Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Saya Perlu Berbagi Cerita Rakyat dengan Anak?

10 Januari 2021   12:55 Diperbarui: 11 Januari 2021   10:24 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari freepik.com

Cerita rakyat.  Apa cerita rakyat favorit Anda? Adakah potongan kisah binatang, manusia, atau dewa yang masih anda ingat? Adakah mitos, legenda, atau dongeng yang masih dikisahkan ke anak cucu?

Bila sederet pertanyaan itu dialamatkan ke saya, saya akan tegas menjawab ya. Sejak kecil hingga memiliki si kecil, saya hampir tak pernah lepas dari cerita rakyat.

Dahulu ibu selalu membagikan beberapa kisah kepada saya. Sebagai seorang guru, ia tak pernah alpa menambahkan sejumlah cerita tambahan kepada anaknya saat di rumah. Waktu terbaik untuk mendengarkan ceritanya adalah menjelang istirahat siang atau sebelum tidur malam. 

Kini kebiasaan yang sama saya terapkan. Selain mengoleksi beberapa buku cerita rakyat, terkadang saya menambahkan perbendaharaan cerita dari internet.

Mengapa ibu dan saya merasa penting untuk melakukan hal itu? Ada banyak alasan yang bisa diangkat. 

Pertama, hakikat sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah tertentu, membuat kita lebih merasa akrab dan tak merasa asing dengan tokoh, tempat, atau jalan cerita. Nama tokoh, lokasi kejadian, hingga alur cerita biasanya dikemas dari unsur-unsur lokal. Bahkan kita bisa menceritakannya dengan menggunakan bahasa daerah setempat.

Salah satu cerita rakyat yang masih saya ingat hingga hari ini adalah kisah tiga gunung di Flores Tengah. Mengingat saya berasal dari sana, saat ibu menceritakannya, bayangan saya tidak perlu berkelana terlalu jauh. Saya akan menyambut dengan senyum karena gunung-gunung itu selalu menemani perjalanan saat saya bepergian bersama mereka.

Bila Anda pernah bepergian ke Pulau Flores, melintas dari arah Ende menuju Manggarai, pandangan Anda akan bertemu dengan dua gunung yang menjulang tinggi. Bila sampai di wilayah Boawae, Gunung Ebulobo setinggi 2.124 m akan menyapa.  

Berlanjut ke arah barat, saat mendekati kota Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, Gunung Inerie akan mencuri perhatian. Kedua gunung itu tidak berjauhan. Diteropong dari udara, letaknya bersisian.

Gunung yang menjulang setinggi 2.245 m di atas permukaan laut, terlihat berseberangan dengan Ebulobo dengan tampilan yang tak jauh berbeda. Keduanya memiliki kerucut seperti tumpeng sempurna.

Konon diceritakan keduanya adalah sejoli. Ebulobo merupakan pemuda yang begitu mencintai Inerie. Inerie dalam bahasa Ngada berarti Ibu Agung.  Meski begitu Ebulobo tak bisa dengan mudah mempersunting Inerie. Belis atau mas kawin menjadi penghalang.

Gunung Inerie dilihat dari puncak Bukit Wolobobo, Ngada. (Pos Kupang/Godri Donofan) Abaikan tulisan di depannya...
Gunung Inerie dilihat dari puncak Bukit Wolobobo, Ngada. (Pos Kupang/Godri Donofan) Abaikan tulisan di depannya...

Ebulobo memiliki pesaing yakni Masih. Masih adalah pemuda pengawal Inerie yang tidak ingin sang gadis jatuh ke tangan Ebulobo. Untuk mendapatkan sang gadis, kedua pemuda itu harus bertarung.

Nahas menimpa Ebulobo. Tidak hanya gagal mendapatkan cinta Inerie, sejumput rambutnya pun tersambit parang. Untuk itu, hingga kini, Ebulobo selalu mengeluarkan asap. Sebuah pertanda kewaspadaan menghadapi serangan.

Masih ada versi lain dari cerita Inerie dan Ebulobo. Kisah tentang hubungan keduanya dengan kehadiran orang ketiga. Cerita yang kemudian menunjukkan mengapa ada sedikit lekukan pada puncak Ebulobo.

Seperti cerita rakyat umumnya, muncul sejumlah versi dan variasi cerita Inerie dan Ebulobo. Mengingat kebanyakan diceritakan secara lisan sehingga mengalami penambahan dan pengurangan, dan ada bagian-bagian yang dianggap klise.

Yang pasti kedua gunung itu tak lagi bergejolak setelah letusan terakhir. Ebulobo tercatat pernah mengeluarkan larva pada 1830 dan kembali meletus pada 1969. Sementara itu, Ineria melakukan hal yang sama pada 1882 dan 1970.

Hingga kini kedua gunung itu tetap anggun berdiri, menjadi mozaik yang memperindah pandangan dan tempat sebagian warga menaruh harapan dan kepercayaan mereka. Bagi masyarakat umumnya, kedua gunung itu tak ubahnya piramida yang menyajikan panorama yang memikat.

Panorama Gunung Ebulobo/beritasatu.com (Foto: beritasatu.com)
Panorama Gunung Ebulobo/beritasatu.com (Foto: beritasatu.com)

Kedua, selain mengangkat khazanah daerah, cerita rakyat mengandung banyak kearifan baik bersifat lokal maupun lintas batas. Kita menjadi lebih tahu akan kekayaan budaya kita. Kita menjadi lebih mafhum akan apa yang menjadi ajaran etika dan moral.

Tidak sedikit cerita rakyat yang berisi pesan tentang bagaimana sebaiknya bersikap dan bertindak, bagaimana seharusnya menjalani kehidupan dengan segala larangan dan pantangan di tengah kehidupan bersama.

Meski berlatar dan bersetting lokal, pesan dan nilainya kadang melampau sekat-sekat kultural dan geografis.  Pesan tentang menghormati orang yang lebih tua, berbakti kepada orang tua, bekerja keras dan semangat pantang menyerah yang relevan ditanamkan kepada setiap anak.

"Legenda Bukit Fafinesu." Cerita ini berasal dari Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Antara saya dan cerita itu ada jarak geografis dan kultural. Namun cerita ini memiliki pesan universal.

Konon hidup tiga orang anak yatim piatu. Saka, dan dua orang adiknya, Abatan dan Seko. Sejak kecil mereka sudah harus hidup mandiri. Sang ibu meninggal tak lama setelah ayah mereka jatuh ke jurang saat sedang berburu babi hutan. Begitu juga sang nenek yang sempat menjadi tempat mereka bergantung. Ketiganya pun benar-benar hidup sebatang kara.

Rasa rindu pada orang tua selalu membayang. Apalagi bagi si bungsu yang masih terlalu kecil untuk ditinggal. Saku berusaha untuk menggantikan peran kedua orang tuanya. Bersama Abatan, Saku selalu berusaha mencari cara untuk menjawab pertanyaan si bungsu yang terus berulang.

Seiring berjalannya waktu, ketiganya terus bertumbuh. Dalam kesederhanaan mereka hidup rukun. Suatu malam, Seko tak bisa memejamkan mata. Rasa rindu pada orang tua begitu membuncah.

"Kaka Saku, ke manakah ayah dan ibu pergi? Kapan mereka akan pulang? Aku sangat merindukan mereka."

Sang kakak mengatakan orang tua mereka sedang bepergian ke tempat yang jauh. Suatu saat akan pulang membawa daging rusa dan anak-anak babi. Demikian Saku menghibur sang adik.

Saku pun diselimuti rasa yang sama. Ia mengambil seruling dan berjalan ke sebuah bukit tak jauh dari tempat tinggal mereka. Sambil berlinang air mata ia berdendang.

Ama ma aim honi

Kios man ho an honi

Nem nek han a amnaut

Masi ho mu lo'o

Au fe toit nek amanekat

Masi hom naoben me au toit

Ha ho mumaof  kau ma hanik kau

Arti syair di atas:

Ayah dan Ibu

Lihatlah anakmu yang datang

Membawa setumpuk kerinduan

Walau kamu jauh

Aku butuh sentuhan kasihmu

Walau kalian telah tiada, aku minta

Supaya Ayah dan Ibu melindungi dan memberi rezeki

Singkat cerita, kerinduan dan doa Seku terjawab. Orang tua mereka hadir kembali. Sebagai bentuk persembahan dan ungkapan rasa syukur, mereka menyembelih seekor ayam jantan. Saat darah ayam itu menyentuh bumi, munculah dua ekor anak babi gemuk. Anak-anak babi inilah yang kemudian menjadi hadiah bagi ketiga anak itu.

Sebagai peringatan akan momen itu, mereka menamai tempat itu Bukit Fafinesu. Artinya, bukit babi gemuk. Tempat itu masih ada sampai kini. Letaknya di sebelah utara Kota Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Ketiga, tentu tidak semua cerita rakyat bisa dipahami sepenuhnya. Tidak sedikit meninggalkan penggalan-penggalan misteri. Laiknya cerita fiksi umumnya. Namun begitu, aneka cerita rakyat itu menjadi salah satu pilihan untuk menghadirkan hiburan, sarana edukasi, dan penanaman kekayaan budaya dan kearifan lokal.

Tidak sedikit dari antara kita yang sudah tercabut dari akar kultural. Kita terus tumbuh tetapi tak tahu dari mana kita berakar. Kita seperti merasa teralienasi. Kita seperti lahir dan tumbuh di atas pijakan yang rapuh.

Penggalan-penggalan cerita rakyat menjadi cara kita kembali ke tempat dari mana kita berasal. Menceritakan dongeng, mitos, fabel dan sejenisnya bisa menjadi cara kita menjaga salah satu kekayaan budaya dan imajinasi kreatif, yang sudah selayaknya kita bukukan dan simpan baik-baik.

Oh ya, saat sedang menceritakan dongeng kepada anak, aku pun merasa seperti kembali ke tempat asal. Sebagai perantau ini menjadi bentuk kecil nostalgia kampung halaman. 

Tentu bagi anak-anak, yang mereka hiraukan adalah cerita itu bisa mengantar mereka ke alam mimpi. Meninabobokan mereka sejenak. Tak masalah, dengan berbagi ke mereka, maka mereka akan menyimpan dalam ingatan dan kelak membagikannya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun