Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dinasti Politik, Stagnasi Demokrasi?

18 Juli 2020   23:28 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:06 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka (sumber: detiknews)

Hari ini, Gibran Rakabuming Raka (Putra Presiden Joko Widodo) menggemparkan media, karena dirinya resmi direkomendasikan oleh PDIP sebagai calon Wali Kota Solo. 

Sebelumnya, nama  Achmad Purnomo lah yang digadang-gadang akan maju sebagai calon Wali Kota Batik tersebut. Keputusan PDIP mengusung Putra Presiden Jokowi menuai kontroversi. 

Tak hanya dari lawan politik, kritik juga datang dari para pendukung Jokowi. Harapan yang mereka bangun terhadap Presiden Jokowi seketika luntur. Namun alih-alih membahas persoalan teknis mengenai pemilihan Wali Kota Solo, saya akan membahas bahwasannya: Jokowi juga politisi.

Begini,

Popularitas Joko Widodo dimulai saat beliau maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Parasnya yang ndeso, tampilan sederhana, baju kotak-kotak, mimik jari metalnya, hingga hobinya untuk blusukan sampai masuk ke gorong-gorong membuat stereotip masyarakat terhadap seorang politisi berubah total.

 Gelagat Jokowi pada saat itu membawa suasana baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Jokowi, membuat masyarakat menjadi merasa tak lagi berjarak dengan pemimpinnya. Jokowi bersih, jujur, dan sederhana. Jokowi adalah produk rakyat.

Setidaknya, begitulah citra Jokowi sampai pada akhirnya menerima pinangan PDIP untuk maju sebagai calon Presiden. Tak tanggung-tanggung, Jokowi melawan seseorang yang mengusungnya pada saat pilkada DKI Jakarta. Padahal dalam berbagai kesempatan, Jokowi menekankan bahwa dirinya tidak akan maju sebagai calon Presiden. 

"Makanya, setiap ditanya, saya jawab ndak mikir karena betul-betul ndak mikir. Karena logikanya tidak mungkin", kata Jokowi saat menghadiri Rapimnas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (13/5/2014).

Namun pada akhirnya, Jokowi maju bertanding melawan Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilu 2014.

Singkat cerita, Jokowi memenangkan hati rakyat melalui pemilihan Presiden tahun 2014. Citranya yang jujur, bersih, sederhana, dan doyan blusukan masih menjadi senjata yang ampuh sebagai 'bahan kampanye'. 

Jokowi masih apa adanya. Apalagi, narasi yang menyebutkan bahwa Prabowo Subianto adalah tokoh yang terduga dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada era orde baru, seolah mengatakan bahwa Jokowi adalah solusi dari persoalan HAM yang selama ini terbengkalai. Ditangan Jokowi, kasus pelanggaran HAM 1998 akan dituntaskan.

Sebenarnya kemenangan Jokowi pada pemilihan presiden 2014 cukup mengejutkan juga, mengingat bahwa koalisinya tidak didukung oleh partai yang kuat dalam konteks elektoral. Praktis, hanya PDIP yang merupakan partai besar dan kuat. 

Dilain sisi, Koalisi Merah Putih besutan Prabowo Subianto diisi oleh pasukan yang jauh lebih kuat. Sebut saja Gerindra, Golkar, PAN, dan PKS. Namun apa boleh dikata, Jokowi memenangkan pertarungan secara sah dan konstitusional.

Selama 5 tahun berkuasa pada periode pertamanya (2014-2019), Jokowi menuai banyak sekali kritik, terutama mengenai tidak kunjung selesainya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, yang pada awal pemilihan diharapkan akan diselesaikan oleh Presiden.

Kritik datang dari para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyebutkan bahwa sangat amat disayangkan jikalau Presiden Jokowi menarik tokoh yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM tahun 1998. 

Sebut saja Wiranto, yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM tahun 1998 namun kemudian diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) pada tahun 2016. 

Ditambah lagi pada tahun 2017, terjadi kasus penyiraman air keras kepada salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan, yang menambah 'rapor merah' Presiden Jokowi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Sampai tahun 2019, kasus tersebut tak kunjung tuntas. Sosok Jokowi sebagai solusi atas kasus pelanggaran HAM di Indonesia mulai dipertanyakan.

Pada tahun 2019, Jokowi, didukung PDIP dan banyak partai politik lainnya (lebih banyak daripada tahun 2014), kembali maju sebagai calon Presiden untuk periode 2019-2024 dan beliau menggandeng KH. Ma'aruf Amin sebagai calon Wakil Presiden. 

Pemilihan Ma'aruf Amin sebagai pasangan Jokowi pun dipertanyakan, karena dianggap memanfaatkan ulama untuk menggaet kekuasaan. Juga, pemilihan Ma'aruf Amin sebagai pasangan dalam pilpres 2019 dianggap sebagai manuver mendadak yang dilakukan oleh Jokowi, karena berhembus kabar kencang bahwa sebenarnya Bapak Prof. Dr. Mahfud MD lah yang seharusnya mendampingi Jokowi.

Lanjut lagi,

Dalam beberapa kesempatan kampanye, pendukung Jokowi masih berupaya menggunakan narasi yang sama, seperti: Jokowi adalah produk rakyat, Jokowi pro rakyat kecil, Jokowi bersih dan independen, ditambah lagi, Jokowi sudah tidak punya beban karena pilpres 2019 adalah periode keduanya. Narasi-narasi tersebut terus digaungkan selama kampanye berlangsung. Satu lagi narasi yang paling menarik adalah bahwa Jokowi anti dinasti politik.

Dinasti politik ala Cikeas dan Cendana menjadi bahan olok-olokan para pendukung Jokowi. Sebut saja, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sempat dibully karena maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017. 

Narasi yang digaungkan adalah bahwa AHY tak lebih dari kepanjangan tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang 'masih ingin berkuasa', berbeda dengan anak-anak Jokowi yang cenderung memilih hidup mandiri dengan membangun bisnis masing-masing.

Namun pada hari ini, semenjak diumumkannya bahwa Gibran Rakabuming Raka resmi didukung oleh PDIP sebagai calon Wali Kota Solo, membuyarkan semua citra Jokowi. 

Citra Jokowi yang memutus berbagai stereotip politisi di Indonesia, pada akhirnya sama saja. Banyak masyarakat yang kecewa dengan majunya Gibran sebagai calon Wali Kota, karena dianggap akan menciptakan dinasti politik yang baru.

Namun begini,

Yang saya lihat adalah, kekecewaan itu muncul karena sejak awal Jokowi diberikan ekspetasi yang tinggi dalam kancah politik Indonesia. Bagi sebagian orang, Jokowi dianggap sebagai permata didalam kubangan lumpur. Jokowi adalah antipati dari politik mainstream. Jokowi dianggap 'mesias' bagi sistem politik Indonesia.

Sayangnya, Jokowi tetaplah politisi. Sesungguhnya, hal itu sudah seharusnya tercium sejak beliau menerima pinangan Megawati dan mencalonkan diri sebagai Presiden, sebelum jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta tuntas. 

Ditambah lagi, gelagatnya dalam pemilihan anggota kabinet, serta reshuffle yang kerap kali dilakukan, menunjukan bahwasannya Jokowi tetaplah politisi biasa yang perlu berkompromi dan mengakomodasi kepentingan semua. 

Hal ini tidak hanya berlaku dalam pemilihan Kabinet Indonesia Kerja (2014), tetapi juga dalam pemilihan Kabinet Indonesia Maju (2019).

(Sejujurnya saya sedih mengatakan ini, tetapi fakta bahwa politik Indonesia masih berupa politik akomodasi adalah fakta yang tak dapat ditampik. Ego Partai Politik masih menjadi salah satu pertimbangan seorang Presiden, dan bagi saya, mau tidak mau, suka tidak suka, Jokowi harus melakukan itu dalam pemilihan kabinetnya)

Lalu, bagaimana dengan majunya Gibran sebagai calon Wali Kota Solo? Secara konstitusi, ini adalah sesuatu yang sah. Namun perlu diingat, bahwa menjadi seorang Kepala Daerah adalah perjalanan politik yang dapat menimbulkan banyak persoalan.

Sebagai orang yang mendukung Jokowi dalam pilpres lalu, sesungguhnya saya tidak sebegitu kecewanya dengan Presiden Jokowi. Alasannya sesederhana karena beliau adalah politisi.

 Tentu, sah-sah saja bila seseorang ingin membangun 'dinasti politik', asal bukan untuk kepentingan pribadi, namun kepentingan masyarakat. Toh, politik memang merupakan cara untuk mendapatkan kekuasaan. Yang terpenting, kekuasaan yang diraih digunakan untuk apa.

Alih-alih kecewa dengan Jokowi, saya justru khawatir. Alasannya adalah bahwa kedepannya demokrasi dan sistem politik Indonesia akan stagnan pada level itu itu saja, dalam arti hanya berkutat pada perdebatan latar belakang pribadi, bukan kepada ide dan gagasan yang membawa Indonesia menjadi lebih maju. 

Coba ingat-ingat narasi debat seperti: "Calon yang Bapak dukung adalah terduga kasus pelanggaran HAM 1998", yang kemudian dibalas "Tapi calon yang Bapak dukung juga dikelilingi sama orang-orang yang terlibat tuh".

Atau yang seperti: "Prabowo adalah menantu Soeharto yang membelenggu Indonesia pada masa orde baru", yang kemudian dibalas "Tapi kan Partai Golkar yang ada dikubu Pak Jokowi".

Narasi-narasi yang terus digaungkan dalam berbagai kesempatan debat, baik debat timses maupun pasangan calon itu sendiri, akhirnya membelah masyarakat menjadi dua kubu, seolah konstestasi pilpres adalah pertarungan antara si baik melawan si jahat.

Narasi-narasi tersebut sangat membekas dalam benak sebagian masyarakat. Nyatanya, setelah Jokowi menang dan Prabowo bergabung didalam kabinet, tetap saja masyarakat terbagi menjadi pendukung Presiden dan pendukung Menteri Pertahanan.

Yang saya khawatirkan dengan majunya Gibran sebagai calon Wali Kota Solo adalah bahwa adanya kemungkinan trend semacam ini terus berlanjut kemudian hari. Pada akhirnya, elite politik bukannya menjadikan kampanye dan panggung debat sebagai ajang beradu ide dan gagasan, namun menjadikannya ajang untuk saling menjelek-jelekan lawan politik, seolah calon yang didukung adalah si baik, dan lawan politiknya adalah si jahat.

Padahal, politik bukan berisi orang baik dan jahat. Politik hanya berisi orang (Yang ada baiknya, ada juga 'jahat'nya)

Pada akhirnya, bila trend seperti ini terus berlanjut, dikotomi antara si baik dan si jahat tidak akan selesai dan demokrasi menjadi stagnan.

Seharusnya jika masih percaya pada konstitusi, begitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan pasangan calon untuk dipilih, maka sejak saat itu pula perdebatan layak atau tidak layak menjadi seseorang pemimpin berdasarkan latar belakang selesai. 

Selanjutnya, kelayakan seseorang untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden seharusnya dinilai berdasarkan ide dan gagasan yang ditawarkan, bukan pada latar belakang yang tidak mungkin dihapuskan.

Semoga kita disadarkan,

Bahwasannya benar bila dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Dengan begitu, tidak patut pula bila kita memberikan sepenuhnya harapan kepada seseorang dalam politik. Jadi jika tidak ingin kecewa, either jangan berharap atau sekalian saja masuk kedalam sistemnya.

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun