“Saya sampai keringatan bukan karena panas tetapi energi keluar semua. Otak saya berat dan bergoyang. Selama tujuh tahun saat berbicara membuat saya lemas. Energi besar sekali. Untuk berbicara susah.”
Demikian jawaban Christie saat saya tanya bagaimana perjuangannya saat menulis. Ya saya sengaja bertanya seperti itu karena jelas tidak mudah bagi seorang penderita stroke menjalani proses kreatifnya.
“Orang yang normal saja susah saat menulis, di antaranya berpikir mendapatkan ide dan mencari kata yang tepat,” begitu landasan pertanyaan saya.
Saat menulis Christie mengeluarkan semua yang ada di otak. Ia tidak peduli diksi, logika, koherensi dan kohesivitas. Singkatnya apa yang ada diungkapkan begitu saja entah bisa dipahami atau tidak olah para pembaca.
Cara seperti itu ia lakukan sejak pertama menulis di Kompasiana hingga saat ini. Nurulloh, perwakilan Kompasiana yang hadir saat itu mengaku betapa buruknya tulisan Christie saat masa-masa awal. Dua tahun pertama, 2011 hingga 2012, pesan yang disampaikan bagus, tetapi kongjungsi dan diksi misalnya, berantakan.
“Benar-benar ngaco,” ungkap Nurulloh disambut tawa hadirin.
“Untuk headline full editing.Semuanya dikemas ulang biar pembaca paham,” sambung pria berkaca mata itu.
Seiring berjalannya waktu tulisannya semakin membaik. Menurut Nurul dalam waktu tiga tahun telah terjadi perubahan signifikan.
“Sekarang paling-paling cuma typo doang.Kelebihan atau salah huruf seperti saat kita ketik di whatsapp. Dalam waktu tiga tahun sudah seperti penulis yang mahir,” bebernya.
Perjuangan Christie dalam menulis sebenarnya perjuangan melawan stroke. Sejak diajak oleh sahabatnya untuk menulis, Christie tetap bertekun karena itu adalah salah satu cara agar otaknya tidak semakin mengecil.