Bagi Momota "mudik" tersebut memiliki banyak arti. Selain memberikan semangat kepada para penerus, ia bisa memanfaatkan waktu untuk sekadar bernostalgia bermain di tempat dari mana ia pernah mendapatkan ilmu dan pengalaman dasar.
Ada semacam terapi untuk membuatnya bisa melepaskan bayangan kelam 10 tahun lalu. Sekaligus menjadi bentuk respek atas orang-orang yang telah ikut berjasa menenun masa depannya. Pulang ke tempat dari mana ia berasal sekaligus untuk menimba energi baru. Pulang ke Fukushima tak ubahnya  "semacam simbol bahwa saya pergi dari sana dalam keadaan segar untuk kembali lagi ke dunia (bulutangkis)."
Siap?
Apakah Momota kini sudah mendapatkan energi baru? Apakah amunisi spiritual itu tercermin di All England dan turnamen-turnamen menjelang Olimpiade?
Jelang laga pertama All England, Momota sempat pesimis. Ia masih dirundung ketidakpastian. Walau fisik bugar, tidak demikain dengan mentalnya.
"Saya masih khawatir [apakah] level permainan saya akan cukup baik. Saya masih merasa gugup seperti bertanya-tanya apakah saya bisa berlatih dengan baik."
Pemilik tiga gelar juara dunia itu seperti belum yakin apakah dirinya sudah siap kembali berkompetisi. Ya, kegamangan karena pandemi ini menjadi salah satu momok bagi semua pebulutangkis.
Ia menganggap All England tak ubahnya medan pembersihan segala kekhawatiran. Sekaligus ajang persiapan untuk berlaga di kompetisi yang sudah lama diimpikannya. Ia ingin memastikan tampil baik di Olimpiade.
Bermain di hadapan publik sendiri. Meraih medali emas. Itu adalah mimpi terbesarnya. Ia menganggap, bila mampu mewujudkannya, pencapaian itu tidak semata-mata untuk menambah kredit pada karier bulu tangkisnya dan menambah koleksi medali bagi negaranya.Â
Ia masih berutang pada para penjasa. Pada orang-orang di Fukushima. Ia ingin tandas menunaikannya. Setelah 10 than berlalu dari bencana mengerikan, Jepang mengadakan Olimpiade.
"Jadi jika saya bisa bersinar di panggung itu, saya harap saya mungkin bisa menyemangati semua orang yang menderita di sana."