.

Lantas bagaimana soal persiapan batin? Ini bukan soal refleksi atau meditasi. Kedua hal itu jelas tidak cukup untuk membuat kita bisa segera meninggalkan kenyamanan WFH.

Upaya melepaskan diri dari berbagai pengkondisian dan adaptasi yang sudah mengantar kita pada rasa betah dan nyaman jelas tidak mudah.

Hari-hari pertama akan sangat berat. Kembali mengakrabi aneka moda transportasi dengan segala tantangannya. Kembali ke dunia kehidupan kantor yang sangat profesional dan formal setelah sekian bulan menjalani kehidupan yang lebih fleksibel.

Untuk itu, beberapa tips ini sekiranya bisa membantu. Pertama, mengingat kembali momen-momen indah saat WFO. Keasyikan bertemu teman sekantor, keseruan saat WFO, hingga target-target yang semula bisa dicapai saat WFO namun sempat menurun saat WFH, bisa dijadikan sebagai pelecut semangat.

Mengingat kembali hal-hal positif dan upaya-upaya baik kala WFO untuk membangkitkan gairah.

Kedua, bila saat WFO tiba, sebagai pekerja kantoran atau siapa pun yang berstatus karyawan tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti. Tidak ada kata tidak bila harus kembali "ngantor" di kantor.

Untuk itu, perlu untuk mulai mempersiapkan diri. Stamina, asupan gizi, hingga kembali pada pola hidup sehat yang sempat terganggu selama WFH.

Patut diakui, fleksibilitas WFH kadang menjerembabkan kita dalam gaya hidup tak sehat. Tidur larut malam karena beban kerja yang melonjak drastis atau karena kesengajaan untuk aktivitas lainnya, berikut laku konsumsi yang kurang teratur dan seimbang adalah beberapa contoh.

Untuk itu, saatnya untuk kembali ke jalur yang benar. Perjuangan untuk WFO dimulai maka kita harus mempersiapkan tubuh dengan baik. Istirahat yang cukup, asupan gizi seimbang, hingga mengurangi hal-hal yang memicu stres apalagi depresi. WFO jelas menuntut tubuh yang lebih prima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun