Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Verawaty Fajrin, Survei Kompas, dan Fatamorgana Bonus Besar Pemerintah

21 September 2021   10:42 Diperbarui: 23 September 2021   08:11 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menpora Zainudin Amali menjenguk Verawaty Fajrin di Rumah Sakit Kanker Dharmais: ANTARA/HO-Kemenpora  via Kompas.tv

Betapa senangnya Greysia Polii/Apriyani Rahayu dan Leani Ratri Oktila mendapat masing-masing Rp 5,5 miliar dari pemerintah Indonesia untuk setiap keping medali emas Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020.

Angka tersebut belum terhitung bonus dari berbagai pihak mulai dari sektor swasta, pemerintah daerah, hingga induk organisasi. Tidak hanya dalam bentuk rupiah. Mereka juga kebagian aneka produk investasi lain seperti rumah, apartemen, asuransi jiwa, kedai makanan, hingga menikmati sajian makanan dan minuman secara pro deo dalam jangka panjang.

Dibanding negara-negara lain, bonus atlet Olimpiade dari Indonesia terbilang tinggi. Menukil laporan Forbes, nominal tersebut mengungguli Amerika Serikat (Rp 540 juta) dan China (Rp 735 juta) yang keluar sebagai peringkat pertama dan kedua Olimpiade Tokyo.

Jumlah yang didapat olimpian Merah-Putih hanya kalah banyak dari Singapura (Rp 10,6 miliar), Taiwan (Rp 10,3 miliar), dan Hong Kong (Rp 9 miliar).

Para atlet Indonesia jauh lebih beruntung dalam hal ini dibanding atlet-atlet dari Inggris Raya, Selandia Baru, Norwegia, dan Swedia yang tak mendapat jatah bonus dari pemerintah mereka.

Walau begitu, setiap negara memiliki mekanisme tersendiri untuk mengapresiasi para atlet yang berprestasi. Tidak hanya dengan mengganjari mereka dengan bonus melimpah. Soal jaminan kesejahteraaan selama menjadi atlet dan setelah pensiun misalnya. Tidak melulu menunggu prestasi baru diguyur banyak hadiah, tetapi memastikan kehidupan para atletnya terjamin dengan baik.

Ironi Verawaty

Betapa pentingnya menjamin kehidupan setiap atlet dan mantan atlet sungguh terasa bila kita melihat sejumah potret miris yang mengemuka dewasa ini.

Verawaty Fajrin menjadi contoh mutakhir betapa mendesaknya perhatian pemerintah pada setiap warga negara yang pernah memberikan hidupnya untuk dunia olahraga tanah air.

Verawaty tengah bertarung menghadapi kanker paru-paru yang menyerangnya sejak Maret 2020 lalu. Ia sempat membaik usai menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, dan Rumah Sakit Dharmais, Jakarta.

Namun, kondisi ratu bulutangkis Indonesia itu kembali memburuk. Kabar itu diwartakan mantan tandem Verawaty, Rosiana Tendean, Minggu (19/9/2021) lalu.

Dalam postingannya di Facebook, Rosiana menulis demikian. "Vera dilarikan kembali ke rumah sakit Dharmais. Bekas juara dunia bulutangkis tunggal putri 1980 ini hanya pemegang kartu BPJS kelas 2."

Vera tak bisa langsung mendapat perawatan terbaik. Ia masih harus menunggu di ruang transit karena ruang High Care Unit (HCU) penuh.

"Mohon pemerintah membantu pengobatan agar kondisi Verawati dapat membaik," tutupnya.

Bila kita kembali ke masa silam, Verawaty pernah menjadi kebanggaan Indonesia. Sejak era 1970 sampai 1980-an, Vera adalah pemain yang diperhitungkan.

Ia adalah pemain serba bisa. Tidak hanya tampil di tunggal putri, ia juga pernah menjajal sektor ganda putri dan ganda campuran.

Sepanjang itu, ia sudah memberikan banyak prestasi. Beberapa di antaranya adalah gelar juara dunia tunggal putri pada 1980. Banyak pemain hebat yang sudah bertandem dengan Vera di ganda putri. Mulai dari Imelda Wigoena, Ruth Damayanti, Rosiana Tendean, hingga Ivana Lie.

Legenda bulu tangkis Indonesia, Verawaty Fajrin (kiri: DOK. ISTIMEWA via Kompas.com
Legenda bulu tangkis Indonesia, Verawaty Fajrin (kiri: DOK. ISTIMEWA via Kompas.com

Bersam pasangannya, Verawaty meraih medali emas Asian Games 1978 dan SEA Games 1981 dan 1987. Tak kalah mentereng, ia juga mempersembahkan gelar juara dunia 1986 bersama Eddy Hartono di ganda campuran.

Verawaty tentu tidak seberuntung Greysia Polii atau Apriyani Rahayu. Bila Greys dan Apri kini bergelimang hadiah, entah berapa besar apresiasi material yang diterima Verawaty dan para atlet segenerasi. Entah apa jaminan yang telah diberikan pemerintah atas pengabdian dan prestasi yang sudah Vera dan para atlet zaman dahulu berikan.

Mestinya, bila kesejahteraan atlet benar-benar menjadi prioritas negara, seruan Rosiana tentu tak bakal terdengar kali ini. Yang terjadi kini justru ironis. Kebesaran Verawaty dengan segudang prestasi seperti tak berjejak dalam kehidupan yang layak dan terjamin.

Belum sejahtera

Terima kasih kepada Harian Kompas yang sudah menjaring aspirasi dari sejumlah atlet dan mantan atlet. Melalui survei yang dilakukan secara daring terhadap 330 atlet dan mantan atlet dar 37 cabang olahraga yang tersebar di 32 provinsi pada 1-10 September 2021, kita dibuat terperangah dengan kenyataan yang dihadapi mayoritas dari mereka.

Sebagaimana dilansir Kompas.id (13/9/2021), sebanyak empat dari 10 responden tegas mengatakan belum hidup sejahtera.

Menariknya, berdasarkan usia, sebagian besar (46 persen) berusia antara 24-39 tahun. Artinya, mereka itu berasal dari generasi milenial, termasuk yang masih aktif menjadi atlet.

Bila generasi lebih kini mengeluhkan hal tersebut berarti soal kesejahteraan ini tidak hanya menjadi keprihatinan masa lalu, tetapi masih berlangsung hingga hari ini.

Kesejahteraan, mengacu pengertian BPS, menyasar aspek kebutuhan material, spiritual, dan sosial. Ada sejumlah indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan, misalnya, kemampuan memenuhi kualias kesehatan dan gizi, Pendidikan, ketenagakjeraan, taraf konsumsi, hingga perumahan.

Tidak hanya itu. Kesejahteraan bisa mengacu pada aspek pekerjaan atau usaha, memiliki tabungan atau dana pensiun, memimiliki tempat tinggal sendiri, mempunyai kendaraan, hingga memiliki penghasilan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sehari-hari.

Hasil survei itu menggambarkan sebagian besar dari antara mereka belum memiliki penghasilan yang layak, memiliki tabungan pensiun, dan asuransi kesehatan. Lebih miris lagi, sebagian besar atlet (55,4 persen) belum menerima uang saku atau honor yang memadai dari pemerintah.

Fatamorgana

Seperti pada dunia ekonomi, politik, dan sebagainya, negara pun berkewajiban memperhatikan dunia olahraga. Undang-Undang No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan bahwa pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Soal pendanaan itu dibicarakan secara khusus dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2007. Pendanaan menyasar olahraga prestasi, pembinaan dan pengembangan olahraga, kejuaraan olahraga, peningkatan kualitas prasarana olahraga, pengembangan teknologi keolahragaan, serta pengembangan industri olahraga.

Hanya saja, mengutip laporan Kompas.id itu, "Dari regulasi di atas, terlihat posisi atlet atau olahragawan sudah mendapat jaminan dalam sistem perundangan negara. Namun, melihat aturan mengenai pendanaan olahraga, keberadaan atlet ini sepenuhnya belum mendapat jaminan dari aspek kesejahteraan."

Belum disebutkan soal aspek kesejahteraan atlet dan mantan atlet. Tidak disinggung soal kelangsungan hidup dan hari tua para atlet dan mantan atlet.

Di sisi lain, alokasi anggaran negara masih sangat terbatas. APBN 2020 hanya memberikan Rp 1,18 triliun untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga. Angka tersebut masih harus dibagi untuk berbagai kepentingan tidak hanya yang telah diamanatkan dalam undang-undang, tetapi juga menjangkau biaya sekretariat kementerian dan tetek bengek administratif lainnya.

"Belum lagi, anggaran-anggaran yang dialokasikan khusus untuk kepentingan olahraga, seperti proyek pembangunan sarana prasarana justru dijadikan lahan korupsi bagi para pejabat," lanjut Kompas.id dengan memberi empat contoh kasus megakorupsi di Lembaga olahraga sejak 2011 silam yakni korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games, korupsi proyek Pusat Pelatihan Olahraga Hambalang, korupsi PON Riau, dan korupsi Dana Hibah KONI.

Berkaca pada hal tersebut maka tidak mengherankan bila terdengar banyak kasus menyayat hati yang menimpa para atet dan mantan atlet. Atlet yang pernah berprestasi saja mengalami mimpi buruk setelah tak lagi berjaya, apalagi mereka yang belum sempat mencapai tangga juara. Padahal kita tahu, proses untuk menjadi juara itu harus melewati rute yang panjang, mulai dari seleksi, pembinaan, hingga pascaprestasi.

Coba bayangkan! Berapa lama seseorang harus menginvestasikan hidupnya untuk menjadi seorang atlet profesional? Berapa banyak pengorbanan untuk sebuah prestasi? Bagaimana nasibnya bila kemudian gagal meraih prestasi, lantas terdepak dari Pelatnas?

Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Tanggung jawab negara terhadap kehidupan para atlet dan mantan atlet seharusnya mulai dipertajam. Setelah Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo di satu sisi dan nasib malang Verawaty yang menjadi perhatian luas seharusnya menjadi momentum untuk berbenah.

Hal-hal yang perlu dipikirkan secara serius, lantas diharapkan bisa mewujud dalam berbagai kebijakan antara lain. Pertama, memasukan aspek kesejahteraan para atlet dalam regulasi. Tidak hanya saat mereka berprestasi, tetapi juga sepanjang menjadi atlet dan saat menjalani masa pensiun.

Kedua, menambah porsi anggaran untuk Kementerian Olahraga dan mengalokasikan dalam jumlah yang lebih besar untuk hal-hal yang langsung menyentuh kehidupan para atlet.

Ketiga, menyiapkan skema jaminan yang jelas, entah berupa tunjangan saat menjadi atlet yang lebih bersifat sementara, atau penghargaan yang sifatnya jangka panjang, misalnya dengan menjadikan mereka pegawai negeri sipil.

Keempat, hal-hal teknis di atas perlu diperjelas dan dimasukan dalam regulasi yang lebih mengikat. Tujuannya, agar bisa berjalan secara berkesinambungan. Jangan sampai menghadirkan kebijakan yang berubah-ubah dan menimbulkan kesan tidak adil.

Kelima, pemerintah menjadi payung sekaligus titik simpul kerja sama lintas sektor. Bila dana pemerintah terbatas dan perhatiannya harus dibagi dengan sektor lain, melibatkan berbagai pihak untuk ikut terlibat adalah sesuatu yang positif. Pemerintah bisa berperan sebagai pelindung sekaligus pengikat yang mempersatukan berbagai pihak.

Pensponsoran dalam berbagai bentuk seperti menjadikan cabang olahraga prestasi sebagai "anak angkat" dari BUMN tertentu misalnya. Merangkul berbagai perusahaan swasta untuk ikut mendukung industri olahraga dalam negeri melalui pola kerja sama yang jelas dan terukur.

Jangan sampai masing-masing atlet atau setiap induk organisasi cabang olahraga harus mencari jalan sendiri-sendiri untuk mempertahankan diri. Setelah menyodorkan dana yang terbatas, negara kemudian hanya menunggu di garis akhir kemenangan dengan puja-puji dan bonus besar.

Akhirnya, aspek kesejahteraan atlet adalah bagian tak terpisahkan dari bangunan besar manajemen olahraga. Desain setiap sisi akan menentukan masa depan dunia olahraga Indonesia. Bila kehidupan para atlet terjamin, pengelolaan industri olahraga secara kredibel, akuntabel dan konsekuen, maka memanen prestasi hanyalah soal waktu.

Sudah sekian lama Indonesia hanya bergantung pada bulutangkis dan angkat besi untuk berprestasi di tingkat dunia, sementara kita memiliki kekayaan demografi yang tak tertandingi. Sementara itu, "negara-negara kecil"-mengacu pada jumlah penduduk dan pendatang baru  sudah mulai tampil, bahkan perlahan-lahan menggeser peluang Indonesia di cabang olahraga andalan itu.

Jangan sampai kisah sedih Verawaty akan memperpanjang litani keterpurukan pengelolaan olahraga di tanah air. Sementara bonus besar yang diterima Greysia/Apri serta Leani Ratri tak ubahnya fatamorgana yang sifatnya sesaat dan lebih dari itu, sekadar menjadi pelipur lara semu bagi banyak atlet yang harus berjuang tertatih-tatih untuk menggapainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun