Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) tampaknya tak tinggal diam di hadapan wacana penggantian siklus Piala Dunia dari empat tahun menjadi dua tahun.
FIFA mengklaim rencana tersebut mendapat dukungan dari para penggemar. Fan dinilai mendukung pentas akbar sepak bola itu dibuat lebih sering ketimbang harus menunggu hingga empat tahun.
Klaim FIFA itu berdasarkan hasil survei yang dilakukan perusahaan riset asal Jerman, IRIS dan YouGov secara online pada Juli ini. Hal ini dibuat sebagai bagian dari studi kelayakan sebelum wacana itu direalisasikan mulai 2028 mendatang.
Melansir Dailymail.co.uk, FIFA meminta pendapat dari 23 ribu responden di 23 negara yang tersebar di seluruh enam konfederasi (Eropa, Asia, Oseania, Afrika, Amerika Selatan, serta Amerika Utara, Tengah, dan Karibia).
Dari jumlah itu diketahui sebanyak 15 ribu responden dianggap memberikan dukungan. Dalam sebuah pernyataan, FIFA membuat konklusi demikian.
"'Mayoritas penggemar ingin melihat Piala Dunia Pria FIFA lebih sering; dari mayoritas ini frekuensi yang disukai adalah dua tahunan. Ada perbedaan besar antara apa yang disebut pasar tradisional dan pasar sepak bola berkembang dan generasi muda di semua wilayah lebih terbuka dan tertarik pada perubahan daripada generasi yang lebih tua."
Perjuangan FIFA
FIFA tampaknya sangat getol dengan rencana tersebut. Tidak hanya berjuang mendapat dukungan dari penggemar melalui jajak pendapat, organisasi yang dipimpin Gianni Infantino itu terus berupaya untuk meyakinkan kalangan yang lebih luas.
Dari sisi penggemar, FIFA akan memperluas cakupan kepesertaan responden. Rencananya survei lanjutan sedang dibuat dengan menyasar hingga 100 ribu responden di lebih dari 100 negara. Hasilnya pun akan dipublikasikan pada waktunya.
Sebagaimana diketahui, FIFA sudah menyatakan persetujuan terhadap sebuah studi yang ingin mengubah frekuensi Piala Dunia menjadi setiap dua tahun. Hal ini mengikuti permintaan dari Federasi Sepakbola Arab Saudi.
Mantan pelatih Arsenal, Arsene Wenger, menjadi salah satu pihak yang mendukung dan terus berjuang untuk mengembangkan ide tersebut.Â
Sebagai kepala pengembangan sepak bola global FIFA, Wenger sudah mulai menjajaki komunikasi dan konsultasi dengan para mantan pemain dan pelatih untuk meminta respon dan dukungan.
Dalam proses komunikasi itu, pihak Wenger pun mengajukan proposal terkait skema kompetisi mulai dari kualifikasi, jumlah peserta, hingga berbagai penyesuaian dalam kalender pertandingan internasional.
Untuk mendapatkan simpati, Wenger mengatakan tidak aka nada lebih banyak pertandingan dari kalender internasional saat ini.Â
Dengan demikian, para pemain bisa memiliki waktu istirahat lebih panjang, sekitar 25 hari. Dengan demikian, tidak akan terjadi banyak gangguan pada agenda sepak bola domestk.
Melalui format ini, Wenger beranggapan para penggemar pun akan mendapat untung. Salah satunya bisa menyaksikan pertandingan internasional berkualitas lebih tinggi. Alasannya, para pemain akan tampil dalam kondisi prima dan tidak dibebani dengan banyaknya agenda pertandingan.
Dari hasil konsultasi dengan 80 tokoh penting di dunia sepak bola, FIFA mengklaim tak ada yang keberatan. Semuanya mendukung.
Belum lama ini, Kelompok Penasihan Teknis yang mengkaji masa depan sepak bola pria, menghadirkan sejumlah pemain dan pelatih dari enam konfederasi dalam sebuah pertemuan di Doha, Qatar.Â
Beberapa dari antaranya adalah mantan pemain Everton dan timnas Australia, Tim Cahill; kiper legendaris Manchester United dan pemain internasional Norwegia, Peter Schmeichel; dan legenda sepak bola Brasil, Ronaldo.
Selain itu, ada Didier Drogba, Jurgen Klinsmann, Marco Materazzi, Lothar Matthaus, Michael Owen, Roberto Carlos, John Terry dan Yaya Toure.
Semua yang hadir dan disebutkan di atas menyatakan tertarik, malah mereka memberikan pujian.
Agenda tersembunyi
Mengubah sesuatu yang sudah menjadi tradisi, tentu sulit. Upaya tersebut akan menemui hambatan, bahkan penolakan.
Demikian juga wacana Piala Dunia dua tahunan langsung menjadi kontroversi tak lama setelah didengungkan. Apalagi kini FIFA mulai mengambil langkah tertentu, suara-suara miring semakin terdengar nyaring.
Awal bulan ini, sebanyak 58 kelompok penggemar di seluruh dunia menyatakan keberatan terhadap gagasan tersebut. Mereka menggelorakan penolakan itu dalam sebuah kampanye terorganisir di bawah komando kelompok suporter Eropa.
Keberatan tidak hanya datang dari kalangan akar rumput. Penolakan juga muncul dari lembaga atau badan orgnasisasi yang berada di bawah naungan FIFA. Salah satunya adalah Federasi Sepakbola Eropa atau UEFA.
Wenger mengatakan bahwa ada banyak manfaat di balik penyelenggaraan Piala Dunia saban dua tahun. Pria asal Prancis itu coba merangkumnya seperti ini.
"Misi kami adalah merencanakan dan membentuk sepak bola masa depan dan meningkatkan kompetisi sepak bola global. Tujuannya adalah pertama-tama mengurangi perjalanan bagi pemain, tidak ada peningkatan jumlah pertandingan, jaminan istirahat bagi pemain dan permainan yang lebih bermakna, itulah yang diminta para penggemar, dan lebih banyak peluang untuk bersinar, dan untuk menutup celah. Semua konfederasi harus memiliki akses ke pertandingan-pertandingan top, bukan hanya Eropa dan Amerika Selatan."
Bila disingkat, sekaligus menggarisbawahi, ada beberapa kata kunci di balik wacana tersebut. Keberpihakan pada pemain, kualitas pertandingan, kualitas tontonan, terbukanya akses bagi semakin banyak negara menuju pertandingan bergengsi dan menjadi tuan rumah.
Sekilas motivasi tersebut begitu mulia. Bila demikian, mestinya tidak sulit mendapatkan dukungan. Namun, mengubah sesuatu yang sudah mapan tidaklah mudah. Bak membongkar status quo yang mensyaratkan perubahan di setiap level, baik pertandingan internasiol maupun domestik.
Ada pula pihak yang menduga bahwa perubahan tersebut tidak tanpa tujuan lain. Ada sasaran tersembunyi yang ingin diincar FIFA di balik dukungan pada ide tersebut.
Jonathan Wilson dalam publikasinya di www.si.com (10/9/2021) coba menguak sejumlah kejanggalan sekaligus motivasi lain di balik gagasan besar itu. Ada beberapa poin yang bisa disarikan dari tulisan berjudul "The Many Flaws With FIFA's Biennial World Cup Plan."
Pertama, dukungan FIFA pada ide itu sebagian besar dipicu oleh alasan finansial. Sekitar 95 persen pendapatan FIFA datang dari Piala Dunia yang terjadi dalam siklus empat tahunan. Dengan menggandakan jumlah turnamen besar tentu akan meningkatkan pundi-pundi mereka.
Kedua, upaya ini menjadi bentuk perang memperebutkan kontrol atas sepak bola dunia. FIFA dan UEFA tidak akan sejalan dalam hal ini.
Presiden UEFA, Aleksander Ceferin sudah tegas mengatakan akan memboikot bila sampai proposal Piala Dunia dua tahunan terlaksana. Tanpa UEFA, Piala Dunia jelas tidak akan menarik. Dalam 20 tahun terakhir, 13 dari 16 semifinalis adalah tim-tim Eropa.
Kepada The Times, Ceferin mengatakan begini. "Ide itu seperti pembunuh ketika memaksa para pemain bekerja selama sebulan setiap musim panas. Belum lagi, dengan siklus 2 tahun, Piala Dunia FIFA akan mempengaruhi jadwal Piala Dunia Wanita dan sepak bola Olimpiade."
Apa jadinya bila Piala Dunia tanpa negara-negara Eropa? Apakah masih layak disebut Piala Dunia? Bagaimana bila UEFA kemudian menciptakan turnamen tandingan?
Dengan hanya perlu merayu beberapa negara Amerika Latin seperti Brasil atau Argentina untuk ambil bagian, bisa dipastikan Piala Dunia dua tahunan FIFA akan kehilangan pesona dan penggemar.
Ketiga, ada keanehan di balik dukungan Piala Dunia dua tahunan. Empat federasi yang begitu getol menggelorakan proposal ini adalah Bangladesh, Maladewa, Nepal, dan Sri Lanka.
Negara-negara ini tidak pernah lolos ke event besar. Jangankan Piala Dunia, untuk menembus putaran final Piala Asia tak ubahnya pungguk merindukan bulan.
Memang baik ide FIFA untuk melibatkan lebih banyak negara peserta dan membuka ruang bagi negara-negara yang selama ini menjadi pentonton untuk tampil di panggung akbar. Apakah mungkin bila Piala Dunia digelar dua tahun sekali, jalan negara-negara tersebut menuju pentas dunia akan terbuka lebar?
Tidak hanya negara-negara itu. Konfederasi Sepak Bola Afrika mendukung penuh ide itu. Mereka bahkan menjamin akan memberikan minimal 55 dari 211 suara dalam Kongres FIFA nanti.
Tidak semua negara Afrika memiliki tradisi bermain di Piala Dunia. Ada negara-negara seperti Burkina Faso, Guinea atau Mali yang baru melejit belakangan ini.
Bila banyak negara tidak akan mendapat manfaat langsung dari Piala Dunia dua tahunan, lantas apa yang mendorong mereka untuk bersuara lantang?
Keempat, bila Piala Dunia jadi digelar setiap dua tahun, maka banyak hal harus dipikirkan ulang dan disusun kembali. Penyesuaian mulai dari tingkat kompetisi domestik hingga agenda internasional.
Apakah penyesuaian itu akan membuat tatanan baru yang lebih teratur atau justru membuat banyak hal menjadi tidak jelas?
Wenger mengatakan bahwa penggemar bosan menyaksikan pertandingan tidak seimbang misalnya antara Inggris menghadapi Andorra. Tim-tim tertentu akan menjadikan lawan-lawan yang lemah sebagai lumbung gol.
Hal ini tentu benar adanya. Namun, bagaimana menghindari terjadinya pertemuan tersebut? Apakah mungkin membuat skema kualifikasi untuk mempertemukan sesama tim kuat, atau mengumpulkan tim lemah dalam kelompok tersendiri?
Ide yang dicetus Saudi Arabia tidak lepas dari uang. Seperti kita tahu, negara ini menjadi sponsor utama penyelenggaraan Piala Dunia Antarklub. Apakah dengan ini, FIFA pun ingin menjadikan Arab Saudi sebagai sumber keuangan baru?
Akhirnya, di balik motivasi luhur penyelenggaraan Piala Dunia dua tahunan untuk kesehatan fisik dan mental pemain tersembunyi agenda tertentu.
Maksud menghadirkan tontonan yang lebih berkualitas, dan memperluas tingkat partisipasi, Â tak bisa menyembunyikan aroma fulus dan penguasaan terhadap industri yang menjadi salah satu lumbung uang.
Bila Anda dimintai pendapat, apakah Anda akan berkata ya atau tidak pada proposal terbaru ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H