Mohon tunggu...
Chairunnisa Y
Chairunnisa Y Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Ordinary human

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orchid

20 Mei 2018   13:11 Diperbarui: 20 Mei 2018   13:24 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lahir dari rahim seorang peneliti tumbuhan, berkembang dengan lingkungan serba tak bicara. Namun, Retusa tahu kodratnya sebagai seorang manusia. Aini --Ibunya Retusa- telah ditinggal oleh suaminya dikarenakan virus flu burung yang dideritanya. Syukur saja Retusa dapat lahir dengan selamat tanpa tertular virus itu. Celakanya, Aini harus mendidik dan menafkahi Retusa seorang diri, tanpa sosok Burhan, sang suami, dan tentu saja, seorang ayah.

Kecintaan Aini terhadap bunga anggrek, mendasari nama Retusa. Sebuah nama tanpa arti, tapi punya wujud yang indah. Ceritaku sebagai Retusa tidak seindah anak sebayaku di luar sana. Aku terbiasa hidup bersama dengan ratusan spesies anggrek. Pada dasarnya, aku lebih menyukai kucing daripada anggrek, karena kucing lebih mampu untuk bersuara daripada anggrek. Padahal faktanya, anggrek lebih mudah dirawat daripada kucing.

Aku adalah sarjana kedokteran, tepatnya dokter hewan. Sekarang aku bekerja di sebuah departemen kesehatan hewan. Banyak sekali aku menemui hewan yang terkena virus, yang aku sendiri pun bingung untuk menanganinya. Pernah aku menangani seekor kucing, berjenis kelamin perempuan yang di dalam rahimnya terdapat sejenis kista, kupikir hanya manusia yang pernah terjangkit penyakit tersebut. 

Saat itu menjadi saat pertamaku sebagai seorang dokter hewan, memeriksa dan memberi diagnosa penyakit yang diderita si kucing. Hasilnya, kucing itu harus dioperasi, kista tersebut harus diangkat. Sebuah keputusan yang berat. Mengingat kucing ku yang ada di rumah. Tak bisa kubayangkan betapa perihnya kucing itu setelah dioperasi. Namun tetap kulakukan dengan harapan kucing itu akan sembuh.

Keputusanku untuk mengambil dokter hewan karena aku tidak pernah berpikiran untuk mengambil dokter tumbuhan, apalagi dokter manusia. Aku bosan dengan penelitian anggrek yang dilakukan di taman anggrek ibuku. Perseteruan terjadi saat ibu memintaku untuk menjadi peneliti tumbuhan, khususnya anggrek,

"Kenapa harus dokter hewan? Ibu sudah menginvestasikan seluruh kemampuan ibu dalam membentuk taman anggrek ini."

"Tolong lah, Bu. Ini bukan saja soal anggrek. Ini soal masa depan. Saya ingin menjadi dokter hewan, agar saat Orchid sakit, saya mampu merawatnya seperti layaknya seorang dokter hewan pribadi."

"Kita bisa saja menyewanya, Kak. Dokter hewan sekarang sudah banyak. Kakak hanya perlu belajar sesuai dengan bidang yang ibu tekuni, agar penelitian kakak dapat berlangsung dengan fasilitas yang sudah tersedia."

"Baiklah, Bu. Bagaimana jika kita buat kesepakatan? Saya belajar untuk menjadi dokter hewan, lalu nantinya saya juga akan merawat anggrek ibu."

"Bagaimana bisa? Keduanya memiliki perawatan yang berbeda. Tumbuhan dengan tanah nya, dan hewan dengan rumahnya."

"Bukannya mereka sama-sama makhluk hidup, Bu?"

"Iyaa, makhluk hidup yang berbeda. Hewan mampu berbicara, namun tumbuhan tak bisa berbicara."

"Nah, itulah bu alasan saya lebih ingin mempelajari hewan daripada tumbuhan. Karena mereka mampu berinteraksi langsung dengan saya."

"Baiklah apabila itu maumu. Tapi kelak, kakak akan tahu, mana yang lebih mampu berinteraksi baik dengan kakak." Terang ibuku yang mungkin telah lelah untuk berdebat, begitupun aku.

Kucingku, Orchid, berusia 10 tahun. Sudah tua. Lemak-lemak ditubuhnya pun sudah mulai berturunan. Sudah tak cantik lagi. Namun, ia sangat sehat. Sangat jarang kutemukan ia menolak santapan pagi, siang maupun malamnya. Vitamin dan vaksin pun rutin kuberikan. Aku tak ingin ia terjangkit oleh virus-virus mematikan.

Koleksi anggrek di rumah ku mungkin sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Sesuai janjiku saat awal pendidikan dokter hewan dulu, bahwa aku akan tetap merawat anggrek ibuku. Setiap akhir minggu, aku selalu menghabiskan waktu ditengah-tengah spesies anggrek milik ibu ini. Favoritku tetap saja, anggrek berspesies Rhincostylis retusa, anggrek ekor tupai ini menjadi satu diantara berbagai spesies anggrek yang menjadi dasar namaku. Retusa. Bentuknya yang rumit, menggambarkan hidupku yang rumit.

Ketidaksukaanku terhadap anggrek tidak pernah kuperlihatkan. Karena usia ibuku yang sudah mencapai kepala enam. Mudah tersinggung, sedikit sensitif, dan mudah lelah. Aku hanya melakukan nya karena janjiku terhadap ibu yang tidak boleh kuingkari.

Kelelahankupun terbayarkan setelah Orchid mendekati, sambil menjilati tanganku sehabis dicuci karena kotor sewaktu merawat anggrek. Kulihat taman anggrek itu dari teras belakang rumah. Lumayan besar untukku seorang diri. Pikiran ku berputar mengelilingi otak sentral, berpikir dan terus berpikir. 'Bagaimana jika aku menjual taman ini?' bisikku dalam hati.

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, aku yang telah menyiapkan makan malam, bersiap memanggil ibuku yang ternyata sedang menelpon bibiku yang berada di Makassar. Kudengar ibuku menceritakan segala hal mengenai peristiwa yang terjadi di ibu kota. Keadaan kota yang sudah berubah dari dahulu kala. Rumah kami yang jauh dari perkotaan yang penuh dengan polusi. Tentu saja, tak lupa tentang aku yang telah bekerja di departemen kesehatan hewan.

"Iyaaa, aku akan baik-baik saja di sini. Semoga kamu pun begitu. Tolong doakan aku, agar aku selalu sehat dan dapat merawat taman anggrek itu. Aku tak ingin taman itu sampai dibeli oleh investor-investor ulung di sini." Tangis ibuku pecah setelah mengucapkan kalimat itu. Entahlah. Akupun masih bingung. Mengapa taman itu tidak boleh dijual.

Setelah mendengar pembicaraan hampir habis, aku memutuskan untuk kembali merapikan meja makan. Pura-pura saja aku tidak mendengar semua percakapan itu. Lalu, aku berjalan menuju ke kamar ibuku. Mengetuk pelan-pelan. Mengajak ibu makan malam dengan ku.

            "Bu, apakah ibu tidur? Makan malam sudah siap bu...."

            "Iyaa, tunggu sebentar. Ibu habis solat Isya."

            Aku pun kembali menunggu di meja makan.

            "Kamu masak apa, Kak?"

            "Saya masak makanan kesukaan ibu. Mari makan, Bu."

            "Mana Orchid?" Ibuku selalu menanyakannya ketika mau makan. Karena seringkali ibu memberinya makan di bawah meja makan.

            "Sudah saya kasih makan, Bu. Oh ya bu? Boleh saya bertanya?"

            "Boleh dong, Kak." Jawab ibuku pelan.

            "Apa artinya taman itu untuk ibu?" tanyaku

            "Suatu saat kamu akan tahu. Apabila taman itu masih ada. Jadi, kalau kamu mau tahu kenapa, jagalah taman itu sampai nanti."

            "Hmmmm... tak bolehkah bu saya mengetahui alasannya sekarang?"

            "Lanjutkan makanmu kak, hehehehe...."

Begitulah ibu menjaga rahasianya. Seperti ibu-ibu yang lain, mengalihkan perhatian adalah hal yang paling ampuh untuk menghentikan ribuan pertanyaan dari sang anak.

Rutinitas ku untuk bekerja telah kembali, dari masa liburan yang panjang, yang hanya kulakukan di tengah-tengah taman anggrek. Pulang pergi dari rumahku ke kantor jaraknya memakan waktu satu setengah jam. Mobil lama ini telah menemaniku selama lebih dari 10 tahun. Mobil yang dibeli dari hasil pelelangan beberapa spesies anggrek ibuku. Berguna juga anggrek-anggrek itu. Pikirku.

Senin sampai Jumat, dari pagi sampai malam, sangat jarang aku berinteraksi dengan ibuku. Saat ku pergi, ibu masih sibuk dengan anggreknya. Hanya berjabat tangan dan salam yang mampu kuhaturkan. Pulang kerja, ibuku sudah terlelap karena lelah merawat anggreknya. Rindu itu ternyata ada.

Sabtu pagi itu, jadwalku untuk merawat taman anggrek ibuku. Kulihat punggung ibu yang masih meringkuk dibalik selimut. Tak tega pikir hati ingin membangunkannya. Kutinggal saja ibu. Aku melanjutkan tugasku di taman anggrek. Satu persatu pot ku periksa agar tak ada hama yang menghinggap. Sampai kepada pot ke 61, daunnya berubah kuning, akar mulai kering, pot nya hampir pecah. Perasaan ku mulai berubah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kucabut anggrek itu, lalu kurendam di dalam sebuah baskom besar. Tiba-tiba muncul refleksi wajah ibuku yang senyum menatapku melalui beningnya air rendaman anggrek. Kuambil langkah seribu karena terkejut. Kubiarkan diriku untuk tenang, mengatur nafasku yang mulai satu-satu.

Orchid menghampiri ku. Mengeong tanpa henti. Kuambil snack Orchid yang letaknya tak jauh dariku, ia menolak. Tetap saja, mengeong tanpa henti. Berlari memutari ku. Menunjuk arah masuk ke dalam rumah. Tentu saja. Ibu. Tanpa berpikir untuk membersihkan diri, aku berlari sekencang mungkin memasuki kamar ibu. Benar saja, ibuku sudah tak mampu bernafas normal. Nafasnya satu-satu. Aku tahu rasanya. Sama persis keika aku kaget ibuku senyum di air rendaman itu.

Kugendong ibu ke arah mobil. Untung saja, rumah itu sudah dimodifikasi dengan teknologi canggih yang mampu diatur keamanannya melalui smartphone. Orchid yang hanya mampu melihatku dengan tatapan kosong, duduk di kursi bagian belakang mobil. Tatapannya tak berarti menenangkan. Kulihat ibu yang nafasnya mulai lemah. Aku hanya mampu menenangkannya dengan memberikan minyak angin, dengan harapan ibuku dapat bernafas kembali normal. Kutelpon semua sanak keluarga ibuku yang tersebar di seluruh Indonesia. Aku berharap mereka dapat menjenguk ibuku.

Rumah sakit yang jaraknya hampir sejam, langsung membawa ibuku masuk ke UGD, memberikan pertolongan pertama untuk ibu. Sejam, dua jam, tiga jam, ibu tak kunjung sadar. Saudaranya sudah mulai bersiap untuk menjenguk. Bibiku yang lainnya, yang tinggal tak jauh dari rumah sakit itu, sekitar dua jam, akhirnya sampai. Ia sangat sedih melihat keadaan ibu yang mulai melemah, sampai akhirnya koma. Tak banyak yang mampu kami perbuat. Aku dokter hewan, bukan dokter manusia.

Tim dokter yang menangani ibuku pun sudah mulai bekerja untuk membantu ibu. Diagnosa satu persatu muncul. Ternyata ibu terserang penyakit TBC, menyerang paru-paru nya yang sudah tak lagi muda. Penyakit itupun sudah menyebar ke organ lainnya. Menyebabkan ibuku semakin lemah.

Hari demi hari, keluarga ibuku sudah mulai berkumpul, sampai pada Bibi Epi yang tinggal di Makasaar, yang baru seminggu yang lalu sebelum ibu pingsang, mereka berbicara melalui telepon. Bibi Epi pun akhirnya bercerita beberapa hal kepadaku,

"Apa yang terjadi dengan Aini?"

"Saya juga bingung, Bi. Ibu terlihat sangat sehat akhir-akhir ini. Beliau bahkan lebih sering merapikan anggreknya. Memberikan vitamin. Entahlah. Apa yang salah, saya juga bingung."

"Kamu tahu mengapa taman anggrek itu sangat berharga bagi Aini?"

"Emang kenapa, Bi?"

"Anggrek itu adalah awal pertemuan Aini dan Burhan. Mereka adalah pelopor dari berkembangnya anggrek di daerah ini. Sebelumnya, anggrek hanya dijadikan tanaman hias bagi beberapa rumah. Namun, tidak pernah dibudidayakan dengan baik seperti yang mereka lakukan. Burhan, ayahmu, berkeliling mencari dana bantuan, yang saat itu masih sangat sulit, untuk mendirikan taman anggrek ini, mereka berjanji akan membudidayakan anggrek ini dengan tujuan sebagai sarana pembelajaran untuk anak-anak mereka di masa yang akan datang. 

Bahkan, kematian ayahmu, disebabkan oleh karena kelelahan dari perjalanan ayahmu untuk mencari dana. Demi anggrek ini. Mengapa anggrek? Karena, ibumu sangat mencintai anggrek. Anggrek dianggap tanaman yang paling mengerti perasaan manusia. Anggrek itu dianggap tanaman yang memberikan manusia manfaat. Manfaat keindahan. Indahnya anggrek yang saat ini terpancar dari kecantikkan mu, Retusa. Kamu adalah alasan mengapa taman anggrek itu tetap bertahan."

"Hmmmm...." Aku tergumam. Hatiku seperti tertusuk jarum jahit. Sakit. Mendengar semua itu, aku seperti ingin mengubah history pendidikan ku, yang semula dokter hewan, menjadi dokter tumbuhan. Air mata ku mulai keluar dari sarangnya. Mengepul dan semakin mengepul di kelopak mata. Sampai akhirnya mengalir lah air mata itu keluar dari mataku.

"Tapi tenanglah, hanya kamu satu-satunya, harapan Aini untuk mempertahankan taman anggrek itu. Kamu yang harus bisa membuat kesepian mu nanti, menjadi sebuah kebermanfaatan yang abadi."

"Lalu, Bi? Bagaimana caranya saya bisa mempertahankan taman anggrek tersebut?"

"Nanti kamu akan tahu. Mungkin sebentar lagi. Ibumu berkata, di usianya yang tepat ke 61 tahun, maka ia akan kembali pulang."

"Jangan begitu, Bi. Umur itu hanya Tuhan yang tahu." Pujukku agar Bi Epi berhenti dengan celotehannya.

"Bukan bibi yang bilang. Ibumu. Malam itu, di telepon. Ia menitipkanmu kepadaku. Karena di usia itu, ia tak mampu lagi merawatmu. Lagipula ia berkata bahwa ia akan pulang. Itu mengandung banyak arti, Sayang."

"Semoga saja ibu benaran pulang ke rumah. Bersamaku dan Bibi."

Hari demi hari kulalui, sampai pada tanggal itu, hari dimana ibuku berusia 61 tahun, aku berdoa, aku terjaga agar mesin itu tetap bergerak naik turun. Kujaga ibu agar jantungnya tetap berdegup, walau matanya tetap terpejam. Kulantunkan ayat-ayat suci agar ibu tetap sadar.

"Nak." Seseorang memegang pundakku dan memanggilku dengan halus. Sepintas aku tahu siapa ini. Ibu. Benar saja. Ini ibu. Tapi, bagaimana mungkin, ibu yang terbaring lemah dihadapanku, mampu berdiri dan menyapaku. Aku menoleh pelan. Benar saja, ibuku yang cantik jelita, senyum, melihatku. Ingin kupeluk. Namun ternyata aku bermimpi. Aku terbangun dan melihat semua keluargaku menangis. Ibuku telah benar-benar pulang.

Mulai detik itu, jiwa dan raga ini sudah tak mampu melakukan tugas sesuai kodratnya, manusia. Hancur. Terpuruk. Bingung. Sedih. Bercampur aduk menjadi satu perasaan yang padu. Aku bukan lagi Retusa yang mampu menyembunyikan kesedihan, ketidaksukaan. Kali ini aku meronta. Aku tidak suka keadaan ini. Aku ingin kembali pulang bersama dengan ibu. Aku hanya mampu duduk memojok di pojok lemari di depan ruangan televisi. Bibi Epi tetap tinggal menemaniku. Aku hanya duduk selama 24 jam, sembari Bibi Epi mengawasiku sambil mengerjakan tugasnya sebagai reseller pakaian online.

Aku bisa saja dibilang lebih buruk daripada Orchid yang juga sebatang kara sepertiku. Makan pun aku tak sanggup. Apalagi bicara. Teman-teman kerjaku bergantian datang dan pergi melihat jasad hidup yang diam memojok di rumahnya. Suatu ketika Bi Epi berteriak. Aku yang hampir kehilangan kemampuanku untuk bergerak, hanya mampu melirik ke arah sumber suara. Aku tak sanggup mengahmpiri. Aku bahkan tak tahu apa yang diteriaki oleh Bi Epi.

Tiga bulan lamanya, setelah ibu pulang, aku berlaku seperti orang gila. Aku dirawat oleh Bi Epi dan seorang dokter muda, laki-laki, yang selalu datang ke rumah setiap hari untuk melihat perkembangan ku. Dia tidak hanya datang merawat ragaku, tapi juga jiwaku. Setiap pagi ia datang memeriksa ku, lalu pergi bekerja, dan kembali sore hari untuk membawaku berkeliling di taman anggrek. Ia bercerita banyak hal mengenai anggrek. Mengajarkanku kembali cara merawat anggrek. Terkadang aku mampu untuk sedikit tertawa. Tapi tak berasa. Itu hanya naluriku.

Setelah tiga bulan perlakuan nya terhadapku, aku mulai kembali kepada keadaanku semula. Aku mulai mampu untuk makan, lalu merawat anggrek. Aku mulai sadar akan kehadiran Bi Epi yang senantiasa membuatkan ku sarapan. Juga dokter itu. Tapi ia tak kunjung datang. Kulihat buntut kucing yang berbaring di pojok rumah, pelan-pelan aku mendekat, dan kuambil kucing itu. 

Namun apa? Itu bukan Orchid. Itu kucing lain. Tapi familiar di mataku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Kuingat-ingat kembali, benar saja. Itu kucing yang kuoperasi hampir dua tahun yang lalu, ketika pertama kali aku praktek. Aku bingung dimana Orchid. Sembari ku duduk di teras belakang menghadap ke taman anggrek, ku elus kucing ini, tetap berpikir tentang Orchid.

Datanglah seorang pemuda, ternyata Dokter Andre, yang selama ini merawatku.

"Kamu lihat, kamu harus bersyukur karena memiliki taman anggrek ini. Perlakuan yang secara tidak langsung diberikannya memiliki efek yang sangat baik untuk perbaikan saraf otak."

"Kamu dokter muda itu, ya? Saya Retusa, maaf merepotkan mu hari-hari ini. Maksud kamu apa? Anggrek? Saraf?" tanyaku bingung.

"Iya. Saya Andre. Dokter muda spesialis saraf. Telah melakukan penelitian di taman anggrek ini waktu itu. Waktu Profesor Aini masih ada. Beliau mengajarkanku untuk menangani pasien gangguan jiwa dengan tanaman anggrek ini. Beliau juga berkata kalau taman anggrek ini sangat ampuh untuk menyembuhkan penyakit gangguan jiwa."

"Profesor Aini? Maksudmu?"

"Ibu mu itu mendapat gelar Profesor di kampusku karena penelitian beliau mengenai pengaruh anggrek terhadap psikologi manusia."

"Bagaimana bisa aku tidak tahu ini?"

"Mungkin ibumu ingin kamu mengetahui ini dengan sendirinya. Lalu, ibumu juga berpesan agar kamu dapat mengikhlaskan semua yang pulang. Termasuk Orchid."

"Maksudmu?"

"Mari ku ajak ke suatu tempat."

Andre mengajakku ke pojok taman anggrek. Melihatkan ku sebuah makam kecil bertuliskan 'Terkenang ORCHID'. Tangisku pecah kembali, sambil memeluk dokter Andre. Kali ini aku mampu lebih mengikhlaskan Orchid. Karena aku sadar, bahwa semua yang datang, maka akan pulang.

Seterusnya Dokter Andre menemaniku sampai nanti. Kami memodifikasi taman anggrek menjadi agak lebih luas. Kami mendirikan sebuah yayasan perawatan khusus pasien yang terserang penyakit gangguan jiwa. Kami menyebutnya dengan "Orchid Treatment Centre". Benar ibu bilang. Taman anggrek ini akan bermanfaat suatu saat nanti. 

Termasuk bermanfaat untukku. Berkat adanya Taman Anggrek ini, aku bisa sembuh dari penyakit gangguan jiwa yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan pesan terakhir ibu pun asalnya dari anggrek nomor 61, sesuai dengan usia ibu saat itu. Bibi Epi akhirnya membantuku merawat taman anggrek dan pasiennya, juga tidak kulupa Kista, seekor kucing yang berhasil sembuh dari penyakitnya. Yayasan ini kudedikasikan untuk Profesor Aini, ibu Retusa, ibu Orchid, ibu Kista, dan ibu semua pasiennya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun