Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Christie Damayanti: Kalau Saya Bisa, Mengapa yang Lain Tidak?

2 Mei 2017   09:20 Diperbarui: 2 Mei 2017   09:20 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Christie Damayanti sedang berbicara di acara "Disability Awareness Week", 23 April 2017/dokpri

Bila tidak berjumpa pada 23 April lalu pasti pemahaman saya tentang Christie Damayanti hanya akan sebatas yang ia tulis. Saya, begitu juga Anda, tentu selalu berhadapan dengan tulisan-tulisannya yang terus mengalir di Kompasiana. Tidak hanya terus bermunculan, salah satu kekhasan tulisannya adalah: panjang.

Ia adalah kompasianer sejak 12 November 2010. Nyaris tujuh tahun berkompasiana, ia telah menghasilkan 1550 artikel dengan 196 dari antaranya mendapat label “headline”, dan 1199 masuk kategori “pilihan.” Interaksi yang terbangun begitu luas. Tulisan-tulisannya mendapat 8.450 komentar dengan total pembaca 3.772.259.

Tidak banyak yang tahu betapa keras perjuangannya menghasilkan ribuan tulisan yang telah mewujud 11 buah buku. Empat buah buku adalah hasil perjalanan berkeliling Eropa dengan dua anaknya. Dua buku terakhir berjudul “Cerita ‘Romantis’ Paris” dan “Kisah Kelam Roma” diluncurkan pada akhir pekan 23 April lalu.

Mengenakan terusan dengan motif bunga-bunga Christie duduk manis di panggung utama. Panggung itu terletak di lantai dasar sebuah pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Timur. Di sekelilingnya para pengunjung hilir mudik, seperti laiknya di pusat perbelanjaan umumnya. Beberapa pengujung sempat memberi perhatian, lantas mengambil salah satu tempat duduk yang tersedia. Namun tidak sedikit yang hanya sekilas melempar pandangan, lantas berlalu pergi.

Christie duduk persis di bawah lengkungan yang mengambil warna pelangi dengan tulisan besar “Mom & Kids Fiesta.” Di sampingnya duduk Amy Atmanto, desainer kondang tanah air. Tak berapa lama duduk Dimas Prasetyo Muharam, Alfian Pamungkas Sakawiguna dan Habibie Afsyah.

Alfian adalah seorang CEO di perusahaan sendiri. Ia baru berusia 20 tahun tetapi penghasilannya sudah ratusan juta per bulan. Penghasilan sebesar itu diperoleh dari perusahaan yang melayani jasa domain register, Cloud Hosting, dan Server (VPS dan Dedicated Server) yang dibangun sejak nol. 

Ia berwirausaha sejak duduk di bangku SMP dengan mendirikan warnet. Modal didapat dari berjualan pulsa. Kini Alfian sudah mempekerjakan ratusan karyawan di kampung halamannya, Sukabumi, Jawa Barat.  Para pekerja tidak harus “ngantor.” Dari rumah sambil mengurus anak misalnya, mereka bekerja.

Berbeda dengan Alfian, Dimas adalah penderita tunanetra. Meski tak bisa melihat, kreativitas dan prestasinya mencengangkan. Bersama tiga rekan tunanetra lainnya mereka mendirikan Kartunet. Ini adalah singkatan dari “karya tunanetra”.

Dimas Prasetyo Muharam (ketiga dari kiri)/dokpri
Dimas Prasetyo Muharam (ketiga dari kiri)/dokpri
Kartunet adalah situs web yang dikelola Komunitas Kartunet Indonesia. Organisasi nirlaga  dan media ini dikelola para tunanetra. Tetapi isi ditujukan kepada masyarakat umum. Di dalamnya dipublikasikan berbagai kreasi berupa karya sastra, berita, berbagai artikel dan informasi-informasi terkait  isu disabilitas.

Selain bekerja di Kartunet, Dimas juga terlibat aktif menyuarakan suara kaum disabilitas. Latar belakang pendidikan sebagai sarjana sastra Inggris dari Universitas Indonesia, ia kerap tampil di berbagai fora untuk  berbicara atas nama kaum difabel.

Habibie Afsyah? Bagi pegiat bisnis online tentu cukup familiar dengannya. Ia adalah seorang internet marketer muda yang sukses. Ia kerap memberikan pelatihan tentang online marketing dan tampil memberikan motivasi  di berbagai kesempatan.

Namun Habibie menjadi terkenal seperti sekarang karena perjuangannya mengatasi kekurangan. Ia mengidap kelainan genetik bernama Muscular Dytrophy Tipe Becker. Secara medis penyakit  langka ini bisa dijelaskan sebagai mutasi spontan di gen systropin pada kromosom XP 21. Sementara secara sederhana, penyakit ini secara perlahan membuat otot-otot tubuh melemah dan fisik kian tak berdaya.

Habibie Afsyah sedang membawakan materi/dokpri
Habibie Afsyah sedang membawakan materi/dokpri
Penyait ini merenggut fungsi motorik tubuh sehingga ia nyaris tak bisa menggerakan tubuhnya. Memalingkan wajah saja susah, untuk mengatakan tidak bisa. Satu-satunya bagian tubuh yang bisa berfungsi baik dibanding yang lain adalah satu jari tangan kiri yang membantunya menggerakan mouse.Itulah sumber harapannya dalam menjalankan usaha yang membuatnya terus meraup dollar dari dunia marketing. Sekaligus alat bantu menggerakkan kursi roda sebagai perpanjangan kakinya setiap hari.

Buku berjudul “Kelemahanku adalah Kekuatanku untuk Sukses” adalah percikan refleksi hidup Habibie. Pada salah satu bagian, sosok yang sempat divonis dokter berusia tak lebih dari 25 tahun ini menulis, yang kemudian kerap dikutip, “Kalau Saya yang punya keterbatasan seperti ini saja bisa, Anda pasti bisa! Kemandirian dan kesuksesan adalah kodrat Anda.”

Sementara Amy Atmanto, dalam ketenarannya sebagai seorang desainer kondang, adalah figur yang sangat peduli dengan kaum difabel.  Hasil karya Amy yang menjadi langganan para selebritis dan public figure tanah air lahir dari sentuhan para pekerja tuna rungu.

Amy Atmanto memperlihatkan baju karya tuna rungu yang dibinanya/dokpri
Amy Atmanto memperlihatkan baju karya tuna rungu yang dibinanya/dokpri
Menulis: terapi

Kembali ke Christie Damayanti. Satu panggung dengan kum dan pejuang disabilita sebenarnya menegaskan bahwa Christie adalah juga bagian dari mereka. Saat duduk dan tak melakukan apa-apa Christie terlihat normal. Memang dahulu ia seperti perempuan-perempuan sehat lainnya. Ia adalah seorang arsitek di salah satu perusahaan properti. Dan hasil karyanya kini sudah mewujud salah satu pusat perbelanjaan terkenal di ibu kota.

Pada 2009 setelah rancangannya selesai, ia mendapat libur enam minggu. Kesempatan berlibur, yang sebelumnya nyaris tak pernah ada karena ia lebih memilih bekerja, ia manfaatkan ke Amerika Serikat bersama keluarganya.

Di Negeri Paman Sam itu sejarah hidupnya pun berubah. Dua minggu pertama segala sesuatu berjalan biasa. Tidak ada sesuatu yang berbeda. Namun tepat di minggu keempat, sesuatu yang tak terduga datang. Saat itu sekitar pukul 3 pagi. Christie hendak ke toilet. Saat berdiri dari tempat tidur kaki terasa lemas sekali. Ia tak mampu menjaga keseimbangan dan terjatuh.

Segera ia dibawa ke rumah sakit. Untung saja nyawanya masih tertolong. Tetapi ia harus menerima kenyataan pahit. Dokter memvonis otak kirinya cacat. Di dalam otak kiri ada sejumlah pembuluh darah lunak yang pecah, masing-masing berfungsi untuk menjaga keseimbangan, sensorik dan motorik. Genangan darah di otak kiri itu membuatnya tak bisa berbuat banyak selain harus menjalani terapi.

Kegiatan terapi dilakukan selama dua minggu di Amerika Serikat, lantas kembali ke Indonesia. Awal perjuangannya pun dimulai. Ia tidak bisa berbuat banyak karena separuh tubuhnya tidak berfungsi.

Ia harus sangat hati-hati saat berjalan. Ayunan kakinya diukur sedemikian rupa agar keseimbangan tetap terjaga. Begitu juga saat berbicara. Beberapa kali sempat terhenti seperti mencari kata-kata yang tepat.

“Saya sampai keringatan bukan karena panas tetapi energi keluar semua. Otak saya berat dan bergoyang. Selama tujuh tahun saat berbicara membuat saya lemas. Energi besar sekali. Untuk berbicara susah.”

Demikian jawaban Christie saat saya tanya bagaimana perjuangannya saat menulis. Ya saya sengaja bertanya seperti itu karena jelas tidak mudah bagi seorang penderita stroke menjalani proses kreatifnya.

“Orang yang normal saja susah saat menulis, di antaranya berpikir mendapatkan ide dan mencari kata yang tepat,” begitu landasan pertanyaan saya.

Saat menulis Christie mengeluarkan semua yang ada di otak. Ia tidak peduli diksi, logika, koherensi dan kohesivitas. Singkatnya apa yang ada diungkapkan begitu saja entah bisa dipahami atau tidak olah para pembaca.

Cara seperti itu ia lakukan sejak pertama menulis di Kompasiana hingga saat ini. Nurulloh, perwakilan Kompasiana yang hadir saat itu mengaku betapa buruknya tulisan Christie saat masa-masa awal. Dua tahun pertama, 2011 hingga 2012, pesan yang disampaikan bagus, tetapi kongjungsi dan diksi misalnya, berantakan.

“Benar-benar ngaco,” ungkap Nurulloh disambut tawa hadirin.

“Untuk headline full editing.Semuanya dikemas ulang biar pembaca paham,” sambung pria berkaca mata itu.

Pepih Nugraha dan Nurulloh menandatangani buku yang baru diluncurkan/foto dari facebook Christie Damayanti
Pepih Nugraha dan Nurulloh menandatangani buku yang baru diluncurkan/foto dari facebook Christie Damayanti
Meski begitu Christie tidak kapok menulis. Kebiasaan tersebut terus dipertahankan. Ia terus dibantu sahabatnya Valentino, yang juga menjadi inisiator acara hari itu, dan pihak Kompasiana. “Saya tulis langsung diposting, sama sekali tidak diedit. Typo kek, urutannya gimana, masa bodoh.”

Seiring berjalannya waktu tulisannya semakin membaik. Menurut Nurul dalam waktu tiga tahun telah terjadi perubahan signifikan.

“Sekarang paling-paling cuma typo doang.Kelebihan atau salah huruf seperti saat kita ketik di whatsapp. Dalam waktu tiga tahun sudah seperti penulis yang mahir,” bebernya.

Perjuangan Christie dalam menulis sebenarnya perjuangan melawan stroke. Sejak diajak oleh sahabatnya untuk menulis, Christie tetap bertekun karena itu adalah salah satu cara agar otaknya tidak semakin mengecil.

Dengan menulis dan berbicara merangsang otaknya untuk tetap berfungsi. “Saya menulis adalah untuk mengeluarkan apa yang ada di otak. Syaraf di otak kiri saya sebagian besar mati, sakit atau lemah. Kalau tidak terapi kata dokter, otak saya akan mengecil.”

Menulis bagi Christie telah membantunya perlahan-lahan mengembalikan fungsi otak kiri. Bila otak tidak bisa kembali normal setidaknya ukuran yang ada sekarang tetap dipertahankan. Menulis adalah terapi bagi kesembuhannya.

“Bagi saya tulisan adalah terapi. Tidak penting berapa orang yang baca, nggak masalah. Ternyata kekuatannya luar biasa. Justru dari menulis itu saya bisa berada di sini.”

Buah perjuangan

Buah perjuangan Christie dalam menulis sudah menyata 11 buku. Substansi empat buku terakhir adalah perjalanan mengelilingi Eropa selama sebulan. Itulah seri perjalanan seorang ibu di atas kursi roda didampingi kedua anaknya.

Perjalanan ini tidak mudah. Kedua buah hatinya, Dennis dan Clarensia Michelle belum punya pengalaman ke Eropa. Sementara sang ibu tidak bisa berbuat banyak di atas kursi rodanya. Segala urusan ditangani Dennis dan adiknya. Saat berurusan dengan uang barulah mereka datang kepada sang ibu.

Nihil pengalaman itu membuat mereka tak kuasa mengelak cobaan. Salah satu tantangan besar terjadi saat di Paris. Ibu kota negara Prancis itu meninggalkan kesan berbeda kepada tiga pelancong ini. Dennis pernah mengalami pengalaman tak mengenakkan sampai-sampai membuat mereka kesulitan uang.

Bagi Christie dan anak-anak Paris tidak seromantis yang diceritakan banyak orang. Di buku ini Christie memberi tanda petik pada kata romantis. “Anak saya bialang Ma saya nggap mau ke Paris lagi,” celetuk Christie meniru ucapan sang anak.

Sementara buku lainnya berkisah tentang sejarah masa lalu kota Roma. Tidak ada yang meragukan terang dan gelap Roma dahulu kala saat masih menjalani masa kekaisaran. Sisa-sisa kekelaman masih menyata di antaranya dalam rupa Colloseum dan ruang-ruang bawah tanah.

Beberapa dari 11 buku yang telah dihasilkan Christie Damayanti/dokpri
Beberapa dari 11 buku yang telah dihasilkan Christie Damayanti/dokpri
Pepih Nugraha, salah satu mentor Christie dalam menulis, sama sekali tidak membantah isi kedua buku. Ia juga pernah beranjangsana ke Eropa. Namun pengalaman mantan bos Kompasiana ini berbeda dengan Christie sekeluarga.

“Apa yang ditulis Christie sah-sah saja. Apalagi ini bukan karya jurnalistik,” tegas Kang Pepih.

Terlepas dari isi buku, yang tentu saja menarik dibaca, perjuangan Christie menaklukkan Eropa sungguh luar biasa. Ia sendiri mengaku bila saja kondisinya tidak seperti sekarang, belum tentu ia mau ke Eropa.

“Kenapa saya berani? Entahlah,” ungkapnya.

Meksi begitu berkeliling dunia adalah mimpi yang telah lama diperam. Untuk mewujudkan impian itu ia harus menyisihkan sebagian penghasilannya. Dalam setiap perjuangan itu Christie tak pernah kehilangan harapan. Optimismenya sepertinya telah menebal sejak tujuh tahun lalu.

Perjuangannya untuk sembuh semakin dibakar oleh cinta dan perhatian kepada kedua anaknya. Dalam situasi sulit sekalipun panggilan jiwa sebagai seorang ibu tak pernah padam. "Awalnya pasti saya bertanya-tanya kenapa hal ini terjadi sama saya, tapi saya tahu ini adalah rencana Tuhan, apalagi waktu itu anak-anak masih kecil, orangtua saya sudah tua, jadi saya bangkit, saya mengatakan pada diri saya bahwa saya harus tetap semangat demi kedua anak saya.”

Christie Damayanti bersama sang ibu dan perwakilan dari Mall @Basurra (atas) dan kedua buku terbaru/facebook Christie Damayanti
Christie Damayanti bersama sang ibu dan perwakilan dari Mall @Basurra (atas) dan kedua buku terbaru/facebook Christie Damayanti
Wanita yang gemar mengoleksi perangko ini terus berjuang. Selain menulis, Christie juga hadir di berbagai kesempatan memberikan motivasi. Termasuk secara rutin tampil di stasiun radio. Ia membuktikan, seperti tertulis pada biodatanya di Kompasiana-selain keterangan “Kompasianer of The Year 2011”-sebagai “stroke survivor, author, traveller, motivator.”

Begitu juga beberapa penyandang disabilitas yang hadir di “Disability Awareness Week “ hari itu, tidak pernah patah arang. Suara mereka lantang saat berbicara. Sama sekali tak menyiratkan keluhan atas kekurangan yang terjadi.

Tidak terlintas dalam pikiran mereka untuk menyerah pada keadaan. Di sekeliling ada begitu banyak orang yang peduli seperti Amy Atmanto. Meski patut diakui perhatian kepada kaum disabilitas di negeri ini masih jauh dari harapan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilita yang belum lama diratifikasi masih perlu diejawantahkan lebih nyata.

Christie, Habibie dan Dimas telah memberi kita alasan untuk bisa bahkan melebihi mereka. Seperti selentingan Christie, yang tidak lebih dari tantangan untuk kita. “Saya berani keliling dunia dengan anak-anak itu karena Tuhan, jadi kalau saya saja bisa, kenapa yang lain tidak."

Saya bertanya saat acara tentang proses kreatif Christie Damayanti/facebook Arum Satto
Saya bertanya saat acara tentang proses kreatif Christie Damayanti/facebook Arum Satto
Para Kompasianer, saya dan gents bersama Ladiesiana/facebook Arum Satto.
Para Kompasianer, saya dan gents bersama Ladiesiana/facebook Arum Satto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun