Sebagai orang yang mendukung Jokowi dalam pilpres lalu, sesungguhnya saya tidak sebegitu kecewanya dengan Presiden Jokowi. Alasannya sesederhana karena beliau adalah politisi.
 Tentu, sah-sah saja bila seseorang ingin membangun 'dinasti politik', asal bukan untuk kepentingan pribadi, namun kepentingan masyarakat. Toh, politik memang merupakan cara untuk mendapatkan kekuasaan. Yang terpenting, kekuasaan yang diraih digunakan untuk apa.
Alih-alih kecewa dengan Jokowi, saya justru khawatir. Alasannya adalah bahwa kedepannya demokrasi dan sistem politik Indonesia akan stagnan pada level itu itu saja, dalam arti hanya berkutat pada perdebatan latar belakang pribadi, bukan kepada ide dan gagasan yang membawa Indonesia menjadi lebih maju.Â
Coba ingat-ingat narasi debat seperti: "Calon yang Bapak dukung adalah terduga kasus pelanggaran HAM 1998", yang kemudian dibalas "Tapi calon yang Bapak dukung juga dikelilingi sama orang-orang yang terlibat tuh".
Atau yang seperti: "Prabowo adalah menantu Soeharto yang membelenggu Indonesia pada masa orde baru", yang kemudian dibalas "Tapi kan Partai Golkar yang ada dikubu Pak Jokowi".
Narasi-narasi yang terus digaungkan dalam berbagai kesempatan debat, baik debat timses maupun pasangan calon itu sendiri, akhirnya membelah masyarakat menjadi dua kubu, seolah konstestasi pilpres adalah pertarungan antara si baik melawan si jahat.
Narasi-narasi tersebut sangat membekas dalam benak sebagian masyarakat. Nyatanya, setelah Jokowi menang dan Prabowo bergabung didalam kabinet, tetap saja masyarakat terbagi menjadi pendukung Presiden dan pendukung Menteri Pertahanan.
Yang saya khawatirkan dengan majunya Gibran sebagai calon Wali Kota Solo adalah bahwa adanya kemungkinan trend semacam ini terus berlanjut kemudian hari. Pada akhirnya, elite politik bukannya menjadikan kampanye dan panggung debat sebagai ajang beradu ide dan gagasan, namun menjadikannya ajang untuk saling menjelek-jelekan lawan politik, seolah calon yang didukung adalah si baik, dan lawan politiknya adalah si jahat.
Padahal, politik bukan berisi orang baik dan jahat. Politik hanya berisi orang (Yang ada baiknya, ada juga 'jahat'nya)
Pada akhirnya, bila trend seperti ini terus berlanjut, dikotomi antara si baik dan si jahat tidak akan selesai dan demokrasi menjadi stagnan.
Seharusnya jika masih percaya pada konstitusi, begitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan pasangan calon untuk dipilih, maka sejak saat itu pula perdebatan layak atau tidak layak menjadi seseorang pemimpin berdasarkan latar belakang selesai.Â