Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Kento Momota dan Orang-orang Fukushima

25 Maret 2021   06:46 Diperbarui: 25 Maret 2021   06:52 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kento Momota: bwfbadminton.com

Kento Momota sebenarnya bukan penduduk asli Fukushima. Ia lahir di Mino, sebuah kota yang terletak di Distrik Mitoyo, Perfektuf Kagawa. Walau bukan orang Fukushima, Momota kadung merasa tempat itu sebagai kampung halamannya. Ia sudah jatuh cinta pada tempat dan rakyat setempat.

------

Kekecewaan atas insiden yang menimpa tim Indonesia di All England kali ini tentu masih membekas. Entah sampai kapan akan hilang dari ingatan publik tanah air yang begitu menggandrungi dan mengandalkan cabang olahraga itu di pentas dunia.

Walau begitu hidup harus terus berlanjut. Masih ada banyak alasan untuk melihat ke depan. Tidak hanya bagi skuad Merah Putih. Tetapi juga kita, para penggemarnya.

Setelah para jagoan Indonesia angkat koper atas cara yang tak terduga dan diharapkan, kita sempat melihat sepak terjang para unggulan lainnya. Salah satunya adalah Kento Momota.

Usai absen dari kompetisi selama 14 bulan terakhir, apakah tunggal putra Jepang itu masih bisa menunjukkan kedigdayaannya. Apakah "comeback" tunggal nomor satu dunia berujung manis? Kira-kira demikian pertanyaan yang membayang sebelum ia mulai mengayunkan raket di arena All England.

Ternyata, Momota hanya butuh 42 menit untuk meladeni perlawanan Kashyap Parupalli. Pemain 26 tahun itu menang straight set, 21-13 dan 22-20 atas wakil India. Sebuah pembukaan di lapangan satu yang tak terlalu mengecewakan. Kita sempat dihibur dengan permainan atraktif. Momota sedikit banyak menebus kerinduan para penggemarnya setelah lebih dari setahun menepi.

Langkah Momota tak juga terbendung. Wakil India lainnya yang ingn menghadangnya di babak 16 besar tak juga berhasil. Prannoy H.S bernasib serupa rekannya. Kalah dua game pula, 21-15 dan 21-14 dalam waktu 48 menit.

Yang terlihat dari dua pertandingan ini, Momota seperti telah kembali. Walau belum mendapatkan lawan sepadan, ia tetap tampil seperti Momota saat sebelum pandemi.

Hanya saja, langkahnya tak bisa terus diayun. Adalah Lee Zii Jia yang membuatnya harus bertekuk lutut. Kembalinya ke arena ternyata hanya bertahan sampai perempat final. Pemain masa depan Malaysia itu membuat harapan kembali mengulangi pencapaian 2019 harus terkubur.

Profil Momota: bwfbadminton.com
Profil Momota: bwfbadminton.com

Rentetan masalah

Namun begitu, apa yang terjadi dengan Momota hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang. Rentetan tantangan senantiasa membayanginya. Beruntung, ia berhasil melewatinya. Mungkin karena itu ia menjadi seperti Momota saat ini.

Sekadar kilas balik. Hari-hari  di pertengahan bulan Maret tahun lalu, Momota sedang dalam masa pemulihan dari operasi rongga mata yang retak. Kecelakaan mobil yang fatal usai menjuarai Malaysia Masters menjadi pukulan telak. Dalam perjalanan pulang menuju bandara, kendaraan yang ia tumpangi bertabrakan dengan sebuah truk.

Pengemudi kendaraan tewas. Beruntung, Momota dan penumpang lainnya lolos dari maut. Mereka mengalami luka ringan. Namun bagi Momota, peristiwa itu tidak berakhir begitu saja. Ia kemudian menemukan ada masalah serius pada matanya. Penglihatan ganda di lapangan latihan menunjukkan ada sesuatu yang tak beres.

"Bagi saya, melewati kecelakaan itu adalah hal yang sangat besar; pandangan hidup saya benar-benar berubah setelah itu," ungkap Momota seperti dinukil dari BBC.com (16/3/2021).

Hati nelangsa dan pikiran buruk berkecamuk. Apakah ia masih bisa bermain badminton lagi? Apakah cabang olahraga itu masih tetap menjadi masa depannya?

"Saya berhenti menerima begitu saja hal-hal sehari-hari yang dapat saya lakukan dalam hidup. Saya tidak pernah benar-benar berpikir untuk berhenti dari olahraga ini, tetapi saya benar-benar khawatir bahwa saya tidak akan dapat memainkannya lagi."

Setahun kemudian, di bulan ketiga ini, petenis nomor satu Jepang itu bisa kembali ke panggung yang pernah membuatnya berjaya. Pada 2019, Momota pertama kali menjadi juara All England. Momota memenangkan pertarungan atas Viktor Axelsen dari Denmark.

Kemenangan rubber game 21-11, 15-21, 21-15 selama 81 menit tidak hanya membawanya ke podium tertinggi. Nama Momota pun tercatat dalam lembaran sejarah bulutangkis Jepang. Ia orang Jepang pertama yang jadi juara turnamen tertua di dunia itu.

Axelsen sukses menebus kegagalan setahun sebelum itu di 2020. Ia mengambil tempat yang setahun sebelumnya hanya bisa dilihat dari dekat. Kemenangan dua game atas tunggal terbaik Taiwan, Chou Tien Chen, 21-13 dan 21-14 seperti pembalasan tuntas atas antiklimaks 2019.

Mimpi Olimpiade

Momota menunjukkan, setiap tantangan tidak harus diterima atau ditolak mentah-mentah. Di hadapan rintangan, sikap terbaik adalah mengolah dan mengatasinya. Itulah yang kemudian ia perjuangkan segiat-giatnya. Hasilnya, "Saya juga bisa menemukan kembali kegembiraan di bulu tangkis."

Momota menghadapi All England 2021 dalam situasi penuh ketidakpastian. Seperti para pebulutangkis lainnya. Pandemi yang sudah berusia setahun turut merampas kesempatannya bertanding. 

Pasca insiden di awal tahun 2020, Momota belum punya kesempatan bermain. Malaysia Masters di tahun tersebut sekaligus menjadi kesempatan bermain terakhir baginya.

Pascajeda tiga bulan pemulihan yang berhasil baik, Momota ingin untuk menatap Olimpiade Tokyo dengan mantap. Ia ingin mempersiapkan diri bisa tampil terbaik di kandang sendiri.

Pertandingan demi pertandingan yang menjadi kesempatan mengumpulkan poin, sekaligus menjadi ajang pemanasan. Namun harapan itu harus dikubur sementara karena pandemi yang menerjang tanpa diduga.

All England 2021 menjadi momen kembalinya. Ini sekaligus salah satu kesempatan emas baginya untuk mengukur diri. Apakah ia masih menjadi yang terbaik di tunggal putra saat ini? Lebih dari itu, Momota menyimpan kerinduan untuk bisa berlaga di Olimpiade dengan sebaik-baiknya.

Mengapa mimpi Olimpiade terus membayanginya? Tidak ada pemain yang tidak ingin tampil di pesta olahraga terakbar itu. Bagi Momota, bermain di ajang besar yang berlangsung di tanah air sendiri adalah sebuah keistimewaan ganda. 

Kita masih ingat betapa hatinya pernah tersayat karena hanya bisa menjadi penonton di Olimpiade Rio 2016. Namun sayatan itu terjadi karena kesalahan sendiri. Asosiasi Bulutangkis Jepang harus mencoret namanya. Ia ketahuan beberapa kali berjudi di kasino ilegal.  Di Jepang, kasino adalah ilegal, seperti halnya perjudian dalam hampir semua bentuk.

Larangan bertanding di Olimpiade yang sudah di depan mata saat itu hanyalah satu dari sejumlah turnamen yang tak bisa diikuti menyusul hukuman bertanding hingga waktu tak terbatas.

Setelah lepas dari masalah itu, ia kini bisa menatap penyelenggaraan Olimpiade yang sempat beberapa kali dijadwalkan ulang. Ia merasa perlu untuk mempersiapkan diri dengan baik. Ia tidak hanya ingin meraih prestasi. Ada banyak utang budi yang ingin dibalas di panggung itu.

"Begitu banyak orang telah membantu saya dan mendukung saya sepanjang karier saya, jadi saya ingin memberikan semua yang saya miliki."

Orang-orang Fukushima

Tidak sampai di situ. Momota ternyata berutang pada masyarakat Jepang, khususnya warga perfektur Fukushima. Di sana, ia melewatkan pendidikan termasuk menjalani program bulutangkis. Di sisi lain, daerah itu juga identik dengan gempa bumi.

Jepang pernah dilanda gempa bumi dan tsunami besar. Hari-hari ini tepat 10 tahun lalu, warga Jepang sedang bertarung dengan musibah hebat itu. Gempa berkekuatan 9,0 skala Richter memicu terjadinya gelombang besar.

Kehancuran akibat tsunami diperparah oleh kebocoran nuklir Fukushima. Kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) itu menciptakan bencana nuklir terburuk di dunia sejak Chernobyl.

Potongan memori bencana alam dan nuklir yang terjadi di Fukushima pada 2011 silam: www.express.co.uk
Potongan memori bencana alam dan nuklir yang terjadi di Fukushima pada 2011 silam: www.express.co.uk

Rentetan musibah itu mengakibatkan tak kurang dari 20 ribu nyawa melayang. Belum lagi ratusan ribu penduduk harus mengungsi. Kerusakan berbagai fasilitas hampir tak terhitung. Dampak psikologis dan upaya pemulihan memakan konsentrasi, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.

Momota beruntung saat bencana itu menerjang, ia sedang berada di Indonesia. Mewakili sekolahnya, Tomioka High School Fukushima, ia tengah ambil bagian di turnamen junior saat mendengar sekolahnya yang tak jauh dari PLTN hancur.

Momota sebenarnya bukan penduduk asli Fukushima. Ia lahir di Mino, sebuah kota yang terletak di Distrik Mitoyo, Perfektuf Kagawa. Walau bukan orang Fukushima, Momota kadung merasa tempat itu sebagai kampung halamannya. Ia sudah jatuh cinta pada tempat dan rakyat setempat.

Rasa cinta itu pula yang menggerakannya untuk kembali walau sudah menjadi pemain besar. Pulang ke kampung kedua pada musim panas lalu untuk meresmikan pusat pelatihan. Kegembiraan besar menyelimutinya. Tak ubahnya seseorang yang sudah lama tak pulang kampung.

"Ini tempat khusus yang aku anggap rumah," tegasnya.

Bagi Momota "mudik" tersebut memiliki banyak arti. Selain memberikan semangat kepada para penerus, ia bisa memanfaatkan waktu untuk sekadar bernostalgia bermain di tempat dari mana ia pernah mendapatkan ilmu dan pengalaman dasar.

Ada semacam terapi untuk membuatnya bisa melepaskan bayangan kelam 10 tahun lalu. Sekaligus menjadi bentuk respek atas orang-orang yang telah ikut berjasa menenun masa depannya. Pulang ke tempat dari mana ia berasal sekaligus untuk menimba energi baru. Pulang ke Fukushima tak ubahnya  "semacam simbol bahwa saya pergi dari sana dalam keadaan segar untuk kembali lagi ke dunia (bulutangkis)."

Siap?

Apakah Momota kini sudah mendapatkan energi baru? Apakah amunisi spiritual itu tercermin di All England dan turnamen-turnamen menjelang Olimpiade?

Jelang laga pertama All England, Momota sempat pesimis. Ia masih dirundung ketidakpastian. Walau fisik bugar, tidak demikain dengan mentalnya.

"Saya masih khawatir [apakah] level permainan saya akan cukup baik. Saya masih merasa gugup seperti bertanya-tanya apakah saya bisa berlatih dengan baik."

Pemilik tiga gelar juara dunia itu seperti belum yakin apakah dirinya sudah siap kembali berkompetisi. Ya, kegamangan karena pandemi ini menjadi salah satu momok bagi semua pebulutangkis.

Ia menganggap All England tak ubahnya medan pembersihan segala kekhawatiran. Sekaligus ajang persiapan untuk berlaga di kompetisi yang sudah lama diimpikannya. Ia ingin memastikan tampil baik di Olimpiade.

Bermain di hadapan publik sendiri. Meraih medali emas. Itu adalah mimpi terbesarnya. Ia menganggap, bila mampu mewujudkannya, pencapaian itu tidak semata-mata untuk menambah kredit pada karier bulu tangkisnya dan menambah koleksi medali bagi negaranya. 

Ia masih berutang pada para penjasa. Pada orang-orang di Fukushima. Ia ingin tandas menunaikannya. Setelah 10 than berlalu dari bencana mengerikan, Jepang mengadakan Olimpiade.

"Jadi jika saya bisa bersinar di panggung itu, saya harap saya mungkin bisa menyemangati semua orang yang menderita di sana."

Ganbatte!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun