Â
"Anda tidak bisa menekankan betapa berartinya Piala Thomas bagi bangsa: Indonesia."
"Ya. Sudah sembilan belas tahun sejak terakhir kali mereka mengangkat trofi itu...Dua ribu dan..."
"Dua."
Demikian potongan percakapan Morten Frost dan Gill Clark sebelum pertandingan final Piala Thomas 2020.
Apa yang dikatakan kedua mantan pemain yang kini menjadi komentator kawakan itu tepat. Mereka benar-benar mewakili perasaan segenap warga Indonesia.
Seperti sebuah doa, harapan itu pun berpelukan dengan kenyataan. Para pangeran Indonesia yang dipimpin Hendra Setiawan mengukir kemenangan spektakuler 3-0 atas China di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, Minggu (17/10/2021). Penantian 19 tahun berakhir. Piala Thomas akhirnya bisa diboyong ke Tanah Air.
Hasil pertandingan ini sepertinya bukan sebuah final ideal. Â Tidak seharusnya antara dua tim paling sukses di pentas prestisius beregu pria.
Indonesia adalah pemilik gelar terbanyak dengan 13 kali menjadi juara. Sementara itu, China membuntuti Indonesia dengan 10 gelar juara.
Tidak hanya itu. Pertandingan ini pun mempertemukan unggulan pertama versus sang juara bertahan.
Indonesia lolos ke final setelah mengalahkan tuan rumah Denmark, 3-1. Sementara itu, China menyingkirkan Jepang dengan skor serupa.
Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan baik untuk mencapai klimaks setelah pada percobaan terakhir pada 2016 gagal di tangan Denmark. Kini, setelah menanti 19 tahun menunggu, kesempatan emas itu datang lagi.
Indonesia sudah lama berpuasa walau menjadi negara paling sukses di pentas beregu putra itu dengan 13 gelar juara. Dengan komposisi yang ada saat ini, peluang mengakhiri penantian panjang itu benar-benar nyata. Duel menghadapi China adalah laga penghabisan menuju puncak kegembiraan.
Strategi kejutanÂ
Indonesia melakukan sejumlah perubahan dalam susunan "line up." Perubahan itu terjadi terutama di sektor ganda putra. Tidak ada Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.
Sebagai gantinya, Fajar Alfian/Rian Ardianto menjadi ganda pertama. Selanjutnya, tim pelatih kembali melakukan bongkar pasang dengan menduetkan Kevin Sanjaya dan Daniel Marthin.
Ini kedua kalinya tim Indonesia bereksperimen. Sebelummnya, Mohammad Ahsan ditandemkan dengan Daniel Marthin saat menghadapi Taiwan di pertandingan terakhir Grup A.
Walau begitu, kedalam skuat Indonesia tidak berkurang. Tim putra Merah-Putih menghadapi partai final edisi ke-31 ini dalam posisi lebih diunggulkan. Mengapa demikian?
Skuat Indonesia yang dihuni para pemain berpengalaman menghadapi tim Matahari Terbit yang tidak diperkuat andalan di sektor tunggal dan ganda yakni Chen Long dan Li Jun Hui/Liu Yu Chen.
Berbuah manis
Meski melakukan perubahan, kekuatan tim Merah-Putih tak juga berkurang. Justru strategi kejutan itu membuat penampilan Indonesia begitu trengginas dan berbuah manis.
Pertama, China tanpa Shi Yu Qi semakin menguntungkan Indonesia. Di balik lolosnya China ke partai penghabisan, mereka harus kehilangan salah satu andalan di nomor tunggal putra.
Shi memutuskan tidak meneruskan pertandingan saat menghadapi Kento Momota di semifinal. Pemain berusia 25 tahun itu memilih mundur saat pemuncak ranking tunggal putra BWF itu meraih "match point".
Patut diakui, pemain berperingkat 10 BWF itu kesulitan meladeni Momota terutama di gim kedua. Sejak awal, Momota mampu mengendalikan pertandingan dan mampu mencatatkan keunggulan dengan selisih poin sangat signifikan. Saat laga dihentikan, Momota memimpin, 20-22 dan 5-20.
"Ini cedera lama, ini masalah lama, saya hanya merasa tidak enak badan hari ini. Mungkin ada hal lain yang bisa terjadi jadi saya hanya bermain dan menunggu selama saya bisa (sampai 5-20 untuk berhenti)," demikian keterangan Shi kepada BWF dalam sesi wawancara pasca-pertandingan.
Apakah Li akan menjadi penonton di laga pamungkas? Bagaimana sebaliknya, bila pemain tersebut kembali ke lapangan pertandingan walau hari ini memutuskan tak mampu menyelesaikan pertandingan?
Menukil @BadmintonTalk ada ketentuan yang mengatur soal ini. Sebagaimana tertulis dalam Peraturan Kompetisi Umum BWF 14.1.4, "In team Tournaments, a player who retires or withdraws from a match. Can, however, participate in other matches in any future ties."
Artinya, aturan tak melarang Shi untuk bermain di laga final. Namun, terlalu mahal harga yang akan dibayar pemain tersebut bila memaksakan diri tampil.
China tanpa Shi Yu Qi, Indonesia semakin diuntungkan. Setidaknya Anthony Sinisuka Ginting tidak menghadapi pemain papan atas China.
Namun, Ginting tetap mewaspadai lawan yang akan menghadapinya, terlepas dari peringkat dunia dan jam terbang mereka.
Hasil buruk menghadapi Viktor Axelsen dan penampilan yang belum konsisten adalah alarm bahwa segala sesuatu bisa terjadi di lapangan pertandingan.
Di partai final, Ginting menghadapi Lu Guang Zhu. China rupanya melakukan penyesuaian formasi dengan menempatkan pemain 24 tahun itu di partai pembuka.
Ginting dan Lu sudah dua kali bertemu. Japan Open 2019 menjadi pertemuan terakhir sebelum partai final ini. Saat itu, Ginting menang straight set, 22-20 21-16, sekaligus menjaga catatan sempurna.
Ginting yang lebih diunggulkan tertinggal sejak awal pertandingan. Atlet kelahiran Cimahi, Jawa Barat, berusaha menyamakan kedudukan 17-17. Namun, beberapa kesalahan yang dibuat pemain 24 tahun itu membuat set pertama menjadi milik Lu.
Ginting bangkit di dua gim berikutnya. Memimpin 8-3 di gim kedua, lalu 13-6. Jarak poin di antara kedua pemain begitu jauh. Tidak mudah bagi Lu untuk mengejar ketertinggalan. Sementara Ginting terus menjaga ketenangan dan fokus hingga mampu membuat pertandingan berlanjut ke gim ketiga.
Di gim penentuan, Ginting tampaknya tidak mau ambil risiko untuk memberi kesempatan kepada lawannya. Sejak awal, Ginting langung tancap gas. Memimpin 5-1, berlanjut 8-2, dan hanya memberi lawannya tambahan dua poin hingga interval pertama.
Ginting terus menjaga keunggulan. Selisih poin semakin lebar. Dalam kedudukan 19-11, Ginting memperagakan ketangkasannya dalam menyambar kok di depan net. Ginting akhirnya bisa merebut kemenangan rubber game, 18-21 21-14 21-16 dalam waktu satu jam dan 17 menit.
Fajar/Rian spektakuler
Kedua, China juga memberi kepercayaan kepada para pemain muda di sektor ganda. He Ji Ting/Zhou Hao Dong menjadi ganda pertama. Pasangan yang masih berada di peringkat 1159 itu bersua Fajri, sapaan Fajar/Rian.
Di atas kertas, Fajri jelas unggul. Pasangan berperingkat tujuh BWF itu sepertinya bukan tandingan bagi pasangan baru China. Ditambah lagi, menjadi penentu lolosnya Indonesia ke final dengan mengalahkan pasangan baru Denmark, 21-14 dan 21-14, membuat kepercayaan diri mereka semakin bertambah.
Hanya saja, Fajri tidak bisa jemawa. Performa lawannya cukup meyakinkan di turnamen beregu ini. Hal ini ditunjukkan dengan cukup konsisten hingga mengalahkan Takuro Hoki/Yuta Watanabe, 21-17 7-21 21-16, di semifinal.
Fajri rupanya tak menyia-nyiakan kepercayaan sebagai ganda pertama. Sejak awal pertandingan, keduanya terus menekan. Permainan cepat plus smes-smes keras diperagakan nyaris tanpa cela.
Performa Fajri di laga ini begitu spektaluer, mengingatkan kita pada Minions saat mereka sedang berada di performa terbaik. Fajri yang kini berada di ranking tujuh BWF tidak memberi ruang kepada lawannya. Duel berdurasi 43 menit itu berakhir dua gim saja, 21-12 21-19.
"Ganda pertama atau ganda kedua kita siap. Ini adalah pembuktian kita, bahwa kita siap untuk dipercaya menjadi andalan ganda putra. Tidak hanya Kevin, Marcus, Hendra, Ahsan. Kita siap ditunjuk, kita siap bertanding." Demikian ungkapap Fajar Alfian usai pertandingan kepada BWF.
Determinasi Jojo
Ketiga, tanpa Shi Yu Qi, kekuatan sektor tunggal bertumpu pada trio Li Shifeng, Weng Hong Yang, dan Lu Guang Zu.
Ketiga pemain itu belum memiliki pengalaman mumpuni seperti Ginting dan Jojo. Lu berada di ranking 27 BWF, Li Shifeng di posisi 65 BWF. Sementara itu, Weng jauh di belakangnya, tepatnya di urutan ke-148.
Bila peringkat dunia dan pengalaman dijadikan patokan, maka duel mereka kontra Ginting dan Jojo, tampak seperti langit dan bumi.
Namun, ranking dunia tak selalu menggaransi kemenangan. Li Shifeng menunjukan grafik penampilan yang baik di turnamen beregu. Ia mampu mengalahkan sejumlah pemain dengan ranking dunia lebih baik.
Kunlavut Vitidsarn yang berperingkat 23 BWF tak berkutik. Li, berusia 21 tahun mengalahkan pemain yang karib disapa View itu, 21-13, 17-21, dan 21-7 untuk memberi satu dari tiga poin kemenangan China atas Thailand di babak perempat final.
Tidak sampai di situ. Li pun kembali menyumbang angka di babak empat besar. Ia sanggup mengalahkan pemain Jepang, ranking 13 BWF, Kanta Tsuneyama, dalam dua gim, 21-17 dan 21-15.
Di pertandingan final Li ditempatkan sebagai tunggal kedua, menghadapi Jojo. Di hadapan Jojo, Li jelas kalah pengalaman. Namun, pemain ini memiliki modal non-teknis. Dibanding Jojo, Li memiliki kebugaran lebih baik.
Jojo harus menguras banyak tenaga saat mengalahkan Anders Antonsen di babak semifinal. Pemain berperingkat tujuh BWF itu butuh waktu satu jam dan 40 menit untuk mengunci kemenangan tiga set, 25-23 15-21 21-16.
Jojo seperti tak meninggalkan jejak kelelahan. Ia memasuki lapangan pertandingan dengan penuh keyakinan. Dengan ketenangannya ia mampu merebut lima poin pertama, kemudian terus memimpin 11-6 dan 13-8.
Li memiliki smes yang keras. Ditambah beberapa kesalahan sendiri, Jojo memberi lima poin gratis kepada pemain 21 tahun untuk mengubah skor menjadi 13-11 dan 14-13.
Jojo coba tidak membuang kesempatan. Pemain kelahiran Jakarta ini bermain lebih sabar dalam menahan serangan Li. Alhasil, Jojo bisa merebut poin demi poin untuk kembali memperlebar jarak hingga mengunci gim pertama yang ditandai dengan kemenangan adu net.
Di gim kedua, Li bermain lebih percaya diri setelah sempat mengalami ketegangan di awal pertandingan. Pemain jangkung itu memperagakan kemampuannya dalam melancarkan serangan dengan smes-smes keras mematikan.
Li membuat Jojo harus berjuang keras setelah tertinggal jauh, 3-11. Namun, Jojo membuktikan ketangguhan mentalnya untuk mengatasi tekanan. Jojo kemudian membuat jarak menjadi tipis, 9-13.
Tertinggal lima angka, Jojo berusaha membuat selisih menjadi dua angka, 16-18. Â Dua kali "netting" tipis yang ciamik dari Jojo membuat perolehan poin menjadi 18-19. Sayangnya, smes keras menyilang plus pengembalikan kok yang tak menyebrang net, membuat Li berhasil merebut gim kedua.
Awal gim penentuan berlangsung ketat. Jojo tertinggal 2-3 lantas membalikkan keadaan menjadi 5-4. Li sadar bila ia kalah maka pertandingan final berakhir. Gelar pun melayang. Karena itu, ia berusaha menguasai situasi dan sekuat-kuatnya meladeni Jojo.
Perjuangan Li berbuah keunggulan 9-11 di interval pertama. Namun, Li harus tertatih-tatih membendung serangan Jojo. Sampai-sampai ia harus mendapat pertolongan medis.
Sementara itu, Jojo, walau tenaganya sudah banyak terkuras di laga sebelumnya, ia tetap menunjukkan ketahanan yang hebat. Daya juangnya tetap terjaga. Bisa jadi, bayang-bayang gelar yang sudah mulai terlihat memberikan suntikan energi bagi raga yang semakin terkuras.
Jojo kemudian berbalik unggul 12-11. Namun, perjuangan Jojo belum berakhir. Li masih terus berjuang mengejar. Skor sempat sama kuat, 13-13. Selanjutnya, Jojo berhasil menunjukkan kedidgadayaannya. Kendali permainan kembali berpindah ke tangannya.
Jojo memimpin 16-13 dan 18-13. Sempat kehilangan satu angka, smes keras Jojo yang tak bisa dikembalikan dengan sempurna akhirnya menutup pertarungan satu jam dan 22 menit dengan skor 21-14 18-21 21-14.
Makna kemenangan
Kemenangan ini memberikan banyak arti bagi Indonesia. Selain mengakhiri puasa gelar nyaris dua dekade, memperpanjang daftar gelar juara menjadi 14, dan menegaskan status unggulan pertama tak hanya di atas kertas, pencapaian ini ditutup dengan strategi visioner tim Indonesia.
Mengacu pada daftar pemain yang diturunkan, Indonesia tidak diperkuat pemain dengan usia 30 tahun atau lebih. Tidak ada nama duo pemain ganda senior, Ahsan dan Hendra. Begitu juga tanpa Marcus Gideon yang sudah menginjak usia kepala tiga.
Yang bertarung di partai final adalah para pemain muda dengan Vito sebagai pemain paling tua usianya. Bermaterikan pemain dengan usia di bawah 28 tahun, tim putra Indonesia bisa mengalahkan China yang tampil dengan materi pemain muda dan pasangan baru hasil bongkar-pasang.
Hal ini menunjukkan bahwa para pemain muda Indonesia sudah semakin matang. Ginting dan Jojo kian bertambah jam terbangnya sebagai pemain papan atas dunia.
Selain itu, kehadiran Kevin/Daniel memberikan isyarat tersendiri. Setelah era Minions berakhir dengan pensiunnya Marcus nanti, Indonesia sudah memiliki penerus dalam diri Kevin dan Daniel. Bukan tidak mungkin, Kevin dan Daniel akan menjadi Minions baru. Sayangnya, penantian para penggemar untuk melihat debut keduanya tak terwujud.
Namun, sebelum melihat Kevin/Daniel berpasangan secara tetap entah kapan waktunya, Indonesia sudah memiliki penerus Minions dalam diri Fajar/Rian. Penampilan Fajri di laga final begitu memukau. Mereka seperti berada di periode terbaik Minions.
Terima kasih tim Thomas Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H