Logika viral identik dengan media digital, termasuk media sosial.
Seiring dengan pergerakan arus zaman dan tuntutan permintaan pasar, pertimbangan untuk mengikuti logika viral juga mulai dipraktekkan oleh media-media konvensional.Â
Media konvensional mulai bergerak memasuki platform online guna terus bertahan dari gempuran digitalisasi media.
Persoalannya adalah media-media ini kerap kali terjebak dalam perlombaan mengejar rating dan viralitas parsial.
Media berbondong-bondong melakukan eksploitasi konten-konten yang membangkitkan wacana publik melalui informasi yang dibalut sentimen emosi untuk memancing perhatian audiens daripada menyebar informasi yang telah melalui pertimbangan-pertimbangan rasional.
Padahal media dan pers diharapkan dapat memposisikan dirinya sebagai intermediary institutions (lembaga perantara atau penghubung) narasi kebenaran.
Pendekatan viral yang bertumpu pada nalar jaringan dan penyebaran yang begitu cepat layaknya virus berpotensi mengancam logika media  yang mengutamakan kerja-kerja etis dan profesional.
Konten-konten viral yang diproduksi oleh media online kerap kali mengabaikan kode etik pers dan bahkan memiliki kecenderungan mengarah ke konten hoaks yang tentunya merupakan ancaman besar bagi demokratisasi informasi.Â
Meskipun berada di tengah era kebebasan berpendapat dan semua orang berhak berekspresi, tidak semerta-merta membenarkan penggunaan logika viral yang justru mengaburkan realitas yang sesungguhnya, jargon "yang viral, yang benar" merupakan bentuk pseudo-kebenaran atau kebenaran semu.