Namun Habibie menjadi terkenal seperti sekarang karena perjuangannya mengatasi kekurangan. Ia mengidap kelainan genetik bernama Muscular Dytrophy Tipe Becker. Secara medis penyakit langka ini bisa dijelaskan sebagai mutasi spontan di gen systropin pada kromosom XP 21. Sementara secara sederhana, penyakit ini secara perlahan membuat otot-otot tubuh melemah dan fisik kian tak berdaya.
Buku berjudul “Kelemahanku adalah Kekuatanku untuk Sukses” adalah percikan refleksi hidup Habibie. Pada salah satu bagian, sosok yang sempat divonis dokter berusia tak lebih dari 25 tahun ini menulis, yang kemudian kerap dikutip, “Kalau Saya yang punya keterbatasan seperti ini saja bisa, Anda pasti bisa! Kemandirian dan kesuksesan adalah kodrat Anda.”
Sementara Amy Atmanto, dalam ketenarannya sebagai seorang desainer kondang, adalah figur yang sangat peduli dengan kaum difabel. Hasil karya Amy yang menjadi langganan para selebritis dan public figure tanah air lahir dari sentuhan para pekerja tuna rungu.
Kembali ke Christie Damayanti. Satu panggung dengan kum dan pejuang disabilita sebenarnya menegaskan bahwa Christie adalah juga bagian dari mereka. Saat duduk dan tak melakukan apa-apa Christie terlihat normal. Memang dahulu ia seperti perempuan-perempuan sehat lainnya. Ia adalah seorang arsitek di salah satu perusahaan properti. Dan hasil karyanya kini sudah mewujud salah satu pusat perbelanjaan terkenal di ibu kota.
Pada 2009 setelah rancangannya selesai, ia mendapat libur enam minggu. Kesempatan berlibur, yang sebelumnya nyaris tak pernah ada karena ia lebih memilih bekerja, ia manfaatkan ke Amerika Serikat bersama keluarganya.
Di Negeri Paman Sam itu sejarah hidupnya pun berubah. Dua minggu pertama segala sesuatu berjalan biasa. Tidak ada sesuatu yang berbeda. Namun tepat di minggu keempat, sesuatu yang tak terduga datang. Saat itu sekitar pukul 3 pagi. Christie hendak ke toilet. Saat berdiri dari tempat tidur kaki terasa lemas sekali. Ia tak mampu menjaga keseimbangan dan terjatuh.
Segera ia dibawa ke rumah sakit. Untung saja nyawanya masih tertolong. Tetapi ia harus menerima kenyataan pahit. Dokter memvonis otak kirinya cacat. Di dalam otak kiri ada sejumlah pembuluh darah lunak yang pecah, masing-masing berfungsi untuk menjaga keseimbangan, sensorik dan motorik. Genangan darah di otak kiri itu membuatnya tak bisa berbuat banyak selain harus menjalani terapi.
Kegiatan terapi dilakukan selama dua minggu di Amerika Serikat, lantas kembali ke Indonesia. Awal perjuangannya pun dimulai. Ia tidak bisa berbuat banyak karena separuh tubuhnya tidak berfungsi.
Ia harus sangat hati-hati saat berjalan. Ayunan kakinya diukur sedemikian rupa agar keseimbangan tetap terjaga. Begitu juga saat berbicara. Beberapa kali sempat terhenti seperti mencari kata-kata yang tepat.