Hanya saja, mengutip laporan Kompas.id itu, "Dari regulasi di atas, terlihat posisi atlet atau olahragawan sudah mendapat jaminan dalam sistem perundangan negara. Namun, melihat aturan mengenai pendanaan olahraga, keberadaan atlet ini sepenuhnya belum mendapat jaminan dari aspek kesejahteraan."
Belum disebutkan soal aspek kesejahteraan atlet dan mantan atlet. Tidak disinggung soal kelangsungan hidup dan hari tua para atlet dan mantan atlet.
Di sisi lain, alokasi anggaran negara masih sangat terbatas. APBN 2020 hanya memberikan Rp 1,18 triliun untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga. Angka tersebut masih harus dibagi untuk berbagai kepentingan tidak hanya yang telah diamanatkan dalam undang-undang, tetapi juga menjangkau biaya sekretariat kementerian dan tetek bengek administratif lainnya.
"Belum lagi, anggaran-anggaran yang dialokasikan khusus untuk kepentingan olahraga, seperti proyek pembangunan sarana prasarana justru dijadikan lahan korupsi bagi para pejabat," lanjut Kompas.id dengan memberi empat contoh kasus megakorupsi di Lembaga olahraga sejak 2011 silam yakni korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games, korupsi proyek Pusat Pelatihan Olahraga Hambalang, korupsi PON Riau, dan korupsi Dana Hibah KONI.
Berkaca pada hal tersebut maka tidak mengherankan bila terdengar banyak kasus menyayat hati yang menimpa para atet dan mantan atlet. Atlet yang pernah berprestasi saja mengalami mimpi buruk setelah tak lagi berjaya, apalagi mereka yang belum sempat mencapai tangga juara. Padahal kita tahu, proses untuk menjadi juara itu harus melewati rute yang panjang, mulai dari seleksi, pembinaan, hingga pascaprestasi.
Coba bayangkan! Berapa lama seseorang harus menginvestasikan hidupnya untuk menjadi seorang atlet profesional? Berapa banyak pengorbanan untuk sebuah prestasi? Bagaimana nasibnya bila kemudian gagal meraih prestasi, lantas terdepak dari Pelatnas?
Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Tanggung jawab negara terhadap kehidupan para atlet dan mantan atlet seharusnya mulai dipertajam. Setelah Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo di satu sisi dan nasib malang Verawaty yang menjadi perhatian luas seharusnya menjadi momentum untuk berbenah.
Hal-hal yang perlu dipikirkan secara serius, lantas diharapkan bisa mewujud dalam berbagai kebijakan antara lain. Pertama, memasukan aspek kesejahteraan para atlet dalam regulasi. Tidak hanya saat mereka berprestasi, tetapi juga sepanjang menjadi atlet dan saat menjalani masa pensiun.
Kedua, menambah porsi anggaran untuk Kementerian Olahraga dan mengalokasikan dalam jumlah yang lebih besar untuk hal-hal yang langsung menyentuh kehidupan para atlet.
Ketiga, menyiapkan skema jaminan yang jelas, entah berupa tunjangan saat menjadi atlet yang lebih bersifat sementara, atau penghargaan yang sifatnya jangka panjang, misalnya dengan menjadikan mereka pegawai negeri sipil.
Keempat, hal-hal teknis di atas perlu diperjelas dan dimasukan dalam regulasi yang lebih mengikat. Tujuannya, agar bisa berjalan secara berkesinambungan. Jangan sampai menghadirkan kebijakan yang berubah-ubah dan menimbulkan kesan tidak adil.