Industri media dipenuhi dengan bisnis praktik buzzer yang aktif melakukan propaganda digital. Hal ini menunjukkan bahwa rezim informasi dikuasai oleh para penguasa like, share, dan comment.
Pengguna media digital yang tidak bertanggung jawab dan tidak mempunyai validasi sebagai sumber informasi tetapi memiliki kemampuan untuk menentukan opini publik hanya berdasarkan pada jumlah pengikut merupakan suatu bencana.
Media dan pers yang diisi oleh wartawan profesional seharusnya mengedepankan independensi, integritas, profesionalisme, non-diskriminasi serta berkomitmen untuk berpegang teguh pada nurani dan nilai-nilai luhur yang pantas dijunjung.
Berangkat dari nilai-nilai tersebut, pers dapat membingkai informasi menjadi berita yang berisikan data-data terverifikasi, telah melalui proses investigasi yang sesuai sehingga lahirlah karya-karya jurnalistik yang mencerahkan dan mencerdaskan audiensnya.
Media dan pers idealnya dapat mendorong semangat literasi dan membantu menciptakan ruang publik yang mampu memfasilitasi pertukaran ide, gagasan, pengetahuan, serta wacana-wacana produktif.
Seperti ungkapan Thomas Jefferson, bahwa "Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia, sebagai makhluk rasional, moral dan sosial".
Viral dan Kasusnya
Melansir dari detik.com pada bulan Februari 2020, terdapat pemberitaan mengenai Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi, tentang "Agama Jadi Musuh Terbesar Pancasila" sempat menjadi berita viral yang ramai dibahas di kalangan masyarakat.
Alhasil, muncul banyak reaksi keras dari para tokoh-tokoh, publik. maupun netizen yang kontra bahkan sampai melakukan perudungan kepada kepala BPIP yang sekaligus juga merupakan mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Meskipun begitu, terdapat dilema dan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran pernyataan yang dikeluarkan oleh kepala BPIP tersebut. Apakah berita tersebut hanya hasil framing dari media? Apakah alasan berita tersebut menjadi sangat viral?